Mirip Ayah, Mirip Ibu

Pernahkah kau memperhatikan diri dan juga kedua orangtuamu? Sedikit banyak, tentu ada persamaan-persamaan fisik tertentu. Entah matamu, hidungmu, atau mungkin juga tubuh dan anggota tubuh yang lain. Yang paling menakjubkan, selain persamaan fisik, sering juga tampak kesamaan-kesamaan perilaku, bisa pada cara berjalan, cara duduk, dapat saja hanya cara tertawa. Karena itu, orang kadang mengatakan kau mirip ayah atau mungkin lebih mirip ibumu. Kalau tidak mirip siapapun dari kedua orangtua, orang-orang yang jauh lebih tua, sering juga menemukan bahwa dirimu bisa jadi mirip kakek atau nenekmu.

Pada usia yang kian bertambah ini, saya juga sering mengalamii hal-hal semacam itu. Bila menghadiri pernikahan atau pertemuan-pertemuan keluarga, yang hadir banyak orangtua dan tentu saja lebih banyak lagi orang-orang muda yang jelas saja saya tidak mengenal mereka. Namun, dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan itu, saya juga menyadari bahwa mereka pasti masih termasuk keluarga saya. Sering saya mengenal mereka karena persamaan-persamaan fisik mereka dengan ayah atau ibu mereka dan yang paling menakjubkan, perilaku mereka pun sering mirip dengan kedua orangtua mereka. Malah, pada yang masih muda sekali, saya sering terharu dapat menemukan kesamaan-kesamaan fisik atau perilaku mereka dengan fisik maupun perilaku kakek dan nenek mereka.

Sangat luar biasa. Walau ayah ibu ataupun kakek dan nenek mereka telah meninggal, dari kesamaan-kesamaan secara fisik maupun perilaku mereka, meski baru mencapai dua generasi, saya temukan, sesungguhnya ayah ibu mereka maupun kakek nenek mereka yang pernah saya kenal itu, tidaklah pernah meninggal sungguh-sungguh. Mereka seakan-akan hidup abadi di dalam diri anak dan cucu mereka dan mungkin juga dari generasi ke generasi. Mereka hidup dalam (genetik) keturunan mereka.

Mungkin karena itu, banyak orang yang bahagia ketika memperoleh anak dan menjadi kian bahagia ketika memperoleh cucu. Mereka menemukan diri mereka di dalam diri anak dan lebih jauh lagi masih menemukan diri mereka di dalam diri cucu-cucu mereka. Wajar bila seorang sahabat saya beberapa waktu lalu, bercerita bahwa hal yang paling membahagiakan dirinya sekarang adalah memperoleh seorang cucu walau pada saat yang sama ia menjadi seorang kakek. ***

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.