PERLUKAH MENUDUHNYA BERSELINGKUH?

“Pak Edy, dengan tindakannya yang sangat membuat saya naik pitam itu, apakah suami saya sebenarnya hanya sedang genit saja, atau mungkin ia lagi tergoda oleh seorang perempuan dan dengan ulahnya itu mau mengesankan kepada saya bahwa saya isteri yang pencemburu? Buktinya, Pak, ketika saya menanyakan yang ada hubungannya dengan soal itu, kenapa dia tidak melihat ke arah mata saya? Kenapa sekian kali ia tidak menjawab panggilan telepon saya? Mengapa ia lebih sering terlambat pulang kerja?” begitu rentetan pertanyaan Bu Widyastuti, hampir tanpa jeda.

Beberapa kali ia tampak meremas ibu jari tangan kirinya dalam jepitan antara ibu jari dan telunjuk tangan kanannya. Tidak pasti, apa penjelasan ilmiah dari ungkapan bahasa tubuhnya ini, tetapi aku merasakan betapa berkecamuk rasa jengkelnya terhadap Rudyanto, pasangannya. Seolah gerakan itu melambangkan ia mau menggencet pasangannya sebagai bukan bagian yang berhubungan dengan tubuh kehidupannya.

“Apakah Bu Wid menginginkan sekadar penjelasan untuk menentukan siapa pihak yang lebih bersalah atas yang sedang terjadi di antara kalian sebagai pasangan? Ibu barusan membaca terlalu banyak tanda-tanda untuk menjelaskan apa yang terjadi, bukan? Padahal, tanda-tanda itu telah Ibu tentukan justru untuk membenarkan keyakinan Ibu,” aku balik bertanya, sekadar menjajaki seberapa kuat kapasitasnya untuk melakukan refleksi diri. Dari sini dapat ditentukan pintu masuk yang tepat untuk menawar sejauh mana  ia memiliki daya toleransi terhadap kekecewaannya.

“Pak, kebingungan saya, saya harus menyelidiki kelakuannya yang dengan cepat bisa berubah. Saya hampir tidak mengenalinya karena perubahan itu makin sulit saya deteksi. Kalau ia sudah pernah tidak jujur maka tidak mungkin ia mau mengakui kebenaran, kendati pun saya menghadapkannya pada bukti yang tak terbantah,” jelasnya.

“Bu Wid, kecurigaan ibu mungkin saja beralasan karena ibu merasakan perubahan itu dari waktu ke waktu. Yang ibu rasakan adalah sesuatu yang datang dari pribadi dekat di rumah. Kalau ia bukan pasangan ibu, taruhlah misalnya adik kandung ibu yang sedang menjajaki suatu hubungan dengan seseorang, ia dapat berbohong tentang perasaannya yang sebenarnya, tentang perasaannya terhadap orang yang lagi didekatinya, tentang tingkat komitmennya pada diri ibu, atau tentang kondisi umum yang sedang ia alami. Artinya, siapa pun orangnya, sejauh ia secara pribadi dekat dengan ibu, ia cenderung untuk berbohong kepada ibu, justru karena baginya ibu pribadi yang paling serius dan paling bersangkut paut langsung dengan pribadinya,”  kubuka sebuah opsi.

Bu Widyastuti diam.

“Di sisi lain, Bu Wid, ibu mungkin sulit menerima fakta bahwa ada banyak suami atau istri yang tidak pernah berencana untuk saling setia, selain terdapat juga jutaan suami atau istri, yang tidak pernah berkeinginan melakukan perselingkuhan, namun berakhir dengan melakukannya,” lanjutku.

Kerdipan matanya nampak makin cepat, “Wouw, bisa begitu ya, Pak?” ia mencoba meyakinkan lagi yang ia dengar.

“Begitulah. Apa yang Bu Wid pikirkan? Masih penasaran dengan yang sedang terjadi di antara kalian?” aku mencoba mengklarifikasi.

“Ya. Saya menangkap maksud Pak Edy. Kalau saya tidak salah tangkap. Pak Edy mau mengingatkan saya bahwa keadaan justru saya buat menjadi lebih rumit kalau saya berusaha mendeteksi ketidakjujuran, apalagi mencurigai kemungkinan adanya perselingkuhan, bahkan mencoba menyelidiki pasangan. Tindakan ini–baru saja terpikirkan–dapat menimbulkan sejumlah masalah relasi, masalah etika, dan mungkin, masalah hukum,” ia diam sejenak, “selain itu, saya juga sedang Bapak ingatkan bahwa selain saya harus mempertimbangkan risiko, dimana pasangan bakal berbohong, saya juga diingatkan agar tidak “over-estimating” pada kemampuan saya membongkar kebohongan pasangan saya.”

“Tepat sekali. Anda menangkap persis pertimbangan yang saya tadi coba tawarkan,” kataku meneguhkan reorientasi perumusan masalah yang sudah mulai tampak padanya,“dengan ketepatan Bu Wid manangkap yang saya maksud, saatnya saya meminta ibu untuk melakukan strategi “asumsi terbaik”. Artinya, Bu Wid justru perlu mempersiapkan diri sebelum sampai saatnya datang pembuktian bahwa yang ibu curigai tidak terjadi. Ini poin yang sangat menentukan sebab sebagian besar pasangan perkawinan yang saya dampingi ke ruang mampu menyelesaikan krisis mereka karena mereka tidak memiliki persiapan menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka tidak persis seperti yang nampak selama ini.”

“Lantas, apa jaminannya, seandainya saya harus menggunakan strategi itu, Pak?” ia berusaha mengklarifikasi.

“Bu Wid, percayakah bahwa kebohongan akan bersambut dengan kebohongan pula? Bahwa kebohongan yang ibu curigai pada pasangan ibu justru ibu buktikan dengan bukti palsu? Bukankah suatu kesulitan besar bagi ibu untuk memainkan peran sebagai detektif yang bertujuan mengungkap, bahkan menangkap basah pasangan ibu yang menceritakan kebohongannya? Dalam proses pembuktian itu, boleh jadi ibu justru terjebak ke dalam kebohongan, di mana ibu melakukan kebohongan saat ibu menunjukkan bukti-bukti  tentang kebohongannya,” tegasku.

 “Rumit memang, Pak. Tapi saya sangat memahami besarnya kemungkinan saya melakukan hal yang Pak katakan. Mohon diteruskan uraiannya, Pak” desaknya.

“Ketika ibu ingin membuktikan ketidakjujuran, apalagi mencari tahu kebenaran bahwa ia berbohong, ibu justru akan bermasalah di kemudian hari. Kecurigaan ibu akan meningkat, juga ketidakpercayaan padanya. Ibu akan mengalami tragika yang sebenarnya tidak perlu, seperti: suatu saat pasangan mungkin bersedia untuk memelintir kebenaran dari sesuatu yang sangat sepele. Taruhlah contoh, Pak Rudy pulang kerja dan tidak sedang merasa lapar. Karena ibu mendesaknya untuk segera makan, apalagi sudah merasa susah payah menyiapkannya, dengan terpaksa dia makan. Ibu dapat membayangkan, bagaimana kalau kebenaran yang ia plintir itu kelak menyangkut hal yang lebih penting? Ketika sesuatu yang jauh lebih serius terjadi, persis yang sekarang ibu konsultasikan; ibu akan kesulitan menghadapi Pak Rudy yang telah mempelajari pola ibu, di mana ibu mentolerirnya ketika ia mengkhianati kepercayaan yang sudah ibu berikan, yakni untuk mengatakan yang sebenarnya. Justru karena ibu menginginkannya menyenangkan hati, dengan mau makan padahal sebenarnya tidak sedang lapar.”

Bu Widyastuti nampak mencampak kata-kataku.

“Jadi, Pak, apakah saya harus berfokus menyelesaikan pada apa yang terjadi sekarang, tetapi tetap dalam ingatan tentang masa depan?” tanyanya sekaligus kesimpulannya.

“Bu Wid, actually, the future is all that critical at this time, the things which are very important and highly uncertain,” ungkapku menutup sesi konsultasi. (ES)

***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre.