INGAT ALLAH DALAM CAHAYA PSIKO-BIOLOGI

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini. (Al A’raf:  172).

Ingat berarti memanggil kembali (recall) segala sesuatu (pengetahuan) yang pernah direkam (record) di tempat penyimpanan (storage) untuk dipergunakan.  Bila tidak ingat siapa, apa, di mana, dan kapan sesuatu terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak akan mampu mempelajari apa pun. Pengetahuan menjadi muskil. Orang memikirkan kembali ide-ide sesaat dengan memori jangka pendek dan ia menyimpan peristiwa di masa lalu dengan memori jangka panjang.

Karena itu, ingat Allah mengisyaratkan, seseorang telah memiliki pengetahuan tentang Allah, pernah terjadi pertemuan antara dirinya (yang mengingat) dengan Allah (sebagai pengetahuan) yang direkam pada masa lampau. Pertemuan itu ia rekam di memori jangka panjang dan begitu dibutuhkan, ia dapat memanggil kembali. Sebab itu, bila tidak pernah bertemu Allah, apa yang dapat diingat seseorang dari memorinya?

Ayat Al A’raf menunjukkan, sebelum lahir ke dunia, setiap orang pernah bertemu Allah dalam bentuk roh dan Allah mengambil kesaksiannya, ia mengakui Allah, Tuhan manusia. Dan, walau belum memiliki jasad, ayat itu mengindikasikan, roh manusia telah mampu merekam pertemuan itu, menyimpannya, dan ketika di dunia, ia melupakannya. Karena itu, Allah mengingatkan pertemuan tersebut dengan tujuan, “….(Kami lakukan yang demikian itu ) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”

Berarti, sampai di hari akhir nanti, Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia mengenai pertemuan itu dan setiap manusia yang meninggal, kembali ke bentuk roh, tidak mampu membantah bahwa Dia adalah Allah, Tuhannya. Ia tidak dapat mencari alasan: saya tidak pernah bersaksi dan berjanji pada-Mu, ya Allah, saya tidak pernah engkau beri tahu tentang Engkau, atau kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Ini merupakan kesadaran pertama yang ada pada setiap diri manusia tentang Allah, tentang dirinya, dan tentang hubungan Allah dengan dirinya. Karena bersifat universal, terjadi pada setiap individu ketika belum lahir ke dunia, kesadaran itu dapat disebut sebagai kesadaran kolektif. Menjadi fitrah bagi setiap manusia.

Secara psikologis, fungsi merekam dan fungsi menyimpan pada diri individu telah ada dan berlangsung ketika seseorang masih dalam bentuk roh. Masalahnya, pertama, setelah lahir dan berjasad di dunia, fungsi mengingat manusia tidak mampu memanggil kembali peristiwa pertemuan dirinya dengan Allah. Mengikuti konsep C.G. Jung (dengan segala kritik) mengenai kesadaran kolektif, ketidakmampuan mengingat itu bukan berarti pengetahuan bertemu Allah itu menghilang begitu saja, melainkan rekaman itu telah menjadi arketipe-arketipe. Sebagai isi kesadaran kolektif, menurut pendiri psikologi analitik itu, arketipe-arketipe tersebut tidak dapat diamati secara langsung atau tidak dapat ditampakan, psichoid. Jadi, tugas psikolog (muslim) untuk mencari dan membuktikan arketipe-arketipe tersebut bagi penegakan agama Islam.

Masalah kedua, setelah direkam, pengetahuan tentang Allah itu, yang dalam bentuk arketipe, tidak jelas direkam oleh apa dan disimpan di mana. Karena belum ada jasad, tentu alat perekam dan tempat menyimpan hasil rekamannya juga berbentuk roh.  Orang sering merujuk ingatan dengan otak. Namun, sulit membayangkan otak sebagai tempat menyimpan ingatan. Para neurolog menemukan, otak bukan sebuah entitas statis, melainkan sebuah kumpulan syaraf dinamis yang terus berubah. Semua kimiawi dan substansi sel berinteraksi dan berubah posisi secara konstan. Bukan seperti CD komputer yang berformat teratur dan statis sehingga dapat memberi informasi yang sama setelah menyimpannya beberapa tahun. Karena itu, sulit untuk menjaga agar sebuah ingatan dapat disimpan dan dipanggil kembali dalam otak yang terus berubah.

Tapi, yang terpenting, setelah beberapa dekade, para ahli kesehatan masih belum menemukan bagian otak yang menyimpan ingatan. Dr. Rupert Sheldrake menjelaskan, pencarian pikiran telah dilakukan ke dua arah berlawanan. Ketika sebagian besar ilmuwan mencari di dalam kepala, Sheldrake mencari keluar. Ingatan manusia, kata biolog ini, tidak berada di bagian otak, tetapi tersimpan dalam semacam medan yang mengelilingi otak, disebut medan morphonegetic.  Dari sudut ini, otak tidak berfungsi sebagai fasilitas penyimpanan, storage, atau pikiran itu sendiri, ia hanya syaraf fisik yang diperlukan untuk menghubungkan individu dengan medan morphonegetic. Kasus orang hilang ingatan akibat kerusakan otak tidak membuktikan ingatan tersimpan di otak. Amnesia akibat gegar otak, misal, biasa sementara. Ingatan yang pulih sangat sulit dijelaskan dengan teori konvensional: jika ingatan hilang akibat kerusakan selaput ingatan di otak, ingatan tidak mungkin kembali.

Pertemuan manusia dengan Allah yang telah direkam oleh roh mungkin disimpan di dalam sebuah medan morphonegetic yang berbentuk arketipe-arketipe kesadaran kolektif. Peristiwa ini terjadi sebelum manusia memiliki jasad. Arketipe-arketipe itu mungkin saja belum terlacak, namun  kerinduan-kerinduan pada Allah, kerinduan pada pertemuan dengan diri-Nya, ketakutan dan malu bertemu dengan diri-Nya, perasaan-perasaan ihsan, dan dapat juga rasa bersyukur atas nikmat Allah menunjukkan, Ia selalu ada dan diakui keberadaan-Nya oleh manusia di sepanjang sejarah dan bukankah kesaksian itu selalu diulang-ulang sebagai mana pertama kali manusia bertemu dengan-Nya, Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi,dan dilanjutkan dengan La Ilaha Illa Allah“?***

3 comments for “INGAT ALLAH DALAM CAHAYA PSIKO-BIOLOGI

Comments are closed.