Oleh Mohammad Fauzy dan M. Jamilludin R.
SERANGAN hama penggerek batang (Sundep) terhadap tanaman padi di Jawa Barat musim hujan 1989/1990 ditaksir merusak 163.015 ton padi. Kerusakan terutama di daerah Jatiluhur dan Pantai Utara, Jalur Pantura, lumbung padi terbesar Jawa Barat. Demikian dikemukakan Dirjen Pertanian Tanaman Pangan A. Muin Pabinru (Jayakarta, 14 April 1990).
Selama musim hujan 1989/1990, berdasarkan data 15 Maret 1990, luas serangan hama penggerek batang di Jawa Barat merusak 62.693 hektar padi, 19.315 hektar rusak ringan 17.727 hektar rusak sedang, 11.818 hektar rusak berat, dan 13.833 hektar puso, mati.
Menurut Dirjen, berbagai pengendalian serangan Sundep terus dilakukan untuk menekan penurunan produksi. Antara lain, melatih sejumlah Pengamat Hama Penyakit (PHP), Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL), dan para petani. Semua akan dilakukan dalam waktu dekat sejalan program nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bekerja sama dengan Organisasi Pangan Sedunia (FAO).
Pengendalian hama terpadu dengan melatih para pengamat hama, penyuluh pertanian, dan para petani memang tepat. Dengan begitu, temuan-temuan pengamat hama dan informasi dari Penyuluh Pertanian Lapangan kepada petani diharapkan dapat mengatasi serangan hama.
Tapi, lebih tepat lagi bila latihan itu memperhatikan sistem komunikasi yang sudah ada: hubungan antara korp penyuluh pertanian dengan petani serta korp penyuluh pertanian dengan peneliti dan tenaga perguruan tinggi yang relevan.
Korp penyuluh pertanian meliputi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), dan Penyuluh Pertanian Spesialis. Bagaimana pun, kasus hama di Jawa Barat yang merusak 163.015 ton padi adalah hasil kerjasama yang buruk dari tiga sistem ini.
Sistem Komunikasi
Balai Penyuluhan Pertanian bertugas menyusun, membimbing, dan mengawasi pelaksanaan Program Penyuluhan Pertanian. Program ini hasil identifikasi permasalahan petani yang dilakukan Penyuluh Pertanian Lapangan.
Untuk melaksanakan tugas, Balai Penyuluhan Pertanian dibantu Penyuluh Pertanian Spesialis. Para spesialis ini memecahkan perasional menurut disiplin ilmu yang dikuasai. Para spesialis menganalisis, mengevaluasi kegiatan penyuluhan pertanian, dan langsung melakukan percobaan di lapangan. Selain itu, secara kontinyu mereka berhubungan dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk menampung, mengolah, dan melahirkan temuan-temuan baru atau menyampaikan masalah untuk penelitian lanjutan.
Lembaga penelitian, termasuk balai penelitian, dan perguruan tinggi kemudian memecahkan masalah yang disampaikan para spesialis tersebut dengan memberikan solusi. Umpama, soal hama werang dan Sundep karena pengetahuan petani Indonesia yang diperoleh turun-menurun belum mampu mengatasinya.
Kemudian, beberapa solusi dikembalikan kepada para spesialis untuk diteruskan ke Balai Penyuluhan Pertanian. Di sini, para Penyuluh Pertanian Lapangan dan petani bekerja sama untuk mengatasi masalah.
Kondisi perjalanan arus informasi di atas, bisa dibayangkan, sangat birokratis. Informasi yang dibutuhkan para petani tidak tiba pada saat persoalan muncul. Justru, sebaliknya, setelah masalah menjadi kronis, umumnya, barulah solusi balai penelitian sampai kepada petani. Bahkan, seperti kini, setelah hama datang, barulah petani diajar berperang.
Sistem yang bertele-tele itu, sekarang, tentu sudah tidak memadai. Bencana hama penggerek batang alias Sundep di Pantai Utara Jawa Barat tersebut sebenarnya dapat dicegah bila sistem komunikasi antara tiga sistem tersebut lancar.
Kebutuhan Petani
Selain itu, berdasarkan ekplorasi penulis selama bulan Oktober dan November 1989, lima lembaga penelitian pertanian di Bogor, sebagai pusat temuan pertanian di Indonesia umumnya, masih hanya meneliti permasalahan sebagaimana yang digariskan atasan dari pada menekuni permasalahan yang berhubungan dengan kebutuhan petani.
Tampak tidak semua permasalahan petani tercantum dalam program penyuluhan pertanian. Karena sering terjadi benturan antara masalah petani dengan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Dalam kondisi ini, biasanya, permasalahan petani dikalahkan. Padahal harapan dari pusat, Departemen Pertanian, permasalahan petanilah yang mesti diutamakan dalam program penyuluhan.
Kalahnya permasalahan petani menyebabkan kebutuhan petani tidak masuk program. Akibatnya, para spesialis juga tiada dapat mengidentifikasi permasalahan petani sehingga tidak dapat memberikan solusi atau paling tidak meneruskannya ke lembaga penelitian atau ke perguruan tinggi yang relevan.
Umpama, selain kasus hama penggerek, di Cibening, akibat penyuluhan, produksi ikan dua ton sehari tidak dapat dipasarkan. Penyuluh Pertanian Lapangan tiada dapat mengantisipasi “keberuntungan” itu karena hanya sanggup memberikan temuan-temuan dari balai penelitian yang berhubungan dengan soal teknis.
Begitu juga permasalahan peternak di Srogol, Kecamatan Cijeruk, Bogor. Ketika temuan balai penelitian mendorong produksi ternak, ternak jadi banyak, petani malah bingung karena hasil berlimpah tak tahu dipasarkan ke mana. Terpaksa mereka menjualnya pada tengkulak.
Karena itu, selayaknyalah sistem komunikasi pertanian yang sudah ada ditilik kembali dengan jernih. Sistem komunikasi harus dipermudah. Tidak salah bila melongok sejenak kepiawaian sistem komunikasi pertanian di negeri Taiwan.
Di sana, para petani mudah menemui para peneliti. Dengan mendayung sepeda kumbang, mereka sudah dapat bertatap muka dan berbincang-bincang mengenai permasalahan yang dihadapi dengan peneliti. Para peneliti tanpa sungkan berdialog dengan para petani. Permasalahan petani adalah permasalahan mereka. Bila petani mengeluh, para peneliti juga merasakannya.
Sebab itu perlu dipertegas sebuah konsep dasar. Selama belum ada kejelasan konsep dasar bagaimana dan untuk siapa harus mengabdikan diri, balai penelitian di Indonesia tetap akan hidup seperti di menara gading. Kondisi ini tentu disukai para peneliti. Sebagai kaum intelektual tentu berharap dapat memecahkan permasalahan petani.
Dan yang penting, selain mengingat para peniliti sendiri haus terhadap permasalahan sebagai pengasah dan uji kemampuan, mereka perlu mengubah anggapan, para petani tiada lebih hanya sebagai obyek penelitian.
Jika pandangan itu diubah, dapat dihasilkan partisipasi petani. Sehingga semua persoalan dapat diatasi dengan cepat. Peniliti dan petani menghadapi permasalahan bersama-sama. Menghadapi wereng, Sundep, dan sebagainya sebelum terjadi serangan.
Hal yang perlu pembaruan ialah sikap para penyuluh dan peneliti yang merasa lebih tahu dari pada petani. Perlu disadari, dari segi teknis petani lebih memiliki kemampuan. Sungguh bijaksana bila pengalaman petani dipadukan dengan temuan hasil penelitian untuk menyempurnakan teknik bertani. Semoga. ***
Note: Tulisan ini telah dimuat di Suratkabar Harian Jayakarta, 18 Mei 1990.
1 comment for “Praktek Komunikasi Pertanian”