Minat baca yang rendah sangat mengkhawatirkan pemerintah. Melalui UU No. 43, 2007, pemerintah mendorong minat baca melalui jalur keluarga, jalur satuan pendidikan, dan jalur masyarakat. Namun, bagi mahasiswa, beban hidup, biaya kuliah, dan biaya buku-buku perkuliahan masih tetap berat. Karena itu, pemerintah, penerbit, dan kampus harus mampu mencari dan memberikan solusi.
Buku Murah
Bagi seorang mahasiswa, selain harus menanggung biaya hidup dan perkuliahan, ia juga harus mempertimbangkan biaya buku-buku perkuliahan. Estimasi kasar, minimal mereka harus mengeluarkan sejuta rupiah tiap bulan untuk buku-buku perkuliahan, tergantung jurusan mereka.
Minimnya minat membaca cukup mengkhawatirkan pemerintah. Di Indonesia, pemerintah berupaya mendorong pelajar agar gemar membaca. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, tentang perpustakaan, mengamanatkan budaya gemar membaca melalui tiga jalur, yaitu jalur keluarga, jalur satuan pendidikan, dan jalur masyarakat. Melalui tiga jalur ini, pemerintah berharap perpustakaan dapat dimanfaatkan sebaik mungkin, kemudian mengupayakan buku-buku murah, dan mendorong keluarga agar sedini mungkin memperkenalkan kegemaran membaca kepada anak-anak.
Dunia penerbitan adalah sebuah industri besar. Dorongan pemerintah agar industri penerbitan menyajikan buku-buku murah menimbulkan dilemma tersendiri, ongkos cetak dan pendistribusian buku membutuhkan biaya mahal. Belum lagi ‘bagi hasil-royalti‘ dengan penulis. Untuk mengakomodir kepentingan pemerintah, industri penerbitan hanya mampu memberikan diskon pada buku-buku yang dianggap kurang laku di pasar. Tentu saja masih dalam koridor BEP (balik modal).
Bagaimana dengan buku-buku berkualitas yang memang laku? Untuk ini, industri penerbitan memainkan diskon sedikit di atas BEP agar tetap membagi porsi profit dengan penulis. Sejak menulis merupakan sebuah kegiatan intelektual, tentu saja, tujuan menulis sebuah buku, salah satunya, adalah untuk memperoleh keuntungan dari segi finansial.
Bagi penulis, polemiknya ialah penerbit dan pemerintah sendiri dalam mengupayakan buku-buku murah. Di tengah polemik itu, perpustakaan hadir memberi fasilitas kepada mahasiswa dan khalayak. Namun, sebagian besar perpustakaan masih bergelut dengan masalah klasik yang hingga kini belum terpecahkan. Dua yang utama, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Anggaran untuk perpustakaan sangat minim, bahkan tak jarang terlupakan. Paling besar dan ini sangat langka, tidak lebih dari 2,5%. Masih jauh dari ketentuan, 5% menurut UU perpustakaan. Minimnya anggaran menyebabkan perpustakaan sulit memenuhi kebutuhan informasi masyarakat yang kian komplek. Tidak sedikit masyarakat beranggapan, tanpa sentuhan teknologi informasi, perpustakaan dianggap sebagai sebuah institusi yang ketinggalan jaman, kuno, dan tidak berkembang. Teknologi informasi di perpustakaan sering menjadi tolak ukur kemajuan dan modernisasi sebuah perpustakaan.
Kondisi tersebut tentu berdampak pada jumlah pengunjung perpustakaan. Semua pihak harus segera mencari solusi terbaik bagi minat membaca ini. Terlebih di era globalisasi dan teknologi, di mana keberadaan sumber informasi berkualitas akan menentukan kualitas daya saing bangsa. Hak setiap warga, tak terbatas wilayah geografis, status sosial, ekonomi, gender dan sebagainya dalam memperoleh kemudahan mengakses ilmu pengetahuan dan informasi.
Open-Source
Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat harus dilihat sebagai alternatif. Hal ini tentu bukan segera menyelesaikan permasalahan minat baca, namun setidaknya dapat mengurangi biaya belanja buku hingga di titik terendah, bahkan mungkin gratis.
Buku-buku perkuliahan dibuat sendiri oleh dosen-dosen dan diterbitkan secara digital. Semua orang dapat mengakses versi online buku-buku tersebut atau mengunduhnya dalam bentuk PDF maupun dalam format mobile (ePub). Siswa juga berkenan memiliki versi cetaknya boleh memesan dengan sistem print on demand (POD) sehingga jauh lebih mampu mengatur pengeluaran biaya perkuliahan.
Para dosen dari berbagai universitas, dari segala jurusan di seluruh Indonesia harus diakomodasi dengan mengintegrasikan hasil-hasil tulisan mereka ke dalam sebuah sistem terpadu. Para pendidik dapat mengeluarkan bab-bab tertentu dan memasukkan materi-materi baru sesuai keterkinian. Hal ini akan menguntungkan pengajar maupun siswa secara bersamaan. Tidak seperti buku-buku konvensional, setiap penambahan menjadi edisi yang berbeda dan siswa harus mengeluarkan biaya kembali guna mendapatkan tambahan informasi tersebut.
Mampukah Membiayai Buku Berkualitas Secara Gratis
Pembagian buku gratis hampir menjadi solusi utopia untuk mengatasi permasalahan pembiayaan pendidikan tinggi. Membuat buku-buku pengajaran berkualitas membutuhkan dana ratusan juta hingga milyaran rupiah. Ini tantangan pertama ketika mengratiskan buku-buku perkuliahan.
Beberapa unversitas telah mengakomodir dengan memberikan insentif kepada para dosen guna membuat buku-buku pengajaran. Namun, masih saja terkendala dengan proses pendistribusian yang masih berpihak pada media cetak. Dibutuhkan kesadaran bagi masyarakat mampu agar mendukung pendanaan buku berkualitas. Para filantropi diharap membantu menumbuhkan minat baca masyarakat. Terdengar seperti sebuah kesepakatan bisnis. Mereka telah menginvestasikan sejumlah besar uang pada kegiatan pembuatan buku ajar yang pada akhirnya, para orang tua dan murid dapat mengalokasikan biaya pembelian buku pada penunjang pendidikan lain.
Apa yang terjadi ketika sudah tidak ada pembiayaan? Sistem terpadu yang dibentuk pemerintah atau organisasi non-profit (jika ada) akan mampu bertahan dengan sendirinya. Para pengusaha dan atau perusahaan mampu mengalokasikan dana CSR untuk membantu pertumbuhan minat baca masyarakat. Mereka dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan lain dalam mengembangkan perkuliahan berbasis web untuk member konten tambahan dengan harapan mampu menutupi pembiayaan.
Organisasi atau perusahaan profit pun juga telah ikut meramaikan model pembiayaan yang sama. Mereka hanya menjual fasilitas-fasilitas penunjung pendidikan seperti “bank soal“, atau mengenakan registrasi tahunan dengan variasi sebesar Rp 650.000,-/tahun untuk mengakses seluruh buku versi online, mengunduh buku-buku digital, dan bahkan audiobooks.
Perusahaan profit sendiri mendapatkan revenue dari registrasi, namun mereka juga bertarung pada isu-isu kemudahan akses dan daya beli. Sehingga mereka berpikir menyediakan buku-buku secara gratis baik bagi bisnis mereka, tentu saja baik bagi dunia pendidikan itu sendiri. Beberapa perusahaan penerbitan digital yang mulai tumbuh subur di Indonesia mampu memberi royalti kepada penulis sebesar 20%-40%. Sementara, beberapa perusahaan lain menawarkan biaya registrasi per tahun kepada para penulis di depan dengan rentang royalti 60%-80%. Sebuah tawaran yang cukup menggiurkan bagi para penulis.
Sementara industri penerbitan besar harus mengeluarkan biaya ratusan hingga milyaran rupiah untuk membuat buku-buku pengajaran, mereka menginginkan agar isi dapat dipahami pelajar sesuai konsep inti disiplin ilmu yang dibahas. Kesan gratis bagus di awal, namun pelaku industri penerbitan mengemukakan pertanyaan kepada kita semua: Apakah kita akan mempertaruhkan pendidikan kita pada konten-konten gratis yang mungkin saja tidak memiliki ke dalaman dalam pembahasan, kelengkapan, dan keterkinian informasi pada kajian ilmu yang sedang kita pelajari saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan “quality control“, di sini sebenarnya peran sistem integrasi. Para pengajar di seluruh Indonesia atau bahkan dunia dapat meminta “review” pada buku-buku ajar, mempublikasikan penemuannya yang akan dibagikan secara gratis. Seperti konsorsium universitas, setiap universitas nanti akan menarwarkan insentif berkala bagi para pengajar yang terlibat dalam projek tersebut.
Hal terbesar yang mungkin didapatkan oleh para pengajar adalah membuat proses mengajar jadi lebih menyenangkan. Pengajar dapat lebih mengendalikan apa yang diajarkan dan menumbuhkan perasaan keterikatan dengan bidang pengajarannya. Ini adalah perkuliahan dan kelas mereka, bukan mengajar berdasar pada buku-buku yang disediakan penerbit. Sebuah kebanggaan yang lama dirindukan oleh para pengajar. (MK)
Referensi:
- Membangkitkan The Power of Library Networking Melalui Pengembangan Perpustakaan sebagai Telecenter Penyebaran Informasi dan Pengetahuan Terkemuka
- Daftar Perpustakaan Seluruh Indonesia
***Mike Kurniawan adalah Diretur Maya Aksara.
1 comment for “MENUMBUHKAN MINAT BACA”