Sebelum pertengahan abad lima belas, buku di Eropa jarang dan mahal. Orang masih menyalin dan menggambar setiap buku dengan tangan. Cara ini sulit dan lambat. Di Cina, orang-orang mengukir potongan kayu dengan kata dan gambar. Potongan-potongan itu mereka gosok dengan tinta dan lalu mereka tekan ke atas kertas. Cara ini pun sulit dan lambat. Lalu, datang Johannes Gutenberg. Pada 1438, ia menemukan mesin cetak menggunakan tip yang dapat dipindah-pindah. Gutenberg membuat tip dari campuran timbel, timah, dan antimonium untuk setiap abjad. Setelah terbentuk, tip-tip itu disusun membentuk kata-kata yang menjadi kalimat-kalimat dan selanjutnya menjadi satu halaman naskah. Menekankan selembar kertas pada tip yang bersaput tinta menghasilkan halaman cetak. Satu tatanan tip dapat digunakan untuk 100 halaman cetak sebelum disusun ulang untuk halaman berikut sampai seluruh buku tercetak. Metode Gutenberg menjadikan buku-buku saat itu dicetak cepat, mudah, dan murah.
Gutenberg agaknya tidak pernah mengira kalau penemuannya mengakhiri abad pertengahan yang gelap gulita. Melalui mesin cetak, ilmu pengetahuan dengan cepat menyebar ke seluruh Eropa, memerangi kebodohan dan mengurangi tekanan gereja. Rakyat mulai mendengar konsep-konsep baru dari para ilmuwan tentang langit dan bumi dan tentang daerah-daerah baru di seberang laut. Pamflet dan selebaran-selebaran pun membangkitkan pemberontakan-pemberontakan terkenal dalam sejarah. Buku-buku, lembaran-lembaran berita, dan suratkabar kemudian menjadi bagian dari hari-hari masyarakat dunia.
Sampai hari ini, lebih dari lima abad sudah usia penemuan mesin Gutenberg. Selama ini pula, mungkin banyak orang lupa, perjalanan mesin cetak Gutenberg bukan hanya sejarah kisah sebuah mesin, melainkan juga bagian dari sejarah pemikiran manusia. Orang-orang grafika, para ahli mesin cetak, distributor kertas dan tinta, tidak bisa tidak perlu memahami hal ini. Paling tidak, mereka memahami mesin-mesin, alat-alat, tinta-tinta, dan kertas-kertas mereka sangat menentukan distribusi ilmu pengetahuan. Dan, lebih dari itu, mereka pun sangat erat berurusan dengan politik dan kekuasaan. Para penerbit mungkin lebih menyadari hal ini ketimbang para ahli teknik dan ahli grafika. Di Indonesia, banyak buku yang telah dilarang penguasa. Selama 30-an tahun berkuasa, pemerintah Orde Baru tercatat melarang sekitar 2000 buku atau 67 judul per tahun. Ini melampaui rekor gereja Katolik yang selama empat abad telah membreidel 4000 buku atau 10 judul buku per tahun. Dan, selama itu, tentu belum terdengar larangan terhadap penggunaan mesin cetak bermerek Gutenberg.
Panjangnya tangan penguasa dalam “menekan” laju penyebaran pemikiran manusia telah berlangsung sebelum Gutenberg menemukan mesin cetak. Tercatat, awal abad ketiga, Kaisar Cina Shih Huang Ti yang membangun Tembok Cina telah memerintahkan pembasmian buku-buku untuk melawan oposisi. Karena itu, setelah penemuan mesin cetak, pemberhangusan terhadap barang cetakan baik buku, majalah, dan suratkabar, bukan hal baru. Para penguasa, antara lain, melalui pemberian lisensi dan wajib lapor sebelum terbit masih saja terus memberhangus pemikiran yang menentang mereka. Dan, masalah kian serius ketika bentuk-bentuk pembatasan itu telah menjadi semakin variatif dan meluas ke bidang ekonomi. Penguasa Inggris, misal, memberlakukan cukai untuk menekan penerbitan suratkabar melalui UU Meterai sampai 1885. Dan, di Indonesia, walau tidak ada lagi Surat Ijin Terbit (SIT) dan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), kiranya masih banyak orang yang tidak sanggup (berat) membeli suratkabar. Dan, walau sekarang jumlah judul dan oplah buku berlimpah-limpah, masih banyak juga orang yang tidak sanggup membeli buku. Bentuk-bentuk monopoli dan kapitalisme merupakan tangan-tangan penguasa baru yang menghambat penyebaran ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia.
Saat ini, menjelang tahun ajaran baru, masih banyak orang Indonesia yang tidak sanggup membeli buku. Khusus harga buku-buku pelajaran SD, SLTP, dan SLTA sungguh-sungguh mendera ekonomi setiap orangtua yang hendak menyekolahkan anaknya. Lebih dari 500 tahun lampau, Gutenberg merekayasa mesin cetak untuk mempercepat, mempermudah, dan mempermurah biaya buku, namun harga buku sekolah di Indonesia kini terasa mahal sekali. Satu paket harga buku di sebuah sekolah swasta malah ada yang mencapai Rp. 500.000,-
Perjalanan mesin cetak Gutenberg memang bukan hanya sejarah kisah sebuah mesin, bukan juga sekedar bagian dari sejarah pemikiran manusia, bukan juga sejarah penguasa semata, melainkan juga bagian dari sejarah kapitalisme. Kita memang tidak banyak mengetahui sisa-sisa kehidupan Gutenberg. Kita lupa, setelah ia selesai mencetak Kitab Injil setebal 1.282 halaman, pada tahun 1456, ia sudah tidak memiliki uang lagi. Ketika seorang sahabat yang memberinya kredit menagih, tidak ada jalan lagi bagi Gutenberg kecuali meninggalkan rumah dan bengkelnya. Ia meninggalkan semua buku yang telah dicetaknya. Sahabatnya itu, Si Tukang Kredit, mengambil alih posisi Gutenberg dan segeralah percetakan pertama tumbuh dengan subur sebagai jejak cikal bakal kapitalisme di industri penerbitan. Gutenberg adalah korban pertamanya.***
1 comment for “GUTENBERG DAN TUKANG KREDIT”