Makna Nilai dan Perilaku

Ini mungkin “rahasia” saya dengan Br. Michael Pudyartana FIC, 74 tahun, mantan Kepala SMU Pangudi Luhur (PL). Karena sudah 35 tahun, bolehlah dibocorkan. Inipun agar mahasiwa saya Ratnasari Dewi tidak salah paham tentang makna nilai. Katanya ketika mengomentari status saya, “…sebetulnya nilai tidak begitu penting dari ilmu yang didapat selama belajar 3 tahun.”

Saya ingin mengatakan, nilai sangat penting selama kita mampu memahami makna nilai tersebut. Ketika kelas dua, saya tidak naik kelas tiga karena nilai rata-rata raport 4,68. Ternyata, tercatat saya juga terlambat 11 hari, bolos 29 hari, sangat pemalas, dan bandel. Bruder memanggil saya. Katanya, saya dapat naik kelas kalau saya mau pindah ke sekolah lain. Sekolah dapat membantu agar saya diterima di luar PL. Nilai saya, kalau tak salah, bisa menjadi rata-rata 6.00. Saya percaya. PL memang memiliki standar lebih tinggi. Yang sudah-sudah, siapa pindah dari PL ke sekolah lain, kemungkinan besar, malah menjadi juara.

Saya terhenyak. Usul bruder saya tolak. Masalahnya, bukan saya tidak mau nilai lebih bagus dan naik kelas. Sebenarnyalah, PL sudah “tidak menghendaki” saya. Bukan sekedar nilai, tapi soal perilaku saya yang mungkin mengesalkan. Saya katakan, saya memang malas dan sering mengesalkan, tapi saya tidak mau pindah. Biar tidak naik kelas asal saya tetap di PL.

Bruder mungkin bingung mendengar nada saya yang setengah memaksa. Karena itu, saya jelaskan, kalau di luar, saya memang naik kelas, tapi saya bisa jadi tambah nakal dan tidak menjadi orang yang baik. (Di PL saja yang sudah sangat disiplin saya begini, bagaimana jadinya di luar?)

Bruder memenuhi permintaan saya. Alhamdulilah, saya lulus SMU PL tanpa hambatan. Sekitar dua puluh tahun kemudian, saya mengunjungi bruder di Majalah Hidup. Walau banyak yang lebih hebat dan sukses dari saya, saya katakan padanya, saya sekarang sudah menjadi seorang dosen dan lulus magister S-2. Ia tersenyum dan mengatakan, perkiraannya tentang saya waktu itu tidak meleset, ia yakin saya mampu menjadi lebih baik. Karena itu, katanya, ia benar-benar mempertahankan keberadaan saya di PL dalam sebuah rapat guru.

Ratnasari, walau sekolah mampu menaikkan nilai dan meluluskan kita, belum tentu ia mampu merubah perilaku kita. Kamu tidak harus meniru saya. Tapi saya harus bilang, saya justeru berubah karena kepercayaan, kesempatan, dan juga mungkin karena kerendahan hati bruder dan para guru di PL yang mau memaafkan perilaku saya. Ini yang membuat saya mampu berubah dan menaikkan nilai-nilai saya. ***