Sadar Bermedia

Oleh Bunga Padma Putri*

Indonesia tak muda lagi, 68 tahun kita menyandang kemerdekaan ini. Di setiap perjalanannya, ada yang selalu setia merekam jejak pencarian jati diri bangsa. Itulah media massa, yang turut pula andil dalam pembantukan identitas negeri.

Cukup terang sejarah mencatat ‘geliat Pers bawah tanah’ ketika para pejuang dan insan pers membakar semangat rakyat dengan tulisan-tulisan mereka, demi tercapainya kemerdekaan. Tak lama setelah merdeka, Pers terbelenggu lagi di era orde baru melalui pemberlakuan Surat Izin Terbit (SIT). Bayang gelap pembredelan adalah kartu mati bagi pelakon Pers.

Departemen Penerangan pun diciptakan sebagai ‘satpam’ dalam bermedia, serta ‘algojo’ pencabut nyawa setiap media yang berani mengkritisi atau bahkan sedikit ‘menyenggol’ para petinggi negeri. Tapi kini semua tinggal kenangan, tak perlu lagi kita bergeliat dalam menyampaikan segenggam informasi. Media tak lagi terbelenggu di negeri sendiri.

Tantangan Baru

Demokratisasi dalam bidang Pers, telah berlangsung di setiap aspek penggunaan media. Lebih 10 tahun kebebasan Pers tercipta setelah kita bereformasi, pembubaran Departemen Penerangan, penghapusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, serta lahirnya UU No.40/1999 dan UU No. 32/2002 tentang Pers yang cukup demokratis, serta terciptanya politik yang kondusif bagi pelembagaan kebebasan Pers.

Tetapi bukan berarti para ‘pencari berita’ tanpa rintangan –memang tak dalam bayang-bayang pencekalan– tapi justru lebih mengherankan. Bukan sekadar penghalangan dalam sebuah pencarian fakta yang terjadi, namun perlakuan anarkisme kepada wartawan dalam menajalankan tugas peliputan menjadi bahaya yang mengancam.

Masih begitu jelas kasus seorang wartawati yang keguguran saat berusaha mengonfirmasi berita sengketa lahan, malah tak jarang ada wartawan yang tinggal nama saat bertugas.

Sebenarnya tak perlu kekhawatiran berlebih, mengingat bahan dasar sebuah berita adalah fakta, Kita memiliki hak jawab dalam pemberitaan yang perlu dikonfirmasi keakuratannya, tak perlu jalur anarki untuk menghalau berita karena takut tercemar, bukan?

Jadi mari kita berpikir jernih dalam menanggapi berita, karena wartawan ‘haram’ menyampaikan berita bohong atau bahkan sekadar memasukkan sedikit pendapat mereka ke dalam sebuah berita.

Jika memang ada wartawan atau media yang terbukti menyampaikan berita bohong, tak perlu repot mengotori tanggan sendiri. Toh, ada Dewan Pers yang akan mengoreksi serta memberi peringatan kepada mereka.

Pudarnya Pesona

Sayangnya pesona Pers kini sedikit ternodai, ketika kebebasan disalahartikan. Para pelaku Pers ‘kebablasan’ seperti ‘anak macan’ baru keluar kandang, segala macam objek diterjang. Mereka lupa kode etik dalam pelaksanaan tugas, yang mengatur tindakan agar tak melampaui batas.

Asas praduga tak bersalah mereka lupakan. Contoh sederhana, jarang sudah media yang menggunakan inisial kepada para ‘tersangka’ sebuah perkara. Mereka lupa kalau Pers bukanlah seorang jaksa atau hakim pengadilan, yang berhak menjatuhkan vonis kepada para calon terdakwa.

Media online lebih menarik lagi. Entah apakah para pewarta media internet tersebut paham cara penulisan berita, atau memang ada aturan khusus demi menarik minat pembaca. Tapi yang pasti, isi tulisan di situs internet jarang sesuai dengan judul berita yang mereka pasang,

Tak heran, jika masyarakat meragukan keakuratan media tersebut. Belum lagi cara penulisan berita yang terkesan asal-asalan, sehingga sulit dicerna makna sesungguhnya oleh para pembaca. Ironis, memang. Ketika dulu media menjadi sarana perjuangan dan pencerdas bangsa, kini sedikit demi sedikit bergeser kehilangan esensi fungsi Pers yang sesungguhnya.

Media elektronik pun menjadi contoh lebih nyata, dari pudarnya pesona Pers. Perubahan pola kebiasaan masyarakat dari budaya membaca menjadi budaya mendengar/menonton adalah salah satu faktor mudahnya informasi terserap dengan cepat.

Bagai buah simalakama, justru pergeseran budaya inilah yang membuat fungsi Pers rentan akan pengaruh politisasi. Terlebih mengingat para pemilik televisi ini sebagian adalah para ‘wayang’ pengincar kursi tertinggi negeri.

Kebebasan Semu

Tanpa mengurangi rasa hormat akan keberanian tindakan prefentif KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), mungkinkah jika seluruh pamilik media televisi ikut pula dipanggil untuk membuat ‘pakta integritas’. Agaknya hal ini penting dilakukan –mengingat pemilu semakin dekat– untuk menghindari perang ‘pencitraan’ serta mengembalikan kewibawaan media itu sendiri tentunya.

Bukan hanya KPI, seharusnya Komisi Pemilahan Umum (KPU) juga mengambil langkah prepentif mengenai aturan main pencitraan iklan pemilu. Mereka memiliki kewenangan lebih, atas berbagai aturan pemilu raya tahun depan.

Sekarang bukankah kita jadi kembali bertanya, benarkan kebebasan Pers nyata, atau hanya ‘oasis’ di padang sahara’? Mungkin bebas dari aturan main pemerintah, tapi tidak dari aturan main dan politik para pemilik media sendiri.

Tak ada yang salah, memang. Bukankah hanya sekadar iklan dan berita selingan? Tentu menjadi masalah, ketika masyarakat mulai gerah dan merasa terganggu. Karena ruang publik mereka berkurang, hanya untuk iklan berdurasi panjang maupun berita kacangan tentang sebuah rapat atau sekadar seminar ‘si bos’ di tempat terpencil kumuh nan jauh di sana agar terkesan merakyat.

Kita hidup bersama dalam sebuah negara berkembang, Indonesia. Oleh karena itu, kita perlu ruang untuk menjaga kebersamaan tersebut. Barangkali itulah sebabnya ruang publik dalam media manapun harus terjaga kualitasnya, karena menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak.

Tak ada yang salah, sekali lagi tak ada yang salah. Hanya butuh kesadaran dari kita semua, agar tercipta kemajuan bangsa yang berintelektual. Mengingat media adalah sarana belajar tanpa guru, sehingga lebih berbahaya karena presepsi, daya tangkap, dan hati setiap orang berbeda. Tak ada sosok –selain diri sendiri– yang mampu mengontrol pengaruh media dalam berkehidupan.

Jadi, mari kita kembalikan fungsi Pers sebagaimana mestinya. Agar Pers tetap menjadi tiang penyangga demokrasi keempat, setelah ‘trias politica’ melakukan sosial kontrol terhadap para pelakon petinggi dan seluruh masyarakat negeri.

Semoga, Dirgahayu Indonesia.

*Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Jurnalistik, Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta. Tulisan ini dikutip dari Karya XPressi Jurnal.