Oleh Mohammad Fauzy
SETIAP persoalan keluarga berencana harus dimulai dari sebuah cakrawala perempuan. Sebab, meski keluarga berencana merupakan persoalan nasional, setiap upaya pembatasan kelahiran adalah persoalan pribadi mereka. Studi Budiman (1985) dan Matlin (1987) menunjukkan, selama ini alat-alat kontrasepsi yang dipromosikan untuk tujuan itu lebih banyak digunakan oleh perempuan daripada lelaki. Perempuan dengan kata lain, telah menjadi korban suatu proses yang seharusnya dipertanggungjawabkan bersama lelaki, namun malah terpaksa dijalaninya sendiri.
Memang sulit bagi lelaki yang menganggap diri rasional untuk memahami ketidakseimbangan penggunaan alat-alat kontrasepsi. Walau begitu, banyak lelaki yang pemikiran dan persepsinya terhadap kehidupan ini sama sekali berada di luar apa yang umumnya dipandang normal. Salah satu persepsi paling konyol, yang hamil adalah perempuan, karena itu pencegahannya harus dikenakan pada mereka ketimbang ditimpakan pada lelaki.
Persepsi yang keliru itu berasosiasi dengan sejumlah pengembangan alat kontrasepsi. Pil, suntik, vagina foam diafragma, spiral dan douching dengan bangga dipersembahkan oleh para medik khusus untuk merekayasa sistem reproduksi perempuan. Sementara itu, alat kontrasepsi yang diagung-agungkan khusus untuk lelaki hanya kondom dan kondom, yang dalam penerapannya pun masih sangat langka karena dianggap dapat mereduksi kenikmatan seksual mereka. Sensus penduduk tahun 1980 memperlihatkan, meski 55, 12% perempuan telah rela menelan-nelan pil dan 23,90% terlibat pemasangan spiral, yang namanya lelaki hanya 3,33% yang mengenakan kondom.
Memang dalam melaksanakan kontrol ada kiat lain yang dapat digunakan oleh perempuan maupun lelaki. Tapi, penerapannya tidak jauh lebih baik daripada praktek kondomisasi. Barangkali tidak banyak lelaki yang mau menghentikan persetubuhan sebelum ejakulasi, atau yang dianggap mengganggu kesehatan, harus menjalani operasi untuk sterilisasi.
Cara yang disebut terakhir itu, akhirnya toh juga lebih banyak harus dijalani, lagi-lagi oleh perempuan ketimbang lelaki. Hagul (1984), dengan jelas melaporkan fenomena yang mengerikan ini. Selama tahun 1974 sampai Februari 1981, katanya, 181.123 perempuan telah menjalani sterilisasi dan hanya 35.137 lelaki yang mau menempuh cara yang sama. Artinya, jumlah perempuan yang dioperasi untuk sterilisasi adalah lima kali dari jumlah lelaki.
Permainan Medik
Ketimpangan upaya pembatasan kelahiran hanya berdasarkan persepsi bahwa yang hamil adalah perempuan. Maka, pencegahannya harus ditimpakan pada mereka. Ini merupakan suatu permainan dari sebuah kebudayaan yang masih berpijak pada dunia lelaki. Sebab, walaupun yang hamil memang tubuh perempuan, tidak mungkin kehamilan itu terjadi tanpa partisipasi tubuh lelaki.
Partisipasi tubuh itu dengan begitu saja hendak digelapkan oleh para medik dalam permainan persepsi ala kebudayaan patriarki. Selama berabad-abad, perhatian mayarakat selalu dan selalu hanya mereka arahkan kepada upaya merekayasa tubuh perempuan, mulai dari ujung kaki, betis, paha, pinggul, buah dada, sampai ke wajah.
Begitu juga dalam penjelasan-penjelasan mengenai kehamilan, para medik hanya mengarahkan masyarakat pada kehamilan yang terjadi, tanpa menggubris kehadiran tubuh lelaki dalam proses terjadinya pembuahan. Sama dengan propaganda yang selalu mereka canangkan: setiap bulan, hanya ada satu indung telur pada perempuan, sedangkan pada lelaki, jutaan sperma diproduksi tanpa henti. Karena itu, lebih mudah mengintervensi sistem reproduksi perempuan daripada mengutak-ngatik sistem reproduksi lelaki.
Masalahnya bukan terletak pada kalkulasi indung telur atau prakiraan jumlah sperma per bulan. Rothman (1984), dengan tegas menyatakan bahwa sistem reproduksi perempuan melibatkan suatu proses yang jauh lebih kompleks daripada yang terjadi dalam sistem reproduksi lelaki. Karena itu, merekayasa sesuatu di kedalaman tubuh perempuan jauh lebih mendatangkan resiko daripada meregulasinya pada tubuh lelaki.
Dalam kasus sterilisasi, misalnya, jika penerapannya dilakukan pada lelaki, teknik ini hanya sebuah operasi kecil yang dapat diselesaikan para medik kurang dari sepuluh menit. Sebaliknya bila diterapkan pada perempuan, sterilisasi merupakan operasi besar, butuh waktu lebih lama dan kadang kala, meski kecil persentasenya, dapat pula merenggut nyawa.
Sebab itu, perempuan tidak mungkin dibenarkan menanggung resiko dari setiap hasil persetubuhan selama bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun, sampai menapause datang menjemput mereka. Secara etik, perempuan tidak harus mengorbankan kesehatan diri dengan segala teknik kontrasepsi hanya untuk mengatasi sebuah proses yang ditempuh bersama lawan jenis mereka.
Teror
Tubuh perempuan hampir dalam setiap kebudayaan yang dikenal, selalu berada dalam kondisi kritis. Lelaki dalam berbagai peringkat, mulai dari yang tidak berpendidikan sampai kepada yang seharusnya memberi pendidikan yaitu para guru, kepala sekolah.
Sheffield (1984) menggolongkan teror tersebut ke dalam 4 tipe: perkosaan, penyerangan terhadap istri, tindak seksual terhadap anak perempuan, pelecehan seksual.
Seluruh teror lelaki itu bertujuan mempertahankan dominasi dan superioritas mereka terhadap perempuan. Mereka selalu berusaha mengontrol dan menguasai tubuh perempuan dengan satu tujuan utama: melestarikan mitos hanya lelaki yang berhak mengambil keputusan, sedangkan perempuan harus pasrah dan diam tidak berdaya.
Karena itu, kata memperkosa, menggauli, menggagahi, mencabuli dan menodai selalu lekat dengan subjek lelaki. Sedangkan kata diperkosa, digauli, digagahi, dicabuli dan dinodai lebih dekat dengan subyek berkelamin perempuan. Artinya, hanya lelaki yang berhak “me..”, sedangkan perempuan hanya kebagian “di..”. Lelaki aktif, perempuan pasif.
Celakanya, bila risiko muncul, ketika lelaki harus berhadapan dengan tanggungjawab, sebagaimana dalam kasus-kasus perkosaan maka perilaku perempuan malah ditempatkan dalam posisi aktif. Dia menggunakan rok pendek, melenggok dengan gaya mengundang dan meransang.
Pengembangan alat kontrasepsi yang lebih banyak ditujukan pada perempuan dengan mempermainkan fakta-fakta medik, masih merupakan salah satu mekanisme upaya lelaki dalam menghindari pertanggungjawaban mereka. Penggunaan kata menghamili diperuntukkan bagi subjek lelaki, sedangkan kata dihamili dikenakan pada perempuan. Lagi-lagi, lelaki ditempatkan pada posisi aktif “me..”, sedangkan perempuan dalam posisi pasif “di..”.
Tapi, begitu resiko kehamilan datang menjelang, dengan mudah lelaki bilang seperti yang telah dipopulerkan oleh sebuah grup lawak. Siapa suruh tidur nggak pakai celana? atau, yang paling menyakitkan, karena dia adalah seorang perempuan.
Sekali lagi, memang sulit bagi lelaki yang menganggap diri rasional untuk mengubah dasar pola persepsi yang keliru itu. Agar mereka sedikit lebih emosional, mungkin sudah waktunya perempuan yang berprofesi medik segera mengembangkan teknik kontrasepsi khusus lelaki. Selain kondom, pada suatu hari nanti, paling tidak dunia juga dapat mencatat kehadiran: pil pelemah sperma, suntikan penahan ejakulasi, penis foam dan perlengkapan lainnya. ***
Note: Tulisan ini telah dimuat di Suara Pembaruan, 29 Juni 1993.
1 comment for “Perempuan dan Alat Kontrasepsi”