“Pak Edy, saya benar-benar sedih melihat perubahan Andi, anak saya. Sebelumnya, ia ceria, hangat, dan tidak pernah satu kali pun main rahasia-rahasiaan. Sejak pertengahan kelas satu SMP, persisnya satu setengah tahun lalu, terjadi perubahan yang membingungkan. Ia minta pindah sekolah tanpa alasan jelas sehingga saya tidak menggubris dan bahkan menolak mentah-mentah. Sejak itu, ia hampir tak pernah duduk bersama di ruang keluarga. Begitu tiba dari sekolah, yang pertama kali ia temui selalu Mbok Sumi, pembantu kami, pun hanya untuk menanyakan ada makanan apa. Seselesai makan, ia langsung ngamar, main game, dan tidur sampai menjelang magrib; mandi, ngamar lagi. Kadang lupa makan malam,” tutur Bu Sherly kepada saya menceritakan anak sulungnya.
“Apakah ia mau berkomunikasi dengan orang rumah lain selain pembantu, Bu?”
“Dengan Bonny, adiknya yang sekarang kelas lima SD. Tetapi ia tak pernah ngobrol bersama di ruang keluarga atau di ruangan lain selain di kamar. Apalagi, kalau ayahnya sedang di rumah. Dengar mobil ayahnya masuk garasi saja, ia langsung mengunci kamar dari dalam. Tapi, setiap kali adiknya menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan kesulitan pelajaran, ia selalu memberi isyarat tangan agar Bonny masuk di kamarnya dan saya selalu mendengar suara ia mengunci kamarnya.”
“Bu Sherly, sekarang Andi bersama Ibu?”
“Ya, Pak Edy. Ia ada di ruang tunggu. Apa boleh masuk ke ruang konsultasi?” tanyanya.
“Bolehkan saya bicara secara privat dengannya. Ibu menunggu di ruang tunggu, sementara saya bicara dengannya.”
“Baik, Pak. Saya akan bawa dia ke sini, dan saya akan menunggu di luar sampai Bapak memanggil saya lagi jika diperlukan,” katanya sambil berdiri dan berjalan ke luar ruangan.
Diantar ibunya, dengan langkah ragu, Andi memasuki ruang konsultasi. Ia menghindari tatapan mata langsung denganku. Berhenti kira-kira satu meter dari tempat duduk, pandang matanya secara berganti-ganti tertuju antara ke langit-langit dan lantai. Aku menunggunya menatap dinding sebelah menyebelah agar punya alasan untuk ikutan menatap titik pandangnya dan membuka pembicaraan, namun tetap saja pandang matanya secara berganti-ganti tertuju antara arah langit-langit dan lantai.
Aku tak akan membiarkan hal ini berlangsung lebih dari setengah menit. Aku beranjak dari tempat duduk, berdiri, dan berjalan ke arahnya sembari mengulurkan tangan. Andi menanggapi, tapi antara mau dan tidak. Dengan ragu, ia mengulurkan tangannya yang dingin pun dengan tatapan mata ke arah tanganku, bukan ke mataku.
“Kenalkan, saya Edy Suhardono. Nama Adik?” tanyaku sambil telapak tangan kiriku menepuk pundak kanannya.
“Ayo, silahkan duduk. Santai saja. Kita mau ngobrol ringan. Saya memanggil adik siapa, ya?” tanyaku.
“Andi, Om. Nama saya Andi Sherlan Amura,” ucapnya lirih.
“Nama yang cakep. Sekolahmu di mana, Andi. Dan sekarang kelas berapa?”
“Di SMP Smart School, Om. Barusan naik kelas tiga. Bulan depan masuk tahun ajaran baru,” jawabnya sembari tangan kanannya memijit-mijit siku tangan kirinya.
“Apakah ada masalah di sekolah, kesulitan dalam pelajaran tertentu, misalnya?”
“Tidak, Om. Saya barusan naik kelas dan raport dapat peringkat dua dari seluruh kelas dua yang berjumlah enam kelas. Cuma, saya merasa terpaksa kalau harus tetap bersekolah di sekolah yang sekarang,” jawabnya seperlunya.
“O, begitu? Coba bayangkan, kau jadi Om. Kau tahu tahu bahwa Si Andi tidak ada kesulitan dalam pelajaran, bahkan naik kelas sebagai juara kedua di antara semua siswa kelas dua; tetapi kau juga tahu, Si Andi merasa terpaksa bersekolah di sekolah itu, apakah ini tidak terasa aneh?” tanyaku.
“Tidak, Om. Biasa saja,” jawabnya pendek sambil memandang langit-langit.
“Anak secerdas kau pasti bisa menjelaskan mengapa tidak betah bersekolah, apalagi pernah meminta pindah sekolah,” kataku buat memancingnya memberikan penjelasan.
“Tak ada yang aneh, Om. Tapi, aku tidak mau mama tahu apa yang aku lihat, Om.”
“Baik. Kenapa kau tak mau mama tahu apa yang kau lihat, Andi? Pasti itu hal luar biasa. Apa yang kau lihat? Bolehkah Om tahu?”
Andi terdiam. Tampak matanya sembab, tetapi mulai sesekali berani menatap mataku.
“Boleh, asal Om janji tak akan ngomong sama mama papaku.”
“Percayalah sama Om Edy,” kataku sambil mengulurkan tangan kanan dengan keempat jari yang terhimpun kecuali jari kelingking. Ia menanggapi dengan mengaitkan jari kelingking kanannya ke jari kelingking kananku.
“Om, ” katanya sambil menarik nafas panjang, “sekolahku berjarak kira-kira 300 meter dari kantor papa. Sewaktu di awal semester dua kelas satu, setiap kali pulang sekolah aku selalu mampir ke kantor papa, makan siang di kantinnya, mengerjakan PR di ruang kerja papa, dan kalau sudah selesai sering tiduran di sofa. Sehabis papa selesai jam kerja, aku pulang bersama papa. Tapi, Om…,” kedua matanya basah. Andi menarik nafas beberapa kali menahan tangis.
“Tapi apa, Andi? Tak perlu diitahan. Menangislah saja. Ruang ini kedap suara.”
“Di suatu hari, Om, tepatnya Jumat, 23 Maret 2012, seperti biasa aku ke kantor papa. Seperti biasanya, aku langsung masuk ke ruang papa. Di dalam tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba aku terasa mau pipis. Seperti biasanya aku langsung ke toilet di ruang kerja papa. Terkunci. Biasanya tidak. Aku berusaha memutar-mutar handel pintu dan akhirnya pintu terbuka, tetapi, Om….” Andi tiba-tiba menangis keras. Kata-katanya terbata-bata di tengah isak tangis. Aku ulurkan kotak tisu, dan ia mengambil beberapa lembar untuk melap wajahnya.
“Tapi…apa yang terjadi Andi?”
“Tiba-tiba aku merasakan tamparandi wajahku dari seseorang di dalam kamar mandi yang lampunya dimatikan. Aku mendengar suara menghardik, ‘Nyelonong saja tanpa mengetuk! Keluar!!!’. Yang membuatku kaget, itu suara papaku,” katanya patah-patah.
“Pernah papamu memperlakukanmu seperti itu sebelumnya?”
“Tak pernah, Om. Papaku tak pernah sekasar itu. Dan yang membuat aku sangat bingung, di dalam kamar mandi itu selain papaku kulihat seorang perempuan, seorang tante-tante yang tak kukenal, dengan rambut dicat merah kayak bule. Melihatku, perempuan itu berusaha membereskan pakaiannya yang berantakan….Masih terbayang jelas dalam ingatan, secara tak sengaja dan spontan aku menghidupkan switch lampu sehingga mereka berdua kaget. Dan aku melihat sangat jelas pemandangan di depan mataku” tuturnya lirih terbata-bata. Hampir tak terdengar.
“Sejak itu, pada hari Senin minggu berikutnya, aku tak mau barengan semobil sama papa. Aku berangkat sendiri naik angkot. Mamaku yang tak tahu-menahu kejadian itu malahan bangga. ‘Anakku sudah mandiri, mau berangkat sekolah sendirian dan tak mau diantar’,begitu aku dengar mamaku setiap kali telpon-telponan dengan teman-temannya.”
“Apakah setelah papamu menamparmu waktu itu tidak ada pembicaraan apa pun di antara kalian?” tanyaku.
“Ada, Om. Papa ngomong sesuatu di mobil. Yang kuingat, papaku meminta maaf telah menamparku, tetapi berpesan agar tidak menceritakan apa yang aku lihat kepada siapa pun. Papaku juga melarangku membicarakan atau membahas apa yang kulihat. Belakangan aku membaca beberapa artikel di internet; dan aku tahu, papaku berselingkuh.”
“Sejak itu, Om, aku tidak hanya tidak membicarakan semua yang telah kulihat, tetapi aku sama sekali tidak mau bicara apa pun dengan papaku. Buatku sangat aneh, kenapa papa meminta aku bungkam dan memegang rahasia, sementara ia juga bungkam dan tidak menjelaskan apa yang telah kulihat ke aku. Aku tidak mempercayai papaku. Aku benci. Benci, karena ia telah mengkhianati mamaku, mengkhianatiku, mengkhianati adikku. Aku malu, aku bingung. Aku harus menjaga rahasia, tetapi rahasia itu tidak pernah aku pahami karena papaku merahasiakannya terhadapku. Aku dipercayai menjaga rahasia, tetapi papaku yang mempercayakan rahasia itu sama sekali tidak mempercayaiku. Aku makin merasa tertekan dan bingung harus bersikap bagaimana ke mamaku. Aku bingung, kenapa katanya papa menyayangi dan menikahi mama, tetapi berselingkuh dengan perempuan lain. Lapor ke mama takut papa, tak lapor ke mama bingung dengan kelakuan papa. Kelewat bingung, aku tak mau bicara apa pun, baik ke papa maupun mama. Akhirnya aku meninggalkan mereka dengan cara tetap bersama mereka. Aku tidak pergi meninggalkan rumah dan tetap pulang ke rumah setiap hari, tetapi tidak merasa di hidup rumah. Jadi, Om, aku pulang ke kamarku, bukan ke papa dan mamaku,” kalimat terakhir ini diiringi dengan derai tangis dan sedu sedan seseorang dewasa, bukan seorang anak kelas dua SMP.
Aku berdiri mendekatinya. Ia pun berdiri dan merangkulku. Aku menyambut rangkulannya sambil memijit pangkal lengan kedua tangannya seolah berusaha mengambil alih beban berat yang ia tanggung selama satu setengah tahun: rahasia seorang Andi Sherlan Amura.
Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Assessment, Consultancy, and Research Centre.
7 comments for “Aku tahu, Papaku Berselingkuh”