Perilaku Istri Menurut Adat Suami

Kartini bersaudara

Kartini bersaudara (Photo credit: Wikipedia)

Oleh Mohammad Fauzy

Peran ganda adalah salah satu ciri yang membedakan perempuan-perempuan kini dengan perempuan semasa Kartini. Dulu, menurut Kartini, perempuan dirantai adat. Hanya sedikit memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran. “Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah  tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat.

Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah, saya mesti masuk “tutupan”; saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, untuk kami, dikawinkan dengan kami,…”

Hal itu disampaikan Kartini dalam surat kepada Nona Zeehandelaar 25 Mei 1899. Kini, hampir seabad berlalu, perempuan tidak lagi terkena “tutupan” adat. Mereka boleh menuntut ilmu setinggi-tingginya, mengembangkan karier seluas-luasnya. Tiada lagi harus menjadi Raden Ayu, hanya di rumah melayani suami dan mengasuh anak, tapi juga dimungkinkan menjadi menteri.

Masalahnya, sejauh mana perempuan dapat melangkah ke luar batas rumah, terlebih setelah menjadi seorang istri? Perilaku-perilaku apa saja yang dituntut para lelaki sebagai suami terhadap mereka selama ini? Bagaimana pula hubungannya dengan perilaku yang ditunjukan Kartini?

Tujuh Tuntutan

Setiap persoalan perempuan, agaknya selalu dimulai ketika ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Persoalan itu makin rumit ketika ia menjadi seorang istri. Lelaki sebagai suami akan mengajukan tuntutannya. Studi terhadap 95 lelaki golongan menengah ke atas yang diungkapkan TO Ihromi dalam Pandangan Pria terhadap Peran Ganda Wanita menunjukkan, 58,9% dari mereka mengharapkan perempuan sebagai ibu pandai mengurus rumah, merawat anak, suami, dan selalu di rumah. Hanya 29,5% lelaki mengharapkan istri mereka bekerja dengan syarat pekerjaan rumah tidak terbengkalai.

Memang, kadang, suami tidak melarang istri mengembangkan karier, namun mereka juga menuntut istri harus di rumah. Ini selaras dengan studi penulis terhadap 1451 lelaki yang sedang mencari istri. Selama 1975 sampai 1990, ada tujuh perilaku utama yang mereka tuntut secara konsisten dari seorang istri. Secara berurut: keibuan, setia, jujur, penyayang, pengertian, sabar, dan ramah.

Ibu bukan kata yang hanya bermakna biologik, tapi juga bermakna sosial. Perempuan disebut ibu bukan hanya karena melahirkan anak. Tapi, ibu sendiri adalah sebutan terhormat untuk perempuan sebagai mana sebutan bapak untuk lelaki yang berusia dan telah berkeluarga. Keibuan dengan sendirinya merujuk pada perilaku khas seorang ibu. Setelah melahirkan, ia masih harus secara emosional bertugas, antara lain, menyusui dan merawat anak sampai dewasa. Tugas-tugas ini adalah syarat untuk istri agar menjadi ibu sempurna. Ibu yang sungguh keibuan. Puncaknya, menjadi ibu rumah tangga bila juga mampu melayani suami secara afektif motorik.

Penekanan perilaku keibuan di urutan pertama jelas memperlihatkan, konsep mothering pada lelaki masih belum bergeser ke pada konsep parenting. Sebagai istri, dari generasi ke generasi, perempuan tetap mendapat beban itu. Walau suami mengizinkan  mereka mengembangkan karier, suami masih membebani  mereka dengan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Mengurus anak dan suami, agaknya mutlak. Perempuan harus setia kepada keluarga. Setia adalah tanda bakti, loyalitas, dan pengabdian. Jika gagal mengimbangi kegiatan di luar rumah dengan loyalitas pada keluarga, istri akan mendapat cemoohan.

Karena itu, mereka akan selalu mengalami konflik yang dilematik dalam berperan ganda, yang kadang kala harus berakhir dengan meninggalkan karier. Sebab, mereka juga dituntut menjadi perempuan yang penyayang, pengertian dan sabar, yang semuanya mengandung satu makna: pengorbanan.

Didukung Perempuan

Tujuh perilaku itu adalah tuntutan terhadap seorang perempuan yang berperan sebagai istri. Situasi-situasi struktur sosial dalam masyarakat selalu dikuasai tuntutan semacam itu, yang disebut role demand. Yaitu, sekumpulan harapan mengenai perilaku yang harus dipatuhi seseorang ketika memegang peran tertentu, berwujud instuksi-instruksi untuk menstimulasi dirinya.

Umumnya, tuntutan-tuntutan dilakukan orangtua selama proses sosialisasi. Sejak kanak-kanak, seorang perempuan atau seorang lelaki sudah dituntut untuk tidak berperilaku begitu. Tidak baik begini dan sebaiknya begitu, yang semuanya secara perlahan-lahan mengendap dalam diri anak menjadi nilai dan norma.

Sebuah studi mahasiswa FISIP-UI di kalangan terbatas mengungkapkan, 84,1% lelaki mengatakan orangtua mereka menanamkan nilai: perempuan atau ibu diharapkan bertanggung jawab pada urusan rumah, mengasuh anak, dan mengabdi pada suami. Sedangkan 79% mengutarakan peran suami atau ayah ialah mencari nafkah, pelindung, kepala dan penanggung jawab keluarga.

Karena itu orangtua, khususnya perempuan, sangat berperan dalam menanamkan tuntutan-tuntutan tersebut pada anak lelaki. Perempuan paling banyak terlibat dalam proses sosialisasi anak-anak daripada lelaki sebagai suami. Perempuan yang mengandung, melahirkan, menyusui, merawat dan mengasuh anak-anak hingga dewasa. Ia adalah ibu mereka.

Tanpa sadar, perempuan telah menciptakan tuntutan-tuntutan yang kemudian menjerat diri sendiri. Sebagaimana dengan tujuh role demand tadi, perempuan sebagai ibu yang agaknya mengajar lelaki untuk menuntut perempuan berperilaku keibuan, setia, jujur, penyayang, pengertian, sabar dan ramah.

Celakanya, sebagai istri, perempuan tampak mendukung tuntutan itu. Studi penulis terhadap 2588 perempuan yang sedang mencari suami menunjukkan, selama 1975 sampai 1990 ada tujuh perilaku utama yang mereka tuntut secara konsisten dari suami. Secara berurut: bertanggung jawab, jujur, setia, penyayang, sabar, pengertian, kebapakan.

Penekanan bertanggung jawab pada urutan pertama mengungkapkan, tanpa sadar perempuan ikut mendorong perilaku lelaki untuk tetap atau makin ke luar rumah. Lelaki harus bertanggung jawab terhadap anak dan istri dari segi status sosial dan ekonomi.

Tuntutan kebapakan di urutan terakhir menegaskan, perempuan menganggap perilaku kebapakan tidak sepenting perilaku bertanggung jawab. Suami tidak dituntut mengasuh dan merawat anak sebagai tugas yang selayaknya harus dilakukan seorang bapak, padahal sebutan itu lahir akibat adanya anak. Mungkin perempuan sendiri telah merasa mengemban tugas keibuan, sehingga langsung atau tidak, tuntutan kebapakan di urutan akhir amat mendukung konsep mothering yang justru selalu ditekankan lelaki pada perilaku keibuan.

Mitra Sejajar

Kenyataannya lelaki sebagai suami tetap menuntut perempuan di rumah akan menciptakan konflik pada perilaku perempuan kini dan esok, antara menjadi ratu rumah tangga dengan mengembangkan karier di luar rumah. Konflik itu tidak harus menyebabkan perempuan meninggalkan karier atau menghindari perkawinan. Dulu, kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899, Kartini menulis, ia berkehendak bebas, dapat berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain supaya tidak dipaksa kawin. “Tetapi kawin, kami mesti kawin, mesti, mesti! Tiada bersuami adalah dosa yang mungkin diperbuat seorang perempuan Islam, malu yang sebesar-besarnya malu yang mungkin tercoreng di muka seorang anak gadis Bumiputra dan keluarganya.”

Mungkin karena itu kartini akhirnya kawin dengan Raden Adipati Djojo Adiningrat, yang ternyata memahami dan mendukung harapan-harapannya. Kepada Mr Abendanon dan Nyonya, 16 Desember 1903, ia menulis, hatinya damai dan aman setelah kawin. Ide mendatangkan pengukir kayu dari Jepara ke Rembang sangat disetujui suaminya. “…, akan dibantunya saya dengan sekuat-kuatnya, seperti dengan semua hal lain-lain yang sangat saya inginkan mengerjakannya. Sekolah ambakht bagi orang Bumiputra sudah lama dalam angan-angannya.

Suami saya sangat inginnya melihat saya menulis kitab tentang cerita lama-lama dan babad tanah Jawa. Dia akan mengumpulkannya bagi saya: kami akan bekerja bersama-sama mengarang kitab itu. Senangnya hati saya mengenangkan yang demikian itu! Masih banyak lagi hal yang hendak diperbuatnya bersama-sama dengan saya; di atas meja tulis saya ada beberapa karangan bekas tangannya.”

Karena itu, perempuan masih dapat berusaha mengembangkan karier melalui kerja sama dengan lelaki. Sebagai mitra sejajar. Meskipun di balik itu, ada satu hal yang menyakitkan: kalaupun perempuan kemudian berhasil dalam karier, keberhasilan itu tiadalah mungkin dicapai tanpa lelaki. Perempuan masih tergantung lelaki. Karena, dunia mungkin memang distrukturkan Tuhan untuk jenis kelamin yang menonjol ini. ***