Dia adalah seorang ustad muda di sebuah mesjid, di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Usianya 32 tahun. Setelah bertahun-tahun menjadi marbot (penjaga mesjid), ia hijrah menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Kini, ia baru saja menyelesaikan studi pasca sarjana di bidang agama Islam dan meminta saran untuk mengembangkan karirnya sebagai dosen.
Ustad: Pak, saya sudah menyelesaikan pendidikan S-2. Saya ingin mengembangkan diri. Ada saran, Pak?
Maksud bapak?
Ustad: Saya sekarang guru agama di sebuah sekolah, kira-kira bagaimana kalau saya menjadi dosen?
Kalau Bapak ingin menjadi dosen, bisa saja. Tapi, mengapa Bapak tidak memantapkan diri menjadi guru? Lha, secara ekonomi, menjadi guru itu pendapatannya bisa lebih besar dari pada dosen. Apalagi, guru di DKI Jakarta, tunjangan dan sertifikasinya juga besar.
Ustad: Saya sudah menjadi guru selama dua tahun ini, tapi belum bisa disertifikasi. Belum punya nomer. Karena saya baru lulus S-2, ‘kan lebih baik menjadi dosen saja. Bapak bisa menolong saya, ngga? Bantu-bantu gitu, Pak!
Maksud pak Ustad, bantu-bantu gimana?
Ustad: Bapak ‘kan dosen. Mungkin punya saran, saya baiknya ngajar di mana?
O, ya. Jelas bapak cocok menjadi dosen agama. Kalau mau mengajar, di mana saja bisa.
Ustad: Bapak bisa bantu saya ngajar di kampus Bapak?
Kalau di kampus saya, udah penuh, ngga ada posisi kosong, Pak. Mungkin, ada baiknya ngajar di kampus dekat mesjid Bapak yang dulu itu.
Ustad: O, di situ? Baik, boleh juga, Pak. Bisa bantu saya?
Saya bisa menolong, tapi hanya sebatas memperkenalkan Bapak ke salah satu pimpinannya. Saya ngga bisa memutuskan bapak masuk untuk mengajar di sana.
Ustad: Jadi, silaturahim dulu, ya?
Ya, mudah-mudahan dengan silaturahin itu, Pak Ustad bisa menjadi dosen.
….
Beberapa hari kemudian, Pak ustad telah berkenalan dengan dua dosen di perguruan tinggi, dekat mesjid, tempat ia pernah menjadi marbot. Satu di antara dosen itu adalah seorang pembantu direktur. Ia diminta untuk memasukkan lamarannya. Katanya, jika ada lowongan, ia akan segera dipanggil.
Ustad: Pak, sekarang kuliah sudah dimulai, kenapa saya belum dipanggil-panggil, ya?
Sabar, Pak. Bukankah kita kemarin hanya bersilaturahim, berkenalan dengan dosen, dan juga sudah berkenalan dengan pimpinan kampus tersebut. Syukur Pak Ustad sudah diminta untuk mengajukan lamaran. Kalau belum dipanggil, kan ngga apa-apa?
Ustad: Iya, ya. Apa perlu kita ke sana untuk menanyakannya?
Apakah surat lamaran yang waktu itu pak ustad buat sudah benar diberikan ke sekretariat?
Ustad: Sudah, Pak. Kan juga sudah ada tanda terimanya.
Kalau begitu, ya ada baiknya juga ke sana.
Ustad: Baik, Pak. Sama Bapak, kan?
……
Beberapa hari kemudian, Pak ustad berkunjung ke kampus tempat ia melamar pekerjaan. Pimpinan yang berkenalan dengannya dulu sedang sibuk. Tidak bisa ditemui, karena itu, pertemuan hanya dilakukan dengan salah satu dosen yang pernah dikenal pada pertemuan pertama. Ketika dikonfirmasi, memang kuliah sudah dua minggu berjalan. Pak Ustad memang tidak dipanggil. Matakuliah agama masih diajarkan oleh seorang dosen tetap.
Ustad: Pak, apakah nanti itu saya bisa diterima sebagai dosen tetap dan menjadi PNS?
Wah, yang saya tahu, kemarin itu melamar jadi dosen tidak tetap, dosen agama. Kalau bapak melamar jadi dosen tetap PNS, tentu jauh lebih sulit lagi.
Ustad: Saya ingin jadi PNS, Pak. Bisa dibantu, ngga?
Pak, kemarin itu, kita kan hanya bersilaturahim. Dipanggil jadi dosen tidak tetap aja belum. Ditunggu saja perkembangannya. Kalau mau jadi PNS, sebaiknya bapak memang menjadi dosen luar biasa dulu. Nanti kalau ada formasi, akan diberitahu, ujian dulu di Diknas. Setelah itu di test lagi di kampus, kalau ada formasi baru diterima. Prosedurnya sangat panjang dan untung-untungan.
Baik, Pak. Terimakasih.
……
Beberapa minggu kemudian.
Ustad: Pak, perkuliahan sudah lama berlangsung. Kayaknya, saya memang tidak diterima.
Betul, tapi jangan kecewa, bukankah tujuannya kemarin bersilatuahim?
Ustad: Ya, Pak. Tapi, saya ingin sekali menjadi dosen PNS, Pak. Kemarin saya sudah kontak temen kita yang di kampus kemarin, ia suruh saya untuk menghadap Pak Pembantu Direktur untuk bertanya. Katanya, Pak Pembantu Direktur itu terlalu sibuk, harus dikejar terus. Gimana, Pak?
Pak, Bapak sudah bersilaturahim. Bapak juga sudah diminta mengajukan lamaran dan Bapak juga sudah dua kali ke sana. Karena itu, menurut saya sudah cukup. Malah, Bapak sudah pula berkeinginan menjadi PNS. Menurut saya, ini sudah berlebih-lebihan. Allah tidak suka orang-orang yang melampaui batas ‘kan? Apa-apa yang sudah Bapak miliki sekarang, menurut saya, jauh lebih berharga dari pada yang Bapak impi-impikan itu. Yang ada sekarang justeru harus Bapak jaga baik-baik.
Ustad: Iya, ya, Pak. Jadi, kita serahkan saja sama Allah?
…..
Beberapa hari kemudian, Pak Ustad menelepon saya. Katanya, luar biasa, ia diminta Pembantu Direktur ke kampus untuk menggantikan dosen tetap yang telah mengajar agama selama empat minggu. Padahal, mengganti dosen di tengah perkuliahan berlangsung adalah hal yang hampir tidak mungkin. Ia diminta karena dosen bersangkutan diminta mengajar matakuliah lain karena kekurangan tenaga. Pak Ustad kini telah menjadi dosen tidak tetap di sana. Saya hanya bisa mengucapkan, “Selamat! Ingat Pak Ustad, orang tidak akan pernah memperoleh sesuatu melebihi dari apa yang telah ia niatkan.***
4 comments for “INGAT, JANGAN MELAMPAUI NIAT”