Makna Nilai dan Perilaku

Ini mungkin “rahasia” saya dengan Br. Michael Pudyartana FIC, 74 tahun, mantan Kepala SMU Pangudi Luhur (PL). Karena sudah 35 tahun, bolehlah dibocorkan. Inipun agar mahasiwa saya Ratnasari Dewi tidak salah paham tentang makna nilai. Katanya ketika mengomentari status saya, “…sebetulnya nilai tidak begitu penting dari ilmu yang didapat selama belajar 3 tahun.”

Saya ingin mengatakan, nilai sangat penting selama kita mampu memahami makna nilai tersebut. Ketika kelas dua, saya tidak naik kelas tiga karena nilai rata-rata raport 4,68. Ternyata, tercatat saya juga terlambat 11 hari, bolos 29 hari, sangat pemalas, dan bandel. Bruder memanggil saya. Katanya, saya dapat naik kelas kalau saya mau pindah ke sekolah lain. Sekolah dapat membantu agar saya diterima di luar PL. Nilai saya, kalau tak salah, bisa menjadi rata-rata 6.00. Saya percaya. PL memang memiliki standar lebih tinggi. Yang sudah-sudah, siapa pindah dari PL ke sekolah lain, kemungkinan besar, malah menjadi juara.

Saya terhenyak. Usul bruder saya tolak. Masalahnya, bukan saya tidak mau nilai lebih bagus dan naik kelas. Sebenarnyalah, PL sudah “tidak menghendaki” saya. Bukan sekedar nilai, tapi soal perilaku saya yang mungkin mengesalkan. Saya katakan, saya memang malas dan sering mengesalkan, tapi saya tidak mau pindah. Biar tidak naik kelas asal saya tetap di PL.

Bruder mungkin bingung mendengar nada saya yang setengah memaksa. Karena itu, saya jelaskan, kalau di luar, saya memang naik kelas, tapi saya bisa jadi tambah nakal dan tidak menjadi orang yang baik. (Di PL saja yang sudah sangat disiplin saya begini, bagaimana jadinya di luar?)

Bruder memenuhi permintaan saya. Alhamdulilah, saya lulus SMU PL tanpa hambatan. Sekitar dua puluh tahun kemudian, saya mengunjungi bruder di Majalah Hidup. Walau banyak yang lebih hebat dan sukses dari saya, saya katakan padanya, saya sekarang sudah menjadi seorang dosen dan lulus magister S-2. Ia tersenyum dan mengatakan, perkiraannya tentang saya waktu itu tidak meleset, ia yakin saya mampu menjadi lebih baik. Karena itu, katanya, ia benar-benar mempertahankan keberadaan saya di PL dalam sebuah rapat guru.

Ratnasari, walau sekolah mampu menaikkan nilai dan meluluskan kita, belum tentu ia mampu merubah perilaku kita. Kamu tidak harus meniru saya. Tapi saya harus bilang, saya justeru berubah karena kepercayaan, kesempatan, dan juga mungkin karena kerendahan hati bruder dan para guru di PL yang mau memaafkan perilaku saya. Ini yang membuat saya mampu berubah dan menaikkan nilai-nilai saya. ***

Tidak Lulus sebelum Sidang

Ujian sidang merupakan masalah paling sulit bagi mahasiswa. Satu di antaranya, menuntut “sedikit” tambahan biaya. Karena itu, jika tidak lulus sidang tugas akhir, sidang skripsi, sidang tesis, atau sidang disertasi, mahasiswa harus membayar lagi.

Hari itu, saya bersama tiga dosen akan menguji skripsi seorang mahasiswa di sebuah fakultas psikologi. Skripsi telah kami terima beberapa hari sebelumnya. Masing-masing peguji telah membaca skripsi. Ketika tiba di kampus, wajar mereka memberi komentar. Saya coba mengingatkan, kalau pembimbing sudah mengijinkan mahasiswa maju sidang, berarti skripsi mahasiswa itu sudah layak diuji. Minimal C.

Hari itu, saya dipilih sebagai ketua sidang. Ketika mahasiswa telah duduk di ruang sidang, dua penguji di samping saya masih memberi komentar-komentar negatif. Satu di antaranya, yang membuat saya terkejut, mereka menyatakan mahasiwa tersebut tidak dapat mereka luluskan. Karena itu, saya mengklarifikasi “bisik-bisik” mereka itu dan juga mengkonfirmasikannya kepada penguji lain. Ketika mereka sepakat tidak dapat meluluskan mahasiswa tersebut, dengan berat hati saya pun terpaksa membatalkan sidang skripsi. Saya jelaskan pada mereka, kalau tidak lulus dan sidang ulang, mahasiswa itu harus membayar lagi. Kalau kita batalkan, ia hanya memperbaiki skripsi dan sidangnya dijadwalkan ulang tanpa bayar. Ketika para penguji masih bertanya, saya tegaskan, “Lha, kalau kita sudah tahu dia tidak lulus, kenapa kita harus menyelenggarakan sidang lagi?”

*** Note: Alhasil, sidang skripsi dibatalkan. Karena itu, honor dan semua biaya sidang pun dibatalkan. Para penguji, termasuk saya, hari itu, pulang tidak dibayar.

Salah Pilih Jurusan

Berapa nilai untuk seorang mahasiswa yang tidak menguasai materi tugas akhir? Pertanyaan ini muncul setelah hampir satu jam saya bersama seorang penguji lain mengajukan pertanyaan terhadap seorang mahasiswa, tapi ia tidak fokus. Konsentrasinya hilang. Ia kadang minta kami mengulang pertanyaan dan baru lama bisa menjawab. Itu pun terbata-bata.

Ketika kami selesai bertanya, saya menetapkan, ia pantas dapat nilai “C+” saja. Nilai terendah di formulir. Tapi, pada detik akhir sidang itu, rekan saya menguji bertanya pada mahasiswa tersebut, “Dulu kamu cita-citanya apa, sih?”

Mahasiswa itu diam sejenak dan menjawab dengan isak tangis. Setelah didesak, ia mengaku, sebenarnya ia tidak bercita-cita kuliah di program studi Jurnalistik. Selama tiga tahun ini, ia tidak suka mempelajari ilmu tersebut. Hanya karena paksaan orangtua, ia terus melanjutkan kuliah. Dia mengaku benar-benar tersiksa.

Ketika ia kami suruh menunggu di luar, kami hitung rata-rata nilai kami berdua, mahasiswa itu memperoleh nilai “B-“. Saya diam sejenak. Rekan saya menguji itu bertanya, mau dikasih berapa?

Saya katakan, beri saja “B”. Untung rekan saya sepakat saja. Bayangkan, dalam situasi sangat tertekan, mahasiswa itu masih dapat mempelajari ilmu Jurnalistik dan menyelesaikan tugas akhirnya dengan nilai B-. Hal ini tentu luar biasa. Ia mahasiswa hebat. Pantaslah dapat “B”. Paling tidak, “ketersiksaan” dirinya selama tiga tahun ini telah kami hitungkan juga.***

Sadar Bermedia

Oleh Bunga Padma Putri*

Indonesia tak muda lagi, 68 tahun kita menyandang kemerdekaan ini. Di setiap perjalanannya, ada yang selalu setia merekam jejak pencarian jati diri bangsa. Itulah media massa, yang turut pula andil dalam pembantukan identitas negeri.

Cukup terang sejarah mencatat ‘geliat Pers bawah tanah’ ketika para pejuang dan insan pers membakar semangat rakyat dengan tulisan-tulisan mereka, demi tercapainya kemerdekaan. Tak lama setelah merdeka, Pers terbelenggu lagi di era orde baru melalui pemberlakuan Surat Izin Terbit (SIT). Bayang gelap pembredelan adalah kartu mati bagi pelakon Pers.

Departemen Penerangan pun diciptakan sebagai ‘satpam’ dalam bermedia, serta ‘algojo’ pencabut nyawa setiap media yang berani mengkritisi atau bahkan sedikit ‘menyenggol’ para petinggi negeri. Tapi kini semua tinggal kenangan, tak perlu lagi kita bergeliat dalam menyampaikan segenggam informasi. Media tak lagi terbelenggu di negeri sendiri.

Tantangan Baru

Demokratisasi dalam bidang Pers, telah berlangsung di setiap aspek penggunaan media. Lebih 10 tahun kebebasan Pers tercipta setelah kita bereformasi, pembubaran Departemen Penerangan, penghapusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, serta lahirnya UU No.40/1999 dan UU No. 32/2002 tentang Pers yang cukup demokratis, serta terciptanya politik yang kondusif bagi pelembagaan kebebasan Pers.

Tetapi bukan berarti para ‘pencari berita’ tanpa rintangan –memang tak dalam bayang-bayang pencekalan– tapi justru lebih mengherankan. Bukan sekadar penghalangan dalam sebuah pencarian fakta yang terjadi, namun perlakuan anarkisme kepada wartawan dalam menajalankan tugas peliputan menjadi bahaya yang mengancam.

Masih begitu jelas kasus seorang wartawati yang keguguran saat berusaha mengonfirmasi berita sengketa lahan, malah tak jarang ada wartawan yang tinggal nama saat bertugas.

Sebenarnya tak perlu kekhawatiran berlebih, mengingat bahan dasar sebuah berita adalah fakta, Kita memiliki hak jawab dalam pemberitaan yang perlu dikonfirmasi keakuratannya, tak perlu jalur anarki untuk menghalau berita karena takut tercemar, bukan?

Jadi mari kita berpikir jernih dalam menanggapi berita, karena wartawan ‘haram’ menyampaikan berita bohong atau bahkan sekadar memasukkan sedikit pendapat mereka ke dalam sebuah berita.

Jika memang ada wartawan atau media yang terbukti menyampaikan berita bohong, tak perlu repot mengotori tanggan sendiri. Toh, ada Dewan Pers yang akan mengoreksi serta memberi peringatan kepada mereka.

Pudarnya Pesona

Sayangnya pesona Pers kini sedikit ternodai, ketika kebebasan disalahartikan. Para pelaku Pers ‘kebablasan’ seperti ‘anak macan’ baru keluar kandang, segala macam objek diterjang. Mereka lupa kode etik dalam pelaksanaan tugas, yang mengatur tindakan agar tak melampaui batas.

Asas praduga tak bersalah mereka lupakan. Contoh sederhana, jarang sudah media yang menggunakan inisial kepada para ‘tersangka’ sebuah perkara. Mereka lupa kalau Pers bukanlah seorang jaksa atau hakim pengadilan, yang berhak menjatuhkan vonis kepada para calon terdakwa.

Media online lebih menarik lagi. Entah apakah para pewarta media internet tersebut paham cara penulisan berita, atau memang ada aturan khusus demi menarik minat pembaca. Tapi yang pasti, isi tulisan di situs internet jarang sesuai dengan judul berita yang mereka pasang,

Tak heran, jika masyarakat meragukan keakuratan media tersebut. Belum lagi cara penulisan berita yang terkesan asal-asalan, sehingga sulit dicerna makna sesungguhnya oleh para pembaca. Ironis, memang. Ketika dulu media menjadi sarana perjuangan dan pencerdas bangsa, kini sedikit demi sedikit bergeser kehilangan esensi fungsi Pers yang sesungguhnya.

Media elektronik pun menjadi contoh lebih nyata, dari pudarnya pesona Pers. Perubahan pola kebiasaan masyarakat dari budaya membaca menjadi budaya mendengar/menonton adalah salah satu faktor mudahnya informasi terserap dengan cepat.

Bagai buah simalakama, justru pergeseran budaya inilah yang membuat fungsi Pers rentan akan pengaruh politisasi. Terlebih mengingat para pemilik televisi ini sebagian adalah para ‘wayang’ pengincar kursi tertinggi negeri.

Kebebasan Semu

Tanpa mengurangi rasa hormat akan keberanian tindakan prefentif KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), mungkinkah jika seluruh pamilik media televisi ikut pula dipanggil untuk membuat ‘pakta integritas’. Agaknya hal ini penting dilakukan –mengingat pemilu semakin dekat– untuk menghindari perang ‘pencitraan’ serta mengembalikan kewibawaan media itu sendiri tentunya.

Bukan hanya KPI, seharusnya Komisi Pemilahan Umum (KPU) juga mengambil langkah prepentif mengenai aturan main pencitraan iklan pemilu. Mereka memiliki kewenangan lebih, atas berbagai aturan pemilu raya tahun depan.

Sekarang bukankah kita jadi kembali bertanya, benarkan kebebasan Pers nyata, atau hanya ‘oasis’ di padang sahara’? Mungkin bebas dari aturan main pemerintah, tapi tidak dari aturan main dan politik para pemilik media sendiri.

Tak ada yang salah, memang. Bukankah hanya sekadar iklan dan berita selingan? Tentu menjadi masalah, ketika masyarakat mulai gerah dan merasa terganggu. Karena ruang publik mereka berkurang, hanya untuk iklan berdurasi panjang maupun berita kacangan tentang sebuah rapat atau sekadar seminar ‘si bos’ di tempat terpencil kumuh nan jauh di sana agar terkesan merakyat.

Kita hidup bersama dalam sebuah negara berkembang, Indonesia. Oleh karena itu, kita perlu ruang untuk menjaga kebersamaan tersebut. Barangkali itulah sebabnya ruang publik dalam media manapun harus terjaga kualitasnya, karena menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak.

Tak ada yang salah, sekali lagi tak ada yang salah. Hanya butuh kesadaran dari kita semua, agar tercipta kemajuan bangsa yang berintelektual. Mengingat media adalah sarana belajar tanpa guru, sehingga lebih berbahaya karena presepsi, daya tangkap, dan hati setiap orang berbeda. Tak ada sosok –selain diri sendiri– yang mampu mengontrol pengaruh media dalam berkehidupan.

Jadi, mari kita kembalikan fungsi Pers sebagaimana mestinya. Agar Pers tetap menjadi tiang penyangga demokrasi keempat, setelah ‘trias politica’ melakukan sosial kontrol terhadap para pelakon petinggi dan seluruh masyarakat negeri.

Semoga, Dirgahayu Indonesia.

*Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Jurnalistik, Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta. Tulisan ini dikutip dari Karya XPressi Jurnal.

Puasa sebagai Perisai

Ketika dua orang bertemu, mereka tidak hanya bertemu secara tubuh fisik. Ruh-ruh mereka juga saling berelasi. Saling mempengaruhi. Ruh-ruh yang kuat (baik atau buruk) mempengaruhi ruh-ruh yang lemah. Wajar jika orang merasa lelah setelah bertemu orang tertentu. Wajar jika orang merasa sulit mengatakan “tidak” pada orang tertentu dan wajar jika orang segan berpapasan dengan orang-orang tertentu. Setiap ruh memiliki pengaruh tertentu. Pengaruh-pengaruh mereka berbeda-beda pula tingkatnya. Bisa baik, bisa buruk.

Ruh-ruh buruk yang sangat kuat dapat mempengaruhi ruh-ruh baik yang lemah menjadi buruk. Ruh-ruh baik yang sangat kuat juga dapat membuat ruh-ruh buruk yang lemah menjadi baik. Ruh-ruh saling pengaruh mempengaruhi. Ruh-ruh buruk bila bertemu sesama ruh buruk, juga saling kuat mengkuatkan. Ruh-ruh baik yang bertemu dengan sesama ruh baik, juga akan saling kuat mengkuatkan. Semakin kuat baiknya.

Pada orang berpuasa, puasa menjadi semacam perisai. Ruh-ruh mereka memiliki benteng. Dalam istilah psikologi, kemampuan intrapersonal mereka menguat sehingga ruh-ruh lain sulit menembus diri mereka. Sulit mempengaruhi ruh mereka. Mereka tetap segar walau menghadapi beragam orang, mereka lebih mudah mengatakan “tidak” tanpa beban, dan berani berpapasan dengan siapa saja. Pada tingkat tertentu, orang-orang yang berpuasa (secara benar) mampu menebar pengaruh positif pada ruh-ruh di sekeliling mereka. Mereka mampu membuat orang lain bekerja. Mereka mampu mempengaruhi orang lain untuk belajar. Tingkah laku mereka dapat membuat orang lain tergerak untuk mengikutinya. Bahkan, berada di dekat orang-orang yang berpuasa tubuh dan perasaan terasa lebih nyaman.

Rasulullah SAW (HR. Bukhari & Muslim) mengatakan, “Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi membuatmu harum karena dapat membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium bau wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapatkan bau tidak sedap.“

Orang-orang yang berpuasa bagai para pemilik minyak wangi yang menebarkan bau harum ke sekeliling mereka.***

Perlukah Ledakan Petasan?

Oleh Mohammad Fauzy dan Edy Suhardono

SEBELUM menjelang akhir ibadah puasa tahun ini, telah terdengar sejumlah kasus petasan. Cukup mengejutkan. Satu di antaranya, tragedi dari Trenggalek, Jawa Timur: tiga tewas seketika, lima korban menderita luka bakar ketika petasan yang diproduksi sebuah pabrik petasan meledak Sabtu, 31 Maret 1990.

Peristiwa itu sebuah berita luar biasa yang biasa dicerna secara biasa. Betapa kita tiada terkejut. Andaikan saja di hadapan mata kita peristiwa itu dapat dipertontonkan kembali dengan salah seorang anggota keluarga kita sebagai korban, boleh jadi sang korban, dapat menjadi kenangan hidup kita dari masa ke masa.

Sayang, kita tidak pernah mengetahui jumlah korban yang terbunuh mati “hanya” karena letusan petasan dari tahun ke tahun sejak orang gemar membuat dan bermain-main petasan. Sampai kini, pun ketika petasan telah dilarang, kita tidak pernah mengetahuinya. Kita hanya menduga, jumlah korban letusan petasan tentu tidak kalah fantastis bila dibandingkan dengan jumlah korban yang tewas karena letusan gunung Kelud atau Galunggung yang sudah jelas fantasis. Yang membedakannya, korban letusan petasan terjadi secara periodik per tahun, sedang korban letusan gunung terjadi secara acak.     Pun, korban-korban letusan petasan itu tidak pernah memperoleh tanggapan berupa perilaku prososial, umpama, mendapat dana santunan dan uluran tangan dari para dermawan dan sukarelawan. Tapi, kenapa orang masih banyak yang mau mati karena petasan?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak cukup dijawab dengan melontarkan pernyataan-pernyataan simplifikatif, hitam atau putih. Yang diperlukan kini, adalah sebuah pemahaman tentang manakah kematian karena kekuasaan Yang Maha Kuasa senjatanya– sebagaimana korban letusan gunung Kelud dan Galunggung– dan mana pula kematian karena gejala transenden yang merupakan buah ilusi karena keteledoran manusia sendiri sebagaimana mati dengan cara terkena letusan petasan itu.

Petasan dan Gugatan

Dalam psikologi lingkungan, pengertian letusan tercakup dalam batasan mengenai noise, yaitu suara-suara yang tak diinginkan. Suara-suara lainnya, suara knalpot pemuda jalanan, dengung mesin, gedebrak-gedebruknya sebuah lagu rock dari tape deck, semua dapat menggambarkan pengertian noise ini. Pengertian noise ini menyertakan baik komponen psikologik maupun fisik. Komponen fisik yang berhubungan dengan segala organ pendengaran manusia tidak saja dipersepsikan oleh telinga dan struktur otak yang lebih kompleks, tetapi juga dievaluasi dan tak diinginkan secara psikologik. Dalam hal ini, terdapat perbedaan ambang antar orang per orang. Suara letusan petasan dapat dinginkan oleh orang tertentu, tetapi juga dapat ditolak orang tertentu. Kanak-kanak menyukainya, orangtua mencercanya. Para produsen menjualnya, para penjabat melarangnya.

Andaikan suara petasan itu merupakan suara yang tak diinginkan orang, dapat saja benda itu berbalik menjadi “diinginkan” dan sengaja ditimbulkan sebagian orang karena mereka ingin mengungkapkan perasaan bahwa mereka menginginkan atau tidak menginginkan sesuatu.

Ungkapan semacam ini adalah ungkapan sosial, ungkapan yang bermuatan intensi kepada orang lain, target person. Ini  timbul justru karena penghayatan seseorang terhadap suara tertentu yang tak ia inginkan sehingga berusaha memanipulasi suara itu agar terdengar orang lain yang dianggapnya tidak memahami maksud hatinya.

Itulah sebabnya kalau ibu marah karena ayah tidak peduli, suara gelas pecah dapat dihasilkan menjadi “buluh perindu” mereka untuk kembali berkomunikasi. Sementara bunyi ledakan petasan di bulan puasa dapat menjadi semacam bunyi gugatan yang mengganggu sebagian orang-orang yang merasa mapan karena rutinitas maupun terlelap dalam kejenuhan keseharian. Kegagalan, berkomunikasi secara wajar, kadang kala, memang dapat dijembatani dengan bunyi petasan. Dengan bunyi petasan, seseorang berusaha menggugah sesamanya. Ingin ‘mengganggu’ suatu kemampanan dengan keterkejutan.

Ada tiga dimensi yang menentukan karakteristik gangguan suatu suara: volume, predictability dan perceived control. Dari tiga dimensi itu dapat ditarik suatu refleksi tentang gejala yang hendak ditimbulkan untuk mengganggu tadi. Sebagaimana diperikan dalam kisah-kisah adikodrati—wayang, cerita nabi, cerita tentang dewa-dewi— gejala transenden yang absurd paling sering dijumpai dalam gejala pendengaran. Konon, dalam keyakinan kelompok sekte agama tertentu, sentuhan hati dimulai dari bisikan suara, sabda atau firman.

Bermakna atau tidaknya suatu suara, pertama-tama bergantung pada ambang didengar-tidaknya suara itu, baru kemudian terkait-tidaknya suara itu dengan konteks (arah, maksud, tujuan). Mendengarkan sebuah suara tidak sama dengan terdengarnya sebuah suara. Listening berbeda dengan hearing. Mendengarkan suatu suara berarti menangkap arti-maknanya. Terdengarnya suara petasan berarti melakukan keanehan karena orang dengan rela dan sengaja dikejutkan orang lain. Lebih aneh lagi, yang membunyikan petasan, ia dengan rela dan sadar pula mengejutkan diri sendiri.

Dengan demikian, tetap saja dalam abstraksi yang lebih sederhana, volume suatu suara membuka pintu bagi sampai-tidaknya makna suara itu kepada penerimanya. Kehampaan dan rutinisasi terhadap suara yang sudah biasa terdengar mengakibatkan kerinduan akan penjamahan tentang gejala transenden-adikodrati yang absurd. Meskipun sosoknya tidak cukup jelas, realitas atau ilusikah?

Akal budi, perasaan dan kehendak adalah komponen yang menghidupkan manusia sehingga ia berperilaku. Akal budi khususnya memberi pemetaan berupa pemahaman akan hubungan sebab-akibat terhadap gejala diri dan lingkungannya. Jika sebab diketahui, niscaya akibat dapat ditiadakan atau dihadirkan lewat pengendalian terhadap sebab itu sebagaimana ekonom mengendalikan inflasi, sosiolog mengendalikan masyarakat, dan politikus mengendalikan opini publik.

Aktuasi manusia pada dasarnya diwarnai pemahaman, semacam itu. Inilah ciri manusiawi. Tapi, karena tidak semua sebab dari kejadian diketahui manusia, maka tidak semua kejadian dapat dikendalikan oleh manusia. Sadarlah ia bahwa ada yang tak dapat dikendalikan, bahkan banyak hal tidak terkendalikan. Dengan ini, manusia asyik menghadapi tantangan. Ia membutuhkan tantangan itu untuk mengatasi kejenuhan terhadap segala yang sudah dapat dikendalikan senantiasa memberikan kejutan-kejutan. Sampailah kita pada pemahaman, ledakan mau dinikmati daya kejutnya!

Dan, orang merindukan sesuatu yang unpredictable, yang tak teramalkan. Sama halnya mengetahui ketidakmungkinan meramalkan SDSB, tapi orang masih mencanduinya untuk mendapatkan keterkejutan ketika nomor undiannya keluar. Dan, suara letusan petasan jelas tidak teramalkan. Siapa yang sanggup menjamin untuk tidak terkejut, kendatipun ia si pembuat kejutan itu? Dengan ilusinya melalui ledakan, orang berusaha menghadirkan gejala tak teramalkan itu walaupun ia kemudian tak dapat menyebutnya sebagai apa.

Saat Ramadhan

Petasan di bulan Ramadhan, sebagaimana tahun-tahun lalu, adalah suatu gugatan manusia terhadap kegiatan dan perilaku manusia sendiri pada bulan-bulan lain. Selama sebelas bulan sebelumnya, manusia terhempas dan melingkar dalam rutinisme pekerjaan, dosa, harapan, impian, dan ketidakadilan dunia materi. Ramadahan, seakan-akan suatu bulan yang bermakna, mendorong sebagian umat untuk diam merenung dalam ibadah puasa dan tarawih, dan sebagian orang, sebaliknya sibuk menyembunyikan petasan menggugat khusuknya rutinitas dunia. Mereka, sambil lalu, melontarkan pertanyaan-pertanyaan lewat petasan karena pertanyaan tak bisa diungkap lewat komunikasi verbal yang nyata.

Disitulah letak yang menarik dari gejala petasan ini, ada suatu kebutuhan dalam diri manusia untuk menggugah keajegan pengalaman pendengarannya dengan memanipulasi lingkungannya, termasuk dirinya sendiri. Ia berusaha menciptakan asosiasi-asosiasi antara suara letusan petasan yang sengaja diciptakan dengan kegagalan-kegagalannya untuk merealisir kerinduan terhadap yang adikodrati, pengalaman-pengalaman yang tak teramalkan.

Sementara itu, disisi lain, membunyikan petasan sendiri telah dilarang. Ramadhan pun hampir berakhir. Mungkinkah orang mulai mencari bunyi-bunyian lain untuk menggugah keajegan dan kemapanan pengalaman, keluar dari realitas dan rutinitas kehidupan yang semakin rumit? Ataukah mati bersama letusan petasan dianggap kematian yang sakral karena terjadi di waktu menjelang halal bi halal?***

Note:Tulisan ini pernah dimuat suratkabar Jayakarta, 24 April 1990, ditulis bersama Edy Suhardono, waktu itu staf pengajar Program Studi Psikologi FISIP Unair dan peserta Program Studi Psikologi, bidang Kekhususan Psikologi Sosial, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia.