Puasa berarti menahan diri. Pada bulan Ramadhan, ketika seseorang menahan diri, tidak makan dan tidak minum, tubuhnya menjadi lemah, tapi pancaran ruhnya menjadi kian kuat. Sifat cahayanya muncul, yaitu lembut dan benderang. Inilah sifat ruh orang berpuasa. Bila sifat-sifat ini kian menguat maka ia mulai mempengaruhi benda-benda dan orang-orang di sekitar. Jika orang-orang di sekitarnya juga berpuasa maka timbullah saling pengaruh antara kelembutan dan kebenderangan mereka. Keadaan di antara orang-orang tersebut menjadi sejuk. Benderang cahaya mereka kian berlipat-lipat.
Bila ada amarah yang muncul, apakah satu atau dua atau tiga di antara orang-orang yang berpuasa, ia akan mempengaruhi ruh-ruh lain. Ruh-ruh yang lemah biasanya terbawa amarah. Namun ruh-ruh yang lebih kuat seakan-akan memiliki daya redam yang luar biasa. Mereka menyerap amarah seakan-akan dengan daya tampung tanpa batas dan menjadikan suasana tenang kembali. Itulah nyamannya di antara orang-orang yang berpuasa.
Kembali ke Fitrah
Saat Ramadhan, perubahan-perubahan perilaku dimudahkan. Orang tidak harus mengatakan, “Saya mau berubah!” Ia juga tidak perlu mengatakan akan berubah menjadi ini atau itu. Orang yang berpuasa tidak perlu menentukan perilaku yang mereka inginkan. Cukup dengan menahan diri, perubahan terjadi sendiri. Tidak makan, tidak minum, menahan mata, menahan telinga, menahan ini dan itu, dengan sendirinya melepas hijab-hijab, lalu ruh mereka dengan sendirinya kian menguat, kian bercahaya, dan kembali ke fitrahnya.
Jadi, ruh-ruh tersebut sebenarnya tidak berubah, melainkan sifat-sifat asalnya menguat, kian peka, dan karena itu disebut kembali ke fitrah. Orang menjadi menemukan diri yang asli, kembali pada sifat-sifat baiknya. Namun, jika ia tidak mampu menahan diri dan batal puasa, ia pun gagal kembali ke fitrahnya.
Kemarahan, kadang, menjadi penghalang (hijab) utama. Karena itu, walau puasa, yang biasa ngamuk, ya tetap ngamuk, karena tak mampu menahan diri. Mereka biasanya walau puasa, volume makan dan menu tidak berubah. Ketika puasa, perut mereka tidak merasakan lapar, malah tidur tambah lama. Kalau yang baik tetap baik ketika berpuasa, tidak meningkat kebaikannya, berarti yang ia tahan juga tidak meningkat jumlah maupun kualitasnya. Puasa perut bisa, misal, puasa mulut belum dijaga. Mata pun tetap saja masih dilepas dalam memandang ke mana suka.***