Dengan mengeluarkan delapan solusi yang dikemukakan dalam jumpa pers pukul 22.30 malam, di Cikeas, Jawa Barat (8/2/2013), Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengambil langkah pemulihan kondisi internal partai. Hal yang beberapa kali ditegaskan, SBY mempersilakan semua kader dan pengurus yang tak sepakat dengan solusi tersebut untuk keluar dari partai. Untuk itu, instrumen strategik yang dipakai ialah kesediaan menandatangani pakta tentang integritas.
Saya tertarik untuk mengritisi beberapa pokok. Pertama, solusi delapan, di mana diargumentasikan bahwa Partai Demokrat akan melupakan agenda Pemilu 2014 dan memprioritaskan pembenahan internal partai. Nampaknya solusi ini mengusung argumen dengan premis mayor bahwa “seharusnya semua partai yang menjadi peserta Pemilu 2014 adalah partai yang menjunjung tinggi nilai integritas, prinsip ketepatan antara orang dan tempat/jabatan, dan prasyarat bersih dari tindak korupsi”. Implikasinya, jika pada saatnya nanti Partai Demokrat pada akhirnya akan menjadi peserta Pemilu, niscaya premis logikanya ialah turunan dari premis mayor tersebut, terutama jika premis minornya ialah fakta bahwa partai lain yang tidak memenuhi premis mayor tersebut pun ikut pemilu. Artinya, solusi ini memuat kesesatan logika yang disebut “ignoratio elenchi”, yakni bahwa dua kesalahan akan membangun suatu kebenaran (“two wrongs can create a right”).
Kedua, isi pidato juga dilandaskan pada argumentasi bahwa dengan menolak praktik perilaku yang merendahkan prinsip integritas, ketepatan antara orang dan tempat/jabatan, dan bersih dari korupsi, maka seolah pencetus argumentasi sedang meyakinkan bahwa semua kader Partai Demokrat tidak bahkan tak akan pernah melakukan praktik tersebut sembari secara tersirat menuduh bahwa pihak lainlah yang melakukan praktik perilaku yang dimaksud. Argumen ini mengandung kesesatan logika “argumentum ad huminem”, di mana pencetus argumen mencoba untuk melawan klaim atau kesimpulan pihak lain sekaligus menyerang pihak lain. Justru tidak membahas argumen mengapa praktik perilaku yang merendahkan prinsip integritas, ketepatan antara orang dan tempat/jabatan, dan bersih dari korupsi itu harus ditolak.
Ketiga, isi pidato mengandung generalisasi yang berlebihan. Apakah instrumentalisasi dalam bentuk penandatangan pakta tentang integritas merepresentasikan sebuah langkah besar? Apakah substansi dari tindakan administratif seperti ini baru disadari setelah Partai Demokrat menghadapi hujan cemooh yang diindikasikan dengan penurunan elektabilitas? Argumen ini mengandaikan bahwa jika satu langkah kecil diambil dalam arah tertentu, seolah dapat dipastikan bahwa langkah tersebut mengarah ke hasil yang lebih ekstrim. Dalam analogi yang sama, apakah dengan menunjukkan Surat Berkelakuan Baik maka kebaikan seseorang dapat dijaminkan? Silahkan Anda mencoba menjawab pertanyaan ini.
Jadi, disamping mengandung argumen “The Slippery Slope”, yang mengandaikan bahwa dengan satu langkah kecil dapat dipastikan perolehan hasil yang lebih ekstrim, instrumentalisasi dalam bentuk penandatanganan pakta tentang integritas tersebut juga mengandung “Argumentum Post-hoc Ergo Propter Hoc”, di mana diasumsikan tentang adanya kaitan sebab dan akibat antara dua peristiwa hanya karena keduanya secara temporal terkait. Seolah solusi pertama, yakni penandatangan pakta tentang integritas, akan berakibat bahwa Partai Demokrat akan terisi dengan kader-kader yang berintegritas tinggi.
Tidaklah gegabah bahwa melalui tinjauan kritis ini saya mempertanyakan, sejauh mana delapan butir yang diklaim sebagai solusi ini memang solusi dan bukan argumentasi untuk bertahan terhadap gempuran opini terhadap Partai Demokrat?