Permintaan Maaf Para Pejabat

Oleh Mohammad Fauzy

MESKI manusia tak dapat melenyapkan sebuah kesalahan, psikologi telah mengajarkan bahwa manusia masih mampu mengubah reaksi-reaksi terhadap kesalahan itu. Sebuah pernyataan yang salah dan mengundang kemarahan, masih dapat diralat atau diperbaiki, sehingga mengundang senyum dan pujian. Cara paling tepat, mungkin dengan menyampaikan permintaan maaf atau mengaku khilaf.

Hal itu telah dilakukan oleh mantan Kapolri, Jenderal Polisi Drs. Kunarto. Maret silam, ketika kalangan DPR bereaksi terhadap kebijakan komputerisasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Kunarto mengatakan DPR tidak memahami persoalan, tidak mengerti dan tidak semua kebijakan Polri harus dibicarakan dengan DPR. Kembali kalangan DPR bereaksi keras terhadap pernyataannya. Tapi, dengan segera Kunarto menyatakan maaf kepada seluruh anggota DPR. “Hendaknya anggota DPR menganggap pernyataan saya itu sebagai slip of the tongue (keseleo) dan itu terjadi karena kenaifan saya,” jelas Kunarto.

Pengakuan itu bagai meniupkan angin segar dalam kultur di negeri ini. Di bidang sosial-politik, jarang dan mungkin pantang seorang pemimpin mengaku bersalah dan meminta maaf. Tapi, perubahan agaknya terus terjadi. Tak lama berselang, Mendagri Mohamad Yogie SM pun, ternyata mau mengakui kekhilafan pernyataannya mengenai rencana PT Agrowisata Nusantara untuk membangun lapangan golf di Puncak.

Sebelumnya, ia mengatakan, pembangunan lapangan golf itu akan jalan terus tanpa perlu ditinjau lagi. Namun, ketika pernyataannya mengundang reaksi DPR dan Sesdalopbang Solihin GP, Yogie segera mengaku salah. Ia keliru dengan perusahaan lain yang juga bernama Agrowisata. “Saya terlalu cepat menjawab wartawan. Habis kalian sih, nanyanya kroyokan, bagaimana pembangunan lapangan golf di Argowisata (tanpa Nusantara)? Kontan saya jawab ‘jalan terus’,” jelas Yogie.

 Agresi Dan Kultur

Agresi adalah perilaku yang menyakiti orang maupun diri sendiri. Antara lain tampil dalam perilaku nonverbal (menendang, memukul dan kekerasan lain), atau perilaku verbal (menyerang dan menentang dengan cacian, fitnah atau sindiran). Dalam konteks sosial-politik, agresi nonverbal dan agresi verbal terhadap orang atau diri sendiri sering tampak dalam perilaku seorang pimpinan. Pembunuhan kepala negara atau lawan politik adalah agresi nonverbal terhadap orang. Bunuh diri atau mengundurkan diri dari jabatan adalah agresi nonverbal terhadap diri. Fitnah atau pernyataan menyerang dan menentang kebijakan lawan adalah agresi verbal terhadap orang. Sedangkan memaki dan menyalahkan diri adalah agresi verbal terhadap diri sendiri.

Dimata masyarakat, agresi nonverbal dan agresi verbal sering dianggap antisosial. Tidak baik memukul atau mencaci-maki orang. Tidak baik pula memukul atau menyalahkan diri sendiri. Tapi, anggapan ini sangat relatif dari masyarakat ke masyarakat, dari kelompok ke kelompok. Tidak kekerasan atau menyalahkan orang dapat disebut teror atau intimidasi oleh suatu kelompok dan disebut mempertahankan diri oleh kelompok lain.

Tergantung kultur dan status pelaku. Pada kultur-kultur yang menekan rasa salah, guilt, agresi terhadap orang sangat dihindari. Memukul orang atau menyerangnya dengan pernyataan, dinilai negatif. Sebaliknya, agresi terhadap diri sendiri dinilai positif, satria atau bertanggung jawab. Dalam kultur ini, penilaian negatif atau positif terhadap agresi tidak ditentukan oleh status pelakunya. Meski ia berstatus lebih rendah atau lebih tinggi daripada sasaran, penilaian tetap sama. Agresi nonverbal atau verbal yang dilancarkan bawahan terhadap atasan ataupun oleh atasan terhadap bawahan tetap dinilai negatif. Agresi terhadap diri sendiri, baik oleh atasan maupun bawahan, tetap cenderung dinilai positif.

Pada kultur yang menekankan rasa malu jika seseorang melakukan kesalahan, agresi terhadap orang cenderung dinilai wajar dan positif. Memukul atau menyerang orang dengan pernyataan, kadang kala dinilai wajar. Sebaliknya, agresi terhadap diri sendiri, mengaku bersalah atau meminta maaf, malah dinilai negatif, bodoh atau lemah.

Dalam kultur yang menekankan rasa malu ini, penilaian terhadap agresi sangat ditentukan status pelakunya. Bila pelaku berstatus rendah melancarkan agresi kepada pimpinan yang berstatus lebih tinggi, ia dinilai negatif sebagai pemberontak, tidak tahu diri atau kurang ajar. Tapi jika pimpinan memaki dan mencerca bawahan, agresi pimpinan biasanya dinilai wajar dan malah positif, meski sesungguhnya bawahan tidak bersalah. Alasan paling umum yang dipakai berkilah, untuk lebih mendidik atau meningkatkan disiplin bawahan. Karena itu pula, agresi terhadap diri dinilai lebih positif bila dilakukan bawahan, tapi dinilai negatif bila dilakukan atasan. Tak heran, dalam kultur malu, bawahan selalu salah dan salah. Ia dinilai lebih baik bila mengundurkan diri saja, misalnya, dari tempat bekerja. Sebab, tak mungkin pimpinan mengaku salah, minta maaf, apalagi mengundurkan diri dari jabatan.

Pandai Berkilah

Orang Indonesia jika bersalah, apalagi setelah menjadi pimpinan, paling terkenal pandai berkilah. Meski melakukan kesalahan fatal dalam bertugas, ia jarang mengaku salah, meminta maaf, apalagi mengundurkan diri. Sebaliknya ia malah bertahan, memutarbalikan kesalahan, mencari kambing hitam. Yang paling sering, bawahan menjadi korban, ditimpa ribuan kesalahan yang dilakukan pimpinan. Tak jarang jika mampu menahan diri, ia dipuji dan celakanya malah merasa telah menyelamatkan “muka bapak”.

Karena itu, pimpinan selalu aman menimpakan kesalahan kepada orang lain. Ketika Tampomas tenggelam, penumpang yang salah karena penuh sesak melampaui kapasitas. Ketika kereta Bintaro terbalik, lagi-lagi penumpang yang salah. Ketika pesawat Merpati kecelakaan, karena tak mungkin penumpang, teknologi dan pilot yang salah, karena teknologi dan pilot mati memang tak dapat dituntut tanggung jawabnya.

Akhirnya, kalau terdesak, lagi-lagi bawahan yang salah, lalai memeriksa penumpang, mengatur pintu kereta dan sejuta keteledoran lain. Atau kalau sangat terdesak sekali, wartawan yang salah kutip, salah tafsir dan salah edit. Bawahan memang selalu menjadi kambing hitam. Karena, kultur negeri ini masih lebih menekankan malu daripada nilai bersalah. Setiap melakukan ketidakbenaran, malu yang timbul jauh lebih besar daripada rasa bersalah. Apalagi malu sering berasosiasi dengan rasa terhina.

Untuk menutupi itu, kesalahan tidak diakui, menyerang dan memutarbalikan fakta menjadi pilihan. Karena, cara paling tepat menghentikan orang lain mempersalahkan kita adalah dengan cara menyalahkannya. “Saya bersalah” diubah menjadi “dia bersalah”. Jika gagal, agresi dilancarkan kepada orang lain, khususnya yang berstatus lebih rendah.

Kultur semacam itu telah berkembang dan sering dinilai bukan hanya sebagai sesuatu yang wajar, tapi sudah sebagai hal yang seharusnya. Karena, kultur malu memang telah menyatu dengan dan di dalam cara berpikir masyarakat negeri ini.

Kalau para psikolog pernah menyatakan bahasa adalah cermin pikiran, cara berpikir orang Indonesia mungkin dapat terlihat dalam ungkapan “uangku hilang”. Padahal uang tak mungkin menghilang, kecuali ia yang lalai menyimpannya. “Waktu berjalan cepat”. Padahal waktu kini dan kemarin tetap sama. Satu hari 24 jam, satu jam 60 menit, satu menit 60 detik. Karena itu dirinya yang lalai, santai tak memanfaatkan waktu. Ungkapan lain, “kakiku luka”. Padahal, tak mungkin kakinya luka kalau berjalan hati-hati. Yang benar, tentu diri sendiri yang melukai kakinya.

Sudah Bergeser

Apa yang dilakukan Pak Kun dan Pak Yogie, paling tidak telah menunjukkan, kultur malu dalam kehidupan sosial dan politik di negeri ini sudah bergeser ke kultur yang lebih menekankan kesalahan. Kesalahan tak lagi ditimpakan kepada orang lain, kepada bawahan, masyarakat atau dicari di luar diri mereka. Dengan sportif Pak Kun berani bilang, ia salah karena naïf. Dengan terus-terang Pak Yogie mengakui, ia keliru dan khilaf.

Yang menggembirakan, sikap itu lalu diikuti oleh William Soeryajaya, orang kaya nomor dua di negeri ini. Tanggal 17 Mei 1993, Oom Willem, panggilan akrabnya, berjanji kepada Tim Perwakilan Nasabah Bank Summa (TPNBS) akan meminta bantuan anak dan keluarganya untuk membayar nasabah. Jika terjadi hambatan, Oom Willem bersama TPNBS akan berunding kembali.

Setelah ditunggu sampai 21 Mei, Oom Willem masih belum menepati janji. Ia hanya mengirim surat kepada TPNBS yang diketuai oleh Drs. F. Marbun. Oom Willem minta maaf dan menyatakan, ia tak yakin anak-anak dan keluarganya tidak dalam keadaan dapat membantu lebih dari apa yang mereka berikan hingga sekarang. Maka, TPNBS pun berang. Menurut mereka, meski Oom Willem telah mengirim surat dan minta maaf, bukan berarti urusannya selesai begitu saja. Mereka tetap ingin Oom Willem menemui mereka.

Agaknya kemarahan itu wajar saja. Psikologi memang mengajarkan, manusia mampu mengubah reaksi-reaksi terhadap kesalahannya. Tapi, psikologi juga telah sering mengingatkan, manusia tak akan mampu mengubah reaksi bila kesalahan yang sama dilakukan berulang kali. Mungkin Oom Willem lupa, sebelumnya ia pernah didemo nasabah hingga ke rumah, juga karena tak mau bertemu muka. ***

Note: tulisan ini telah disajikan di Suara Pembaruan, 4 JUNI 1993

1 comment for “Permintaan Maaf Para Pejabat

Comments are closed.