KUAT DI LOGIKA MATEMATIKA, JEBLOK DI MATEMATIKA

“Pak Edy, Anda harus mempertanggungjawabkan hasil analisis Anda seperti tertulis dalam laporan Multiple Intelligence anak saya. Hal yang tak masuk buat akal saya selaku praktisi Matematika ialah   –maaf saya harus berterus terang bahwa saya dosen senior dalam Matematika di Universitas X– pada laporan ini Anda menulis bahwa Logika Matematika Bagas Adilaksana Pangaribuan, anak saya, adalah 93 dari skala 1-100. Padahal, di antara semua hasil ujiannya, justru di Matematikalah ia paling jeblok. Saya sangat terpukul dengan laporan ini. Pasalnya, Bagas ikut membaca laporan, dan Anda menyediakan alasan yang kuat bagi Bagas untuk membantah perintah saya agar ia mau mengerjakan banyak latihan soal. Karena itu saya minta Anda mempertanggungjawabkan analisis Anda!” cecar Dr. Laseo Pangaribuan tanpa ada basa-basi sebelumnya, pun masih dalam posisi berdiri di depan meja konsultasi.

“Baik, Pak Laseo. Saya persilahkan duduk. Sepenangkapan saya atas yang Bapak sampaikan, Bapak tidak sedang mempersoalkan hasil analisis, tetapi data pada profil kecerdasan Dik Bagas yang dominan di komponen Logika Matematika. Benarkah, demikian?” aku memperjelas motif di balik ‘serangan fajarnya’.

“No no no… Saya memprotes analisis yang bikin Bagas membangkang!” sergah Pak Laseo dengan tonasi suara meninggi.

“Ikhwal pengharusan-pembangkangan adalah murni persoalan di antara Bapak dan Bagas. Sedari awal Bapak tak menyebutkan hasil analisis yang mana. Yang Bapak sebut adalah kesenjangan dan hubungan terbalik antara tingginya komponen Logika Matematika dik Bagas dan rendahnya nilai pelajaran Matematika. Bukankah begitu?” aku mencoba memposisikannya sebagai dosen senior Matematika.

“Baik, baik, baik. Okey, kita bicara data. Data Bagas tentang posisi 93 di Logika Matematika memang membuat saya skeptis, meski para sejawat saya yang anak-anaknya pernah Anda ases meyakinkan saya bahwa instrumen Anda memiliki presisi dan validitas tinggi. Bagi saya, fakta empirisnya ialah bahwa Bagas jeblok di pelajaran Matematika!” tegasnya.

Aku menangkap seleret terang, sebab ia mulai rasional.

“Sebenarnya bukan saya yang harus menjelaskan hal ini kepada Bapak, tetapi sebaliknya Bapaklah yang seharusnya menjelaskan kepada saya.  Bapak sangat paham, Matematika adalah ranah sains dasariah yang mempersyaratkan cara berpikir sistematik, terorganisir, teratur, logis, dan bersifat kumulatif. Karena kumulatif, keterampilan berpikir matematik tak bisa dibangun tanpa didasarkan pada pemahaman sebelumnya. Tidak ada yang tercecer dan terlupakan, semuanya harus diingat. Si pembelajar Matematika perlu terus-menerus membangun menara pemahamannya blok demi blok, sampai mencapai tingkatan tinggi pada masing-masing keterampilan tersebut. Tak ayal, Matematika pun awalnya dimulai dengan menghafal, melakukan perhitungan;  mulai dari pecahan, desimal, persen, pemahaman makna kata, selain tindakan pemecahan masalah, sebagaimana dalam geometri,  aljabar, trigonometri, dan kalkulus. Matematika mempersyaratkan tahapan yang sulit karena pembelajar harus membangun terus-menerus dari tahun ke tahun melalui setiap tahapan pendidikan anak. Kegagalan menguasai salah satu tahapan akan membuat pembelajar bekerja lebih sulit pada tahapan berikutnya. Itulah sebabnya sebagian besar siswa yang dapat mencapai tingkat tinggi dalam pelajaran Matematika Dasar justru bukan mereka yang tinggi di Logika Matematika, tetapi justru yang tinggi di Logika Bahasa.

Dari belasan ribu klien siswa kelas 4 ke bawah yang saya konsul, saya menyimpulkan bahwa 65% dari waktu yang mereka gunakan ketika mengerjakan soal-soal Matematika adalah waktu untuk mecerna dan memahami soal; apalagi soal yang diformulasikan dalam cerita. Khusus pada putera Anda, dik Bagas, kendati ia sangat dominan di komponen Logika Matematika, ia lemah dalam komponen Logika Bahasa yang berada pada posisi 18 dari skala 1-100. Boleh jadi, ini memberi penjelasan mengapa ia jeblok di pelajaran Matematika,” aku diam sejenak mengambil jeda.

Pak Laseo beberapa kali menggericitkan jidatnya sambil badannya miring ke belakang dengan dagu terangkat dan tangan menyilang di depan dada, mengesankan bahwa ia skeptis dan dan bersikap kritis terhadap penjelasanku. Namun tiba-tiba posturnya berubah miring ke depan sambil berusaha membaca laporan yang terpegang di tangan kanannya lebih dekat ke matanya, terutama ketika mendengarkan ucapan tiga kalimat terakhirku.

“Okey. Ya, ya, ya. Mulai masuk di akal saya. Lantas, apakah Matematikanya akan membaik setelah ia di kelas 5? Kalau sekarang ia kelas 3, langkah praktis apa yang harus saya lakukan untuk killing time?” suaranya mulai pelan dan datar.

“Tentang langkah praktis, kita perlu mengagendakan sesi konsultasi di luar paket yang diselenggarakan dalam kerjasama antara sekolah ini dan IISA Assessment Centre. Waktu yang dialokasikan untuk diskusi kita nampaknya tidak mencukupi, karena orangtua yang mendapatkan giliran konsul berikutnya sudah terjadual 15 menit lagi. Saya mau menambahkan cermatan saya. Dengan perimbangan yang memadai antara Logika Matematika dan Logika Bahasa para siswa lebih dipermudah meningkatkan daya akurasi, kemampuan berpikir logis, dan keterampilan memecahkan masalah. Ketika berpadu dengan Logika Matematika, Logika  Bahasa memudahkan siswa melakukan formasi, dan tidak sekadar mengakses informasi. Paduan keduanya memudahkan siswa mentransformasikan  dan mengalami perubahan berpikir ke arah dan pola pikir yang lebih teratur, lebih logis, lebih akurat, dan lebih terorganisir. Di sini, pendidikan matematika bukan sekadar untuk memperoleh skor tinggi dalam pelajaran,  tetapi yang lebih penting ialah bagaimana para siswa lebih mampu mengembangkan, membentuk, dan mengubah baik pikiran maupun karakter agar menjadi lebih berkualitas. Di sini berlaku adagium bahwa MATEMATIKA UNTUK HIDUP, BUKAN HIDUP UNTUK MATEMATIKA” aku berhenti sejenak.

“Baik, baik, baik, Pak Edy. Pikiran saya terbuka sekarang dan penjelasan Anda makin meyakinkan saya sebagai seorang insan matematika. Saya jadi ingat, saya selalu menekankan kepada para mahasiswa saya, hekakat matematika adalah bahasa; meski bahasa bukanlah subjek atau pelajaran matematika itu sendiri. Bahasa menjadi sesuatu yang jauh lebih mendasar dan fundamental dibandingkan Matematika sebagai subjek itu sendiri. Jadi, memang harus ada keseimbangan antara kecerdasan Logika Matematika dan Logika Bahasa untuk membangun motivasi, ketertantangan, berpikir kumulatif dan formatif. Bahasa penting untuk menguasai Matematika, bahkan Matematika tergantung pada bahasa. Guru mengajar matematika melalui gabungan antara konsep dalam kata-kata dan simbol matematika yang diboncengkan pada kata-kata sehingga dapat dengan mudah dimanipulasi di atas kertas. Dari diskusi ini, saya menjadi paham kenapa Bagas yang sangat mengesankan di Logika Matematika justru sangat buruk di pelajaran matematika. Bahasa Matematika rupanya tidak terdiri hanya dari formula saja. Definisi dan istilah yang sering diungkapkan dengan kata kadang memiliki makna yang berbeda menurut adat, kebiasaan dan budaya. Dan inilah yang membingungkan Bagas,” tegasnya.

“Ya, baik, Pak Edy. Terima kasih pencerahannya. Maafkan sikap saya yang kurang bijaksana tadi. Gara-gara laporan itu, saya minta isteri saya apkir sementara untuk urusan sekolah Bagas. Baru kali ini saya datang ke sekolah, khusus untuk keperluan Bagas; selain mau mematahkan kebenaran dari laporan ini. Maaf, lho, Pak Edy,” katanya sembari tersenyum cerah.

“Tak soal, Pak Laseo. Kalau boleh berbagi, ada pepatah dalam bahasa Latin, “Vivimus non pro math, sed discimus mathematicorum vita”. Kita hidup bukan untuk matematika, tetapi kita belajar matematika untuk hidup. (ES)

***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre [http://visiwaskita.com/].

3 comments for “KUAT DI LOGIKA MATEMATIKA, JEBLOK DI MATEMATIKA

Comments are closed.