4. Penerbitan Buku Sastra
Penerbitan buku-buku sastra memang bermasalah sejak dulu. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, tercatat peningkatan dalam penerbitan buku sastra, namun peningkatan penerbitan buku sastra itu baru terjadi secara sporadis. Belum banyak penerbit mau menampung dan menerbitkan buku-buku sastra. Karya sastra Indonesia masih belum mampu menembus industri kreatif sebagai bagian dari “selera” pasar di negeri sendiri. Karena itu, pada masa sekarang, buku-buku sastra memang banyak diterbitkan, namun bukan dengan memperhitungkan rugi-laba, melainkan melalui inisiatif secara individual dengan pertimbangan-pertimbangan idil.
Hal itu tidak mengherankan. Penerbitan buku-buku sastra bagi banyak penerbit tampaknya memang lebih banyak mendatangkan kerugian ketimbang keuntungan. Sebagian besar dari 250 penerbit di Indonesia, secara umum pernah kapok menerbitkan buku-buku sastra. Sejak sekitar tujuh tahun lalu, isyarat itu selalu tampak pada setiap acara pameran buku, termasuk pada Pameran Buku Indonesia 2002 di Balai Sidang Senayan, Jakarta, 18 sampai 22 September. Waktu itu, pameran memang dibanjiri ribuan pengunjung, namun mereka cenderung melihat-lihat dan membeli buku-buku nonsastra. Perhatian mereka lebih tersedot ke buku-buku filsafat, politik, hukum, hingga ke pengetahuan-pengetahuan aplikatif, seperti manajemen, bisnis, informatika, teknik, dan kedokteran. Karena kecenderungan itu sudah rutin, dari 140 penerbit yang ikut pameran, saat itu, kebanyakan tidak memajang buku-buku sastra. Dari 200 stan, tak sampai 20 stan yang memajang buku-buku sastra. (Kompas.com 10 November 2009). Jadi, kurang dari 10% penerbit saja.
Pengelola stan PT Gunung Agung yang memajang sekitar 20 judul novel mengakui minimnya jumlah peminat buku sastra. “Dari sekitar 100 judul buku yang terjual per hari, tidak sampai 10 karya sastra,” kata Patahillah, Kepala Seksi Buku Gunung Agung. Penerbit Kanisius dan Bhratara malah terus terang mengungkapkan rasa kapok mereka dalam menerbitkan buku sastra. Manajer Urusan Pameran Kanisius E. Poerwadi mengatakan, pada tahun 2000, mereka memproduksi empat judul novel. Tapi, sebagian besar tidak laku. Hal senada diungkapkan Robinson Rusdi, pemilik Penerbit Bhratara. “Kalaupun kami menerbitkan buku sastra, itu tidak lebih dari selingan, agar produk kami variatif,” kata Robinson. Ia cenderung memproduksi buku pelajaran dan umum.
Poerwadi tidak menyebut berapa jumlah eksemplar yang tidak laku, namun, dengan asumsi rata-rata penerbit di Indonesia mencetak 3.000 eksemplar per judul, bisa dibayangkan jumlah buku sastra yang menumpuk di gudang Kanisius. Itulah sebabnya, sejak berdiri 1922, Kanisius lebih fokus pada buku-buku kerohanian, filsafat, dan pengetahuan praktis. Daripada mencari risiko pada buku-buku sastra, Kanisius lebih memilih melakukan diversifikasi pada produk multimedia.
Sampai enam tahun kemudian, gejala yang sama tidak pernah berubah. General Manager Yayasan Obor Indonesia Kartini Nurdin pada Temu Sastrawan Indonesia I di Kota Jambi, 9 Juli 2008, mengungkapkan penerbitan buku-buku sastra masih lebih besar didasarkan pada idealisme dari pada pertimbangan komersil dan bisnis, “Buku merupakan suatu produk ciptaan yang dihasilkan oleh penulis, pengarang, editor, illustrator, dan penerjemah. Untuk menerbitkan suatu buku banyak pertimbangan. Kecuali buku sastra, hanya didasari idealisme,” kata Kartini Nurdin dan ia juga menjelaskan, kelahiran penerbitan buku sastra pada akhir 70-an dan awal 80-an karena penerbit yang bergerak di bidang penerbitan buku sastra memang kurang. Selain Balai Pustaka, Djambatan, Yayasan Obor, dan Pustaka Jaya, tidak banyak penerbit mengkhususkan diri pada penerbitan buku sastra. Sampai sekarang masih sedikit karya sastra dunia dan dunia ketiga dikenal di Indonesia. (Kompas.com., Rabu, 9 Juli 2008).
Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan, penerbitan buku sastra secara bisnis mengandung risiko tidak laku sehingga penerbit yang menerbitkan buku sastra tidak banyak. Sampai sekarang pun, hampir tidak ada penerbit yang mau menkhususkan diri untuk menerbitkan buku-buku sastra. Tabel 5 menunjukkan, hasil penelitian pada tahun 2007, berdasar bidang terbitan mereka, Aggota Ikapi DKI Jakarta paling banyak memposisikan diri sebagai penerbit buku-buku pelajaran, 25,00% dari 232 anggota, disusul 21,55% buku-buku umum, dan 20,69% buku-buku Islam. Data ini menunjukkan tiga pola utama kecenderungan bidang terbitan para anggota Ikapi DKI Jakarta dan tidak satu pun yang memposisikan diri sebagai penerbit buku sastra!
Akibatnya, masyarakat kita masih sedikit mengenal sastra dunia, sastra dunia ketiga, dan karya sastra sendiri saja masih belum banyak diketahui. Namun, walau begitu, setahun sebelumnya, pada 2007, Ahmadun Yosi Herfanda telah menangkap geliat bangkitnya sastra masuk dalam industri “pasar”. Belakangan ini, katanya, makin kuat kecenderungan menyiasati penerbitan buku sastra sebagai sebuah industri. Persaingan pasar yang makin ketat, kepentingan penerbit untuk mengembalikan modal dan meraih keuntungan, serta kesadaran memberikan royalti yang layak guna meningkatkan kesejahteraan penulis buku sastra, ikut mendorong ke arah itu. Sederhananya, penulis buku sastra dan penulis buku apapun, tidak akan mendapat royalti dan apresiasi yang memadai jika bukunya tidak laku. Dan, agar suatu buku bisa laku, baik penerbit maupun penulis, harus dapat membaca keinginan pasar. Dan, bagi dunia industri, pasar adalah segalanya.
Ahmadun (Republika, 11 Nopember 2007) juga mencatat,
…orientasi bisnis yang begitu kuat menyebabkan karya-karya sastra yang marketable seperti novel pop, teenlit, chicklit, fiksi (remaja) Islami, dan fiksi seksual mendapat porsi perhatian yang lebih besar karena memang memiliki tarikan pasar yang lebih kuat. Sehingga, jumlah buku ‘sastra idealis’ yang diterbitkan sangat terbatas dan harus melewati seleksi yang sangat ketat.
Tampak, pada 2007, buku-buku sastra semakin banyak diminati dari pada tahun-tahun sebelumnya, namun ia masih harus memenuhi “selera pasar” sehingga sastra idealis menjadi sangat terbatas penerbitannya. Jadi, penerbitan sastra memang semakin marak, namun ia juga semakin terseleksi. Dalam hal ini, penerbit buku sastra tampak mulai berkembang, tidak stagnan, justeru sebaliknya buku-buku sastra yang marketable yang sulit dicari. Satu catatan penting dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, telah berkembang pula buku-buku sastra bernafas Islam. Ahmadun (Republika, 11 Nopember 2007) menyatakan,
….Pada awalnya, fiksi Islami lahir sebagai upaya untuk membangun ruang alternatif bagi para penulis Muslim yang meyakini bahwa menulis adalah bagian dari upaya penyebaran nilai-nilai Islam, dan karena itu percaya bahwa penyebaran karya sastra adalah bagian dari upaya pencerahan nurani masyarakat.
Namun, ternyata buku-buku fiksi Islami — yang penerbitannya semula hanya ditangani oleh Annida, Forum Lingkar Pena (FLP) dan beberapa penerbit kecil seperti Asy-Syamil dan FBA Pers — memiliki tarikan pasar yang sangat kuat. Maka, penerbit-penerbit besar seperti Gramedia dan Mizan, pun lantas ramai-ramai ikut menerbitkan buku-buku fiksi Islami. Buku-buku fiksi Islami yang semula diorientasikan ‘bacaan dakwah’ lantas masuk dalam sistem industri yang berorientasi keuntungan finansial.
Jelas penerbit menengah seperti Annida, Forum Lingkar Pena (FLP), Asy-Syamil, FBA Pers, dan penerbit besar antara lain, Gramedia, Mizan, mulai meramaikan penerbitan buku sastra. Artinya, peta penerbit buku sastra mulai bergeser, walau hanya secara khusus, untuk penerbitan buku-buku Islam. Selain itu, sudah tentu, tidak tertutup sebagai penerbit buku sastra Islam, penerbit masih bisa beralih diri menjadi penerbit sastra secara umum atau sebaliknya. “Penerbit Hikmah yang dulu dikenal memproduksi buku-buku keislaman, misal, sekarang melirik novel. Dua tahun terakhir, penerbit Grup Mizan ini mengeluarkan 55 novel, termasuk Rahasia Meede. ”Kontribusi novel pada omzet kami mencapai 45 persen, menggeser buku-buku agama yang tinggal 25 persen,” kata General Manager Hikmah M Deden Ridwan. (Khoiri dan Suwarna, Kompas, 11 Januari 2009).
Jadi, dari kelompok Mizan ini tampak indikasi menggembirakan, penerbitan buku-buku sastra mulai merambah pasar. Namun, perambahan buku-buku sastra tersebut masih secara parsial, hanya untuk tema-tema yang mampu memenuhi “pasar”. Di samping itu, buku-buku sastra masih harus terus bergelut dengan penerbit-penerbit “individual”, penulis menerbitkan buku-buku mereka sendiri dengan melalui usaha-usaha “patungan” atau harus mencari sponsor, sebagaimana diungkap Adek Alwi, (Suara Karya, 17 Oktober 2009).
Selain buku-buku itu, saya percaya, tentu banyak lagi karya sastra terbit di paruh pertama 2009 dan tidak semua diterbitkan penerbit profesional. Buku-buku tadi misalnya, cuma Laki-laki Beraroma Rempah-rempah, Antologi 20 Penyair, dan Smokol yang terbit lewat penerbit benaran. Lainnya diterbitkan sendiri oleh para sastrawan, dibiaya sendiri atau patungan ramai-ramai, ataupun didanai sponsor tak mengikat.
Jadi, penerbitan sastra yang “semarak” tidak berarti menunjukkan dunia usaha penerbitan juga “marak” dengan keuntungan. Masih banyak karya-karya sastra yang muncul dan terbit di luar penerbit. Selain itu, sastra-sastra “daerah” atau sastra-sastra “lokal” juga berjalan dengan perjuangan sendiri dengan penerbitannya sendiri. Sebagai mana diungkapkan Udo Z. Karzi, editor pada BE Press, (Udo Z. Karzi, Lampung Post Minggu, 14 Desember 2008).
Secara khusus, saya hendak menyinggung sedikit tentang sebuah tradisi baru. Setelah Hadiah Sastera Rancage 2008 diberikan sastra Lampung, tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra empat bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sasta Lampung minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. Ini serius.
Dalam sebuah wawancara (The Jakarta Post, 11 Februari 2008), saya mengatakan kondisi ini sebagai kabar gembira untuk sastra dan sastrawan Lampung sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku sastra Lampung jelas tak untung. Karena itu, pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung!
Ternyata, secara sektoral, dalam menerbitkan karya sastra lokal, penerbitan bukunya pun jelas tidak menguntungkan. Kenyataan ini jelas sejalan dengan kondisi penerbitan buku sastra secara nasional. Boleh disebut, situasi dan kondisi penerbitan buku sastra secara nasional sebenarnya adalah cerminan dari situasi dan kondisi penerbitan buku sastra secara loka tersebut. Dengan demikian, lagi-lagi penerbitan secara mandiri menjadi alternatif dalam menerbitkan buku-buku sastra.
5. Faktor yang Mempengaruhi Penerbitan Buku Sastra
Ada banyak faktor yang menyebabkan penerbit sulit menerbitkan buku-buku sastra. Manajer Urusan Pameran Kanisius E. Poerwadi mensinyalir, rendahnya minat membaca buku sastra di kalangan pelajar-mahasiswa, berangkat dari kelemahan muatan kurikulum di sekolah dasar (SD) era tahun 1970-an sampai sekarang. Anak-anak sekarang cuma diajari bahasa Indonesia dengan penekanan utama pada aspek gramatikal. Guru cenderung mengajarkan kata imbuhan, kata depan, tanpa berupaya mengajarkan anak-anak merangkai kata menjadi untaian kalimat sastra. (Kompas.com, 10 November 2009).
Hal senanda dikemukakan Jamal D. Rahman. Kedudukan sastra dalam masyarakat kita, katanya, mengandung dua persoalan. Persoalan pertama menyangkut pandangan, apresiasi masyarakat kita terhadap sastra sangat rendah. Persoalan kedua menyangkut fungsi pragmatis sastra bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Dua persoalan tersebut saling berhubungan satu sama lain sebagai lingkaran setan. Andaikan apresiasi masyarakat kita terhadap sastra sangat rendah, maka mereka tak akan menemukan fungsi-fungsi pragmatis sastra. Sebaliknya, karena masyarakat kita tak merasakan adanya fungsi-fungsi pragmatis sastra, maka mereka cenderung menjauhi atau menjauhkan sastra dari kehidupan mereka sehari-hari. (Jamal D. Rahman, Koran Tempo, 12 January 2002).
Satmoko Budi Santoso (Majalah Matabaca, 04 Mei 2009), juga mengatakan, ada dua hal yang mempengaruhi rendahnya penerbitan buku-buku sastra di Indonesia, yaitu tidak “marketable” dan ketidakjelasan visi estetika kebahasaan buku-buku tersebut. Ia menjelaskan, untuk yang pertama, buku-buku karya sastra selalu bernilai mengasingkan “diri mereka sendiri”, tidak marketable. Dari judulnya saja, kerap buku sastra sudah memuat idealisme berlebih, judul-judul metaforis, yang menjemukan publik awam.
Untuk persoalan kedua, perihal identitas visi estetik kebahasaan, perlu dikritisi karena biasa menyangkut selera publik yang “kejam”: kalau berbau keterpengaruhan — meski hanya teknik bercerita atau gaya bahasa — dengan sendirinya publik sastra atau publik awam akan lari, tidak jadi mengoleksi buku dimaksud. Untuk soal ini pula, jika eksistensi kritikus sastra Indonesia tidak bisa diharap karena lama tertidur, sebaiknya ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya operasi intertekstualitas. Salah satu jalan yang paling mungkin, lewat tangan redaktur maupun editor buku yang sudi menggelembungkan isu polemik atas dasar telaah teori atau pisau analisis tertentu.
Dari uraian-uraian tersebut, tampak ada lima faktor yang mempengaruhi penerbitan buku-buku sastra.
- Muatan kurikulum Bahasa Indonesia di sekolah dasar, jika muatan kurikulum Bahasa Indonesia lemah maka kemampuan dan apresiasi siswa terhadap sastra akan lemah.
- Apresiasi masyarakat terhadap sastra, jika apresiasi masyarakat terhadap sastra rendah maka fungsi-fungsi pragmatis sastra di masyarakat juga akan rendah.
- Fungsi-fungsi pragmatis sastra di masyarakat, jika fungsi-fungsi pragmatis sastra di masyarakat rendah maka apresiasi masyarakat terhadap sastra juga akan rendah.
- Marketable, jika buku-buku sastra memiliki daya jual, maka penerbitan buku sastra akan meningkat.
- Identitas visi estetik kebahasaan, jika identitas visi estetik kebahasaan buku sastra tidak diperharikan, daya jual buku sastra menurun. (Bersambung)