Mengubah Nasib Malang Jadi Uang

Nasib malang dapat menimpa seseorang setiap waktu. Beberapa minggu lalu, laki-laki itu menelepon saya dengan kemarahan. Atasannya memecat dia dengan tuduhan penggelapan uang. Saya menenangkannya. Saya menyuruh ia menemui saya. Saya minta ia menceritakan seluruh kejadian dan yang terpenting, apakah ada fakta bahwa ia memang menggelapkan uang?

Ia meyakinkan saya bahwa fakta itu tidak ada. Laporan keuangan juga sudah diaudit dan diterima dua tahun lalu. Saya katakan, ia harus tenang. Saya tahu, jelas saya kepadanya, kehilangan pekerjaan adalah sesuatu yang berat. Tapi, kita juga harus tahu, kalau pemilik perusahaan sudah tidak berkenan, apa boleh buat, harus keluar. Dan, tentu saja, pemilik perusahaan juga harus tahu, ia harus membayar mahal untuk kejahilannya, pesangon dan nama baik.

Saya sebut kejahilan, berarti ia hanya sekedar menuduh untuk mencari dasar mengeluarkan pegawainya. Kepada lelaki itu, saya tanyakan, kira-kira apa alasan yang paling kuat sehingga atasan tidak menyukai dirinya. Ketika ia mengatakan bahwa yang paling tidak disukai atasannya adalah sikap dan tindakannya yang keras, saya katakan, “Kalau ceritamu memang benar begitu, bagaimana kalau proses pemecatan itu dipermudah saja?”

Ia terkejut. Saya jelaskan, kalau ia bekerja di sana lagi, tentu besok-besok dicari lagi kesalahannya dan pasti keluar juga. Kedua, yang ia perlu pikirkan ialah uang untuk meneruskan kehidupan. Pemilik perusahaan yang ingin tenang jelas akan membayar berapa saja kepada orang-orang yang paling tidak disukai.

Setelah ia benar-benar memahami prinsip tersebut, saya katakan, sebab itu ia harus tenang. Tetap masuk kantor. Tidak ada protes. Selesaikan tugas. Ia menyetujui. Tapi, beberapa hari kemudian, ia menelepon, teman-teman sekantor yang membela mengajak berdemo. Saya katakan, tidak perlu, yang ia butuhkan uang dan nama baik.

Beberapa hari kemudian ia katakan, serikat pekerja di kantornya terbentuk dan minta ia memberi “testimoni” pemecatan. Saya nasehati, tenang. Yang ia perlukan uang untuk keluarga. Sepuluh hari kemudian, ia katakan, orang-orang sekantor dan atasan mulai bisik-bisik, heran melihat sikapnya yang biasa keras, kini, walau sudah dipecat, santai-santai saja tetap masuk kantor dan bekerja. Saya tegaskan, jaga sikap dan tenang. Beberapa hari kemudian, ia dipanggil, ditawarkan pesangon. Saya katakan, terima saja dan tetap tenang sampai pesangon ditransfer ke rekening.

Setelah pesangon ditransfer ke rekening, jelas sudah, perusahaan tidak memiliki dasar kuat dengan tuduhannya. Tidak mungkin pegawai yang menggelapkan uang dipecat dan diberi pesangon. Tadi malam, alhamdulilah, pesangon sudah diterima “klien” saya hampir 200 juta. Dengan uang sebanyak itu, katanya, untuk ukuran dirinya, ia bisa bertahan tiga tahun tanpa kerja.

Karena sikapnya yang tabah dengan “kekerasannya” itu, walau ia telah memperoleh pesangon, ketika pulang, saya mentraktirnya makan sate. Saat itu, saya katakan, ia harus menyisihkan 20 juta dari 200 juta untuk bayar pengacara. Ia perlu mengajukan tuntutan pencemaran nama baik ke perusahaan. Tidak ada fakta atau bukti ia menggelapkan uang. Jika tuntutan 1 milyar dan dipenuhi seratus juta saja, lagi-lagi ia untung 80 juta sambil tidur di rumah, sementara pengacara bekerja. Pemilik perusahaan yang ingin tenang jelas akan membayar berapa saja kepada orang-orang yang paling tidak disukai.***

2 comments for “Mengubah Nasib Malang Jadi Uang

Comments are closed.