MEMEDIASI ATAU MEMAJANG CITRA

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya  memberikan pidato resmi tentang perseteruan KPK-Polri di Istana Negara Jakarta, 8 Oktober 2012 siang, pukul 20.05 WIB. Pidato sekitar satu jam itu disampaikan SBY di depan sejumlah menteri KIB II. Beberapa kali di dalam pidatonya, SBY menyebut bahwa ia telah memediasi Ketua KPK dan Kapolri. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan. Ada beberapa hal yang perlu ia penuhi agar ia pantas disebut sebagai mediator:

  1. Tidak memihak atau setidaknya mampu menerapkan prinsip ketakberpihakan (principle of impartiality). Selain ia tak pernah bertemu dengan salah satu dari pihak yang dimediasi, ia juga tidak berkepentingan dengan keputusan yang terjadi.
  2. Menerapkan prinsip kesetaraan di antara pihak-pihak yang bersengketa (principle of disputant equality). Ia memberikan kesempatan yang sama dan penuh kepada pihak-pihak yang berselisih untuk saling berbagi perspektif dengan mempersyaratkan bahwa ketika yang satu berbicara, yang lain mendengarkan.
  3. Menerapkan prinsip mendengarkan suara yang positif (principle of hearing on positive voices) dan bukan pihak yang berbicara.

Secara struktural-psikologik, tampaknya SBY yang sekaligus Presiden RI, Panglima Tertinggi Polri, dan kakak ipar dari pribadi pemangku jabatan Kapolri, kurang menerapkan baik prinsip imparsialitas, prinsip kesejajaran antara pihak yang berselisih, maupun prinsip pemilihan suara yang positif. Kemungkinannya, ia justru sedang menerapkan salah satu di antara empat modus pemajangan citra:

  1. “Restorasi Citra” atau Pencitraan Diri Negatif, yaitu mengupayakan tindakan sedemikian rupa agar ia memperoleh kebebasan dan ruang gerak yang dapat melindungi diri dari serangan yang berisiko menggerogoti otonominya. Misal: “Saya tak berhak mencampuri kewenangan Polri atau KPK”.
  2. “Penabungan Citra” atau Penciteraan Orang Lain secara Negatif, yaitu mengupayakan tindakan sedemikian rupa agar ia dikesankan menghormati orang lain untuk memperoleh kebebasan, ruang gerak, dan disosiasi tertentu. Misal: “Baik tindakan Polri maupun KPK tidak jernih dan mengandung bias”.
  3. Penegasan Citra atau Pencitraan Diri Positif, yaitu mengupayakan tindakan sedemikian rupa agar mengesankan bahwa ia mempertahankan dan melindungi orang lain untuk memperoleh inklusi dan asosiasi. Misal: “Kewenangan saya sebagai presiden terbatas pada empat hal: memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang dikonsultasikan dengan lembaga negara yang lain”.
  4. Pemberian Citra atau Pencitraan Orang Lain secara Positif, yaitu mengupayakan tindakan sedemikian rupa agar ia dikesankan sedang mempertahankan dan mendukung orang lain untuk memperoleh inklusi dan asosiasi. Misal: “Saya mendukung penuh pihak-pihak yang bertindak memberantas korupsi”.

Dari keempat kemungkinan, tampak yang paling kentara adalah kemungkinan keempat —Pemberian Citra– di mana SBY mencoba menciptakan kesan bahwa ada pihak lain yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan sehubungan dengan pemberantasan korupsi. Pemberian Citra biasanya berlaku dalam konflik yang melibatkan entah anggota keluarga, saudara kandung atau saudara ipar dengan akibat bahwa keputusan yang dibuat sebenarnya dipengaruhi oleh pihak lain yang tidak hadir dalam proses mediasi. Orang tersebut bisa isteri, anak, orang tua, atau kolega. Dalam situasi seperti itu, sangat berguna untuk memperhitungkan orang-orang yang paling berpengaruh terhadap pihak yang sedang bersengketa, termasuk untuk lebih memahami motivasi dari pihak yang bersengketa itu sendiri.

 Begitulah yang dapat saya tarik dan terapkan dari pemikiran Dr Stella Ting-Toomey, Guru Besar Human Communication Studies pada California State University, Fullerton. (ES)

***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre.

3 comments for “MEMEDIASI ATAU MEMAJANG CITRA

Comments are closed.