4. Faham-faham dalam Psikologi

Beragam pendapat dalam psikologi menyebabkan timbul ber­bagai aliran yang berbeda dalam ilmu itu. Aliran-aliran timbul dari pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang dikembangkan peng­ikut-pengikutnya dan pada akhirnya bertemu pula dengan pemikiran tokoh lain. Dari pertemuan berbagai pemikiran itu dapat tumbuh pemikiran atau aliran yang baru sama sekali atau aliran-aliran yang sudah ada terpecah atau bergabung menjadi aliran baru. Demikianlah psikologi, sebagaimana ilmu pada umumnya berkembang terus secara dinamis. Namun, secara umum perkembangan aliran-aliran itu dapat disederhanakan dalam beberapa aliran besar.

2.1. Monoisme dan Dualisme

Para peneliti, khususnya di zaman sebelum Wundt terbagi dalam dua kelompok berdasar pandangan mereka tentang hubungan antara badan dan jiwa. Pandangan pertama menyatakan jiwa identik dengan badan. Badan dan jiwa merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Filsuf-filsuf zaman Yunani Kuno sebelum Socrates, pada umumnya menganut pandangan yang di­sebut monoisme ini. Tetapi, sejak Plato mengajukan teori ten­tang ide yang sudah ada sebelum tubuh dilahirkan maka mulailah timbul paham dualisme yang menyatakan jiwa adalah sesuatu yang terpisah dari badan.

Dalam pandangan dualisme ini pun ada beberapa pendapat. Rene Descartes, misal, berpendapat jiwa dan badan saling berinteraksi dalam sebuah kelenjar di otak yang disebut kelenjar pinealis. Di pihak lain, George Berkeley misal, berpendapat jiwa dan badan berjalan sendiri-sendiri, tetapi keduanya tunduk pada hukum yang sama sehingga kedua unsur dari manusia itu dapat berfungsi secara simultan. Akhir-akhir ini, setelah psikologi menemukan berbagai metode empirik untuk meneliti jiwa melalui perilaku, isu tentang monoisme dan dualisme ini tidak banyak lagi diperdebatkan para pakar.

2.2. Nativisme dan Empirisme

Bahan perbedaan pendapat sampai sekarang adalah ang­gapan bahwa sifat atau kepribadian manusia me­rupakan bawaan sejak lahir, sedangkan di pihak lain ada ang­gapan, sifat atau kepribadian manusia merupakan hal yang dipelajari. Pandangan pertama disebut nativisme (natal = lahir), se­dangkan pandangan kedua disebut empirisme (empiri  = peng­alaman).

Jung, salah satu tokoh nativisme menyatakan, manusia dapat dibagi dalam dua tipe, yaitu tipe ekstrovert (lebih berorientasi keluar dirinya) dan tipe introvert (lebih berorientasi pada diri sendiri). Selain itu, Jung juga rnembagi manusia dalam empat tipe, yaitu rasional, emosional, sensitif, dan intuitif. Pembagian jenis kepribadian lain dikemukakan Kretschmer yang mendasarkan tipologinya pada bentuk tubuh. Orang ber­tubuh kurus-tinggi cenderung tertutup dan kurang gembira, orang bertubuh gemuk-bulat lebih gembira dan terbuka, sedangkan orang bertubuh atletis lebih serius. C. Lombrosso, seorang penganut nativisme dalam ilmu kejahatan berpendapat, setiap penjahat sudah mempunyai bakat jahat sejak lahir yang bisa dilihat dari raut wajah orang bersangkutan.

Tokoh-tokoh berpandangan empiris menekankan, jiwa manusia ketika baru lahir masih putih bersih. Setelah mendapat berbagai pengalaman, jiwa itu terisi dan terben­tuk sesuai pengalaman-pengalamannya itu. Pandangan seperti ini antara lain dikemukakan John Locke dan J.B. Wat­son. Tokoh terakhir ini bahkan menyatakan, psikologi harus mampu merekayasa rangsang-rangsang yang diberikan kepada seorang anak untuk membentuk kepribadian anak sesuai keinginan atau tujuan tertentu. Dengan kata lain, melalui rekayasa pendidikan, orang bisa dibentuk menjadi penurut, pemarah, penyayang orang lain dan sebagainya.

Konsekuensi nativisme dan empirisme adalah pe­nerapannya dalam praktik. Dengan empirisme, orang merasa bisa berbuat lebih banyak, misalnya dalam rekayasa pendidikan. Tetapi kenyataannya, faktor pengalaman juga tidak sepenuh­nya menentukan. Seorang yang bertaraf kecerdasan ren­dah, misal, tidak akan bisa mencapai pendidikan tinggi walau diusahakan bagaimanapun juga. Karena itu, pandangan yang lebih banyak diterima sekarang adalah pandangan konvergensi, yaitu gabungan antara nativisme dan empirisme. Pandangan yang dikemukakan W. Stern ini beranggapan, rekayasa rangsang dari luar dalam upaya pembentukan kepribadian tertentu ha­nya bisa dilakukan dalam batas-batas bakat atau pembawaan yang sudah ada dalam diri subjek bersangkutan.

2.3. Elementisme, Fungsionalisme, dan Psikologi Gestalt

Ketika Wundt pertama kali mendirikan laboratorium psikologi, ia masih memusatkan perhatian pada penelitian tentang berbagai gejala penginderaan. Secara terpisah-pisah, ia mencoba me­ngetahui apa isi jiwa itu dengan mengadakan eksperimen tentang penglihatan bentuk, cahaya, warna, pendengaran, asosiasi, dan sebagainya. Dengan kata lain, Wundt melakukan penelitiannya de­ngan cara pendekatan elementisme (elemen = unsur  bagian).

Cara pendekatan Wundt ini mendapat kritik, antara lain dari murid-muridnya sendiri. Salah satu kritik timbul dari tiga kerabat peneliti di Universitas Berlin, yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Mereka berpendapat manusia mempersepsikan lingkungannya tidak secara terbagi-bagi dalam elemen-elemen, melainkan sekaligus dalam bentuk totalitas yang terorganisasikan secara tertentu. Dengan kata lain, persepsi manusia terhadap lingkungannya adalah secara gestalt (bentuk keseluruhan). Karena itu, timbul aliran psikologi gestalt yang memusatkan penelitian-penelitian mereka pada gejala penginderaan secara keseluruhan. Dari penelitian-penelitian itu, mereka kemudian mengetahui, di balik penginderaan yang kasat mata, ada proses lain (proses berpikir, proses belajar) di dalam jiwa orang (juga dalam jiwa hewan percobaan mereka) yang dinamakan proses kognitif (kognisi = kesadaran).

Di samping itu, Wundt juga mendapat kritik lain dari kaum fungsionalisme yang berpusat di Amerika Serikat. Aliran yang di­pimpin William James ini menyatakan pendapat bahwa yang penting dipelajari bukanlah struktur atau isi jiwa, melainkan fungsinya. Misal, mengapa seseorang itu takut, untuk apa dia melarikan diri dari bahaya, mengapa seseorang itu agresif, dan untuk apa dia giat bekerja. Dengan mengerti fungsi perilaku ini secara baik, jiwa dapat dipahami secara lebih baik.

2.4. Psikologi Perifer, Psikologi Dalam, dan Psikologi Kognitif

Beberapa pakar psikologi berpendapat, hubungan antara rangsang (stimulus/S) dari luar dengan reaksi (respons/R) yang diberikan orang bersangkutan merupakan hubungan langsung S-R.  Jika S berubah, R berubah. Kalau S rangsang yang menyenangkan (hadiah ganjaran) maka R pun positif (makin giat, ingin memiliki) Sebaliknya, jika S tidak menyenangkan (hukuman) maka R pun negatif, dalam arti makin tidak mau melakukan, menghindari, membenci, dan sebagainya. Karena hubungan S-R yang langsung ini, timbul teori yang menyatakan, untuk mendapatkan R tertentu kita tinggal mengubah-ubah jenis S saja. Teori ini dikemukakan behaviorisme yang dipimpin J.B. Watson yang juga penganut empirisme. Teori hubungan S-R yang langsung ini disebut juga teori perifer (kulit luar) karena tidak mempedulikan proses yang terjadi dalam alam pikiran subjek ketika memberikan responsnya.

Berlainan dengan kaum behavioris yang tidak hendak melihat proses-proses yang tidak kasat mata dan tidak dapat diukur secara langsung karena dianggap tidak objektif, aliran psikoanalisis yang dipelopori Sigmund Freud, justru berusaha mempelajari hal yang terjadi di alam ketidaksadaran (unconsciousness). Karena itu, aliran ini disebut juga Psikologi dalam. Teori ini berpendapat, bagian terbesar dari jiwa manusia merupakan alam ketidaksadaran, berisi naluri-naluri dan pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang tidak ingin dimunculkan ke alam kesadaran karena membahayakan ego (aku) yang berada dalam kesadaran. Naluri yang berupa naluri seksual, naluri agresif, dan pengalaman yang terpendam ini selalu berusaha muncul dan mempengaruhi perilaku walaupun ada perlawanan dari ego. Pengaruh dari alam ketidaksadaran inilah yang menyebabkan berbagai gangguan perilaku, bahkan bisa menyebabkan gangguan jiwa yang oleh subjek bersangkutan sendiri tidak dapat diketahui dengan pasti penyebabnya. Gejala acrophobia (takut pada ketinggian), claustrophobia (takut pada tempat sempit), dan anxiety (kecemasan umum yang tidak jelas objek maupun alasannya; adalah contoh gejala-gejala yang biasa disebabkan fak­tor dari alam ketidaksadaran tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, psikoanalisis baru (neo-psikoanalisis) tidak lagi terlalu menitikberatkan pada dorongan seks sebagai naluri utama, tetapi tetap menekankan pentingnya peran alam ketidaksadaran.

Teori psikoanalisis bagi sebagian pakar psikologi dianggap kurang praktis karena untuk mempelajari perilaku seseorang, apalagi untuk menerapkannya dalam berbagai masalah praktis, diperlukan keahlian khusus dan prosedur yang lama serta rumit yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Karena itu, aliran lain yang kemudian lebih mendapat tempat adalah psikologi kognitif. Aliran yang mulai berkembang pesat hanya dalam 20 tahunan terakhir ini tidak hendak meneliti hal-hal yang terlalu terpendam dalam alam ketidaksadaran karena dianggap terlalu sulit dan tidak objektif. Di pihak lain, mereka juga beranggapan, psikologi perifer terlalu menyederhanakan persoalan karena proses-proses kejiwaan yang covert seperti berpikir, merasakan, dan sebagainya memang ada. Proses-proses kejiwaan  yang berada dalam alam kesadaran manusia inilah yang menjadi perhatian utama psikologi kognitif (kognisi = kesadaran). Masalah-masalah yang dibicarakan aliran ini, misal, keadaan disonan (perasaan kurang senang) yang ditimbulkan jika ada dua elemen (atau lebih) dalam kesadaran yang saling bertentangan. Menurut Festinger, tokoh yang mengajukan teori disonansi kognitif, keadaan disonan ini mendorong orang untuk mengambil sikap tertentu atau melakukan perilaku ter­tentu terhadap sesuatu. Misal, jika melihat orang memakai jas hujan (elemen kesadaran pertama) padahal hari panas (elemen kesadaran kedua) maka dalam diri kita akan timbul kondisi disonan dan kita akan bertanya mengapa orang itu memakai jas hujan pada waktu tidak hujan? Atau jika kita melihat orang membuang sampah ke jalanan (elemen pertama) dari mobil mewah (elemen kedua) maka kita juga akan mengalami kondisi disonan.