Oleh Mohammad Fauzy dan Edy Suhardono
SEBELUM menjelang akhir ibadah puasa tahun ini, telah terdengar sejumlah kasus petasan. Cukup mengejutkan. Satu di antaranya, tragedi dari Trenggalek, Jawa Timur: tiga tewas seketika, lima korban menderita luka bakar ketika petasan yang diproduksi sebuah pabrik petasan meledak Sabtu, 31 Maret 1990.
Peristiwa itu sebuah berita luar biasa yang biasa dicerna secara biasa. Betapa kita tiada terkejut. Andaikan saja di hadapan mata kita peristiwa itu dapat dipertontonkan kembali dengan salah seorang anggota keluarga kita sebagai korban, boleh jadi sang korban, dapat menjadi kenangan hidup kita dari masa ke masa.
Sayang, kita tidak pernah mengetahui jumlah korban yang terbunuh mati “hanya” karena letusan petasan dari tahun ke tahun sejak orang gemar membuat dan bermain-main petasan. Sampai kini, pun ketika petasan telah dilarang, kita tidak pernah mengetahuinya. Kita hanya menduga, jumlah korban letusan petasan tentu tidak kalah fantastis bila dibandingkan dengan jumlah korban yang tewas karena letusan gunung Kelud atau Galunggung yang sudah jelas fantasis. Yang membedakannya, korban letusan petasan terjadi secara periodik per tahun, sedang korban letusan gunung terjadi secara acak. Pun, korban-korban letusan petasan itu tidak pernah memperoleh tanggapan berupa perilaku prososial, umpama, mendapat dana santunan dan uluran tangan dari para dermawan dan sukarelawan. Tapi, kenapa orang masih banyak yang mau mati karena petasan?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak cukup dijawab dengan melontarkan pernyataan-pernyataan simplifikatif, hitam atau putih. Yang diperlukan kini, adalah sebuah pemahaman tentang manakah kematian karena kekuasaan Yang Maha Kuasa senjatanya– sebagaimana korban letusan gunung Kelud dan Galunggung– dan mana pula kematian karena gejala transenden yang merupakan buah ilusi karena keteledoran manusia sendiri sebagaimana mati dengan cara terkena letusan petasan itu.
Petasan dan Gugatan
Dalam psikologi lingkungan, pengertian letusan tercakup dalam batasan mengenai noise, yaitu suara-suara yang tak diinginkan. Suara-suara lainnya, suara knalpot pemuda jalanan, dengung mesin, gedebrak-gedebruknya sebuah lagu rock dari tape deck, semua dapat menggambarkan pengertian noise ini. Pengertian noise ini menyertakan baik komponen psikologik maupun fisik. Komponen fisik yang berhubungan dengan segala organ pendengaran manusia tidak saja dipersepsikan oleh telinga dan struktur otak yang lebih kompleks, tetapi juga dievaluasi dan tak diinginkan secara psikologik. Dalam hal ini, terdapat perbedaan ambang antar orang per orang. Suara letusan petasan dapat dinginkan oleh orang tertentu, tetapi juga dapat ditolak orang tertentu. Kanak-kanak menyukainya, orangtua mencercanya. Para produsen menjualnya, para penjabat melarangnya.
Andaikan suara petasan itu merupakan suara yang tak diinginkan orang, dapat saja benda itu berbalik menjadi “diinginkan” dan sengaja ditimbulkan sebagian orang karena mereka ingin mengungkapkan perasaan bahwa mereka menginginkan atau tidak menginginkan sesuatu.
Ungkapan semacam ini adalah ungkapan sosial, ungkapan yang bermuatan intensi kepada orang lain, target person. Ini timbul justru karena penghayatan seseorang terhadap suara tertentu yang tak ia inginkan sehingga berusaha memanipulasi suara itu agar terdengar orang lain yang dianggapnya tidak memahami maksud hatinya.
Itulah sebabnya kalau ibu marah karena ayah tidak peduli, suara gelas pecah dapat dihasilkan menjadi “buluh perindu” mereka untuk kembali berkomunikasi. Sementara bunyi ledakan petasan di bulan puasa dapat menjadi semacam bunyi gugatan yang mengganggu sebagian orang-orang yang merasa mapan karena rutinitas maupun terlelap dalam kejenuhan keseharian. Kegagalan, berkomunikasi secara wajar, kadang kala, memang dapat dijembatani dengan bunyi petasan. Dengan bunyi petasan, seseorang berusaha menggugah sesamanya. Ingin ‘mengganggu’ suatu kemampanan dengan keterkejutan.
Ada tiga dimensi yang menentukan karakteristik gangguan suatu suara: volume, predictability dan perceived control. Dari tiga dimensi itu dapat ditarik suatu refleksi tentang gejala yang hendak ditimbulkan untuk mengganggu tadi. Sebagaimana diperikan dalam kisah-kisah adikodrati—wayang, cerita nabi, cerita tentang dewa-dewi— gejala transenden yang absurd paling sering dijumpai dalam gejala pendengaran. Konon, dalam keyakinan kelompok sekte agama tertentu, sentuhan hati dimulai dari bisikan suara, sabda atau firman.
Bermakna atau tidaknya suatu suara, pertama-tama bergantung pada ambang didengar-tidaknya suara itu, baru kemudian terkait-tidaknya suara itu dengan konteks (arah, maksud, tujuan). Mendengarkan sebuah suara tidak sama dengan terdengarnya sebuah suara. Listening berbeda dengan hearing. Mendengarkan suatu suara berarti menangkap arti-maknanya. Terdengarnya suara petasan berarti melakukan keanehan karena orang dengan rela dan sengaja dikejutkan orang lain. Lebih aneh lagi, yang membunyikan petasan, ia dengan rela dan sadar pula mengejutkan diri sendiri.
Dengan demikian, tetap saja dalam abstraksi yang lebih sederhana, volume suatu suara membuka pintu bagi sampai-tidaknya makna suara itu kepada penerimanya. Kehampaan dan rutinisasi terhadap suara yang sudah biasa terdengar mengakibatkan kerinduan akan penjamahan tentang gejala transenden-adikodrati yang absurd. Meskipun sosoknya tidak cukup jelas, realitas atau ilusikah?
Akal budi, perasaan dan kehendak adalah komponen yang menghidupkan manusia sehingga ia berperilaku. Akal budi khususnya memberi pemetaan berupa pemahaman akan hubungan sebab-akibat terhadap gejala diri dan lingkungannya. Jika sebab diketahui, niscaya akibat dapat ditiadakan atau dihadirkan lewat pengendalian terhadap sebab itu sebagaimana ekonom mengendalikan inflasi, sosiolog mengendalikan masyarakat, dan politikus mengendalikan opini publik.
Aktuasi manusia pada dasarnya diwarnai pemahaman, semacam itu. Inilah ciri manusiawi. Tapi, karena tidak semua sebab dari kejadian diketahui manusia, maka tidak semua kejadian dapat dikendalikan oleh manusia. Sadarlah ia bahwa ada yang tak dapat dikendalikan, bahkan banyak hal tidak terkendalikan. Dengan ini, manusia asyik menghadapi tantangan. Ia membutuhkan tantangan itu untuk mengatasi kejenuhan terhadap segala yang sudah dapat dikendalikan senantiasa memberikan kejutan-kejutan. Sampailah kita pada pemahaman, ledakan mau dinikmati daya kejutnya!
Dan, orang merindukan sesuatu yang unpredictable, yang tak teramalkan. Sama halnya mengetahui ketidakmungkinan meramalkan SDSB, tapi orang masih mencanduinya untuk mendapatkan keterkejutan ketika nomor undiannya keluar. Dan, suara letusan petasan jelas tidak teramalkan. Siapa yang sanggup menjamin untuk tidak terkejut, kendatipun ia si pembuat kejutan itu? Dengan ilusinya melalui ledakan, orang berusaha menghadirkan gejala tak teramalkan itu walaupun ia kemudian tak dapat menyebutnya sebagai apa.
Saat Ramadhan
Petasan di bulan Ramadhan, sebagaimana tahun-tahun lalu, adalah suatu gugatan manusia terhadap kegiatan dan perilaku manusia sendiri pada bulan-bulan lain. Selama sebelas bulan sebelumnya, manusia terhempas dan melingkar dalam rutinisme pekerjaan, dosa, harapan, impian, dan ketidakadilan dunia materi. Ramadahan, seakan-akan suatu bulan yang bermakna, mendorong sebagian umat untuk diam merenung dalam ibadah puasa dan tarawih, dan sebagian orang, sebaliknya sibuk menyembunyikan petasan menggugat khusuknya rutinitas dunia. Mereka, sambil lalu, melontarkan pertanyaan-pertanyaan lewat petasan karena pertanyaan tak bisa diungkap lewat komunikasi verbal yang nyata.
Disitulah letak yang menarik dari gejala petasan ini, ada suatu kebutuhan dalam diri manusia untuk menggugah keajegan pengalaman pendengarannya dengan memanipulasi lingkungannya, termasuk dirinya sendiri. Ia berusaha menciptakan asosiasi-asosiasi antara suara letusan petasan yang sengaja diciptakan dengan kegagalan-kegagalannya untuk merealisir kerinduan terhadap yang adikodrati, pengalaman-pengalaman yang tak teramalkan.
Sementara itu, disisi lain, membunyikan petasan sendiri telah dilarang. Ramadhan pun hampir berakhir. Mungkinkah orang mulai mencari bunyi-bunyian lain untuk menggugah keajegan dan kemapanan pengalaman, keluar dari realitas dan rutinitas kehidupan yang semakin rumit? Ataukah mati bersama letusan petasan dianggap kematian yang sakral karena terjadi di waktu menjelang halal bi halal?***
Note:Tulisan ini pernah dimuat suratkabar Jayakarta, 24 April 1990, ditulis bersama Edy Suhardono, waktu itu staf pengajar Program Studi Psikologi FISIP Unair dan peserta Program Studi Psikologi, bidang Kekhususan Psikologi Sosial, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Like this:
Like Loading...