Oleh: Mohammad Fauzy
PERLAKUAN masyarakat terhadap penampilan tubuh perempuan di hadapan massa agaknya telah menggunakan standar ganda. April silam, ketika Indira Sudiro hendak mengikuti pemilihan Miss Universe 1993 di Mexico City, masyarakat mengecamnya. Tapi, 23 Juni lalu, ketika sekitar 35 gadis remaja melenggak-lenggok dalam Indonesian Finalist Supermodel of the World 1993, sejumlah masyarakat malah menikmatinya. Padahal, dengan hanya mengenakan swimsuit, dalam sorot pandangan massa di Jakarta Hilton Convention Center malam itu, lekak-lekuk tubuh mereka tidak jauh lebih sensual daripada 80 kontestan yang mengikuti pemilihan Miss Universe.
Mungkin, karena fenomena yang kontroversial itu, ketika dicari wartawan, Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi yang sempat hadir, sempat pula melenyapkan diri dari ruangan. Maka, tubuh perempuan kembali dieksploitasi atas nama promosi budaya, pariwisata, persahabatan antar negara dan puluhan argument lain yang tujuannya hanya satu: melanggengkan sebuah budaya yang telah semakin tua, budaya lelaki.
Dari masa ke masa, tanpa henti, orang tua, guru, media massa, dan seluruh institusi masyarakat telah menanamkan mitos bahwa kecatikan selalu identik dengan kebaikan. Mereka memperkenalkan, khusus kepada kaum muda, tokoh-tokoh berwatak baik selalu memiliki fisik yang menarik: tampan, cantik, langsing dan tidak terlalu kurus. Sedang tokoh berwatak jahat selalu memiliki fisik jelek: wajah buruk, tubuh pendek-gemuk atau berkepala botak.
Sosialisasi nilai-nilai mitos semacam ini menguasai bawah sadar umat manusia yang kemudian menentukan persepsi dan perilaku mereka. Celakanya, nilai-nilai itu ternyata sungguh merasuk ke dalam setiap detak kehidupan masyarakat. Kleinke (1986), seorang psikolog, telah merasume puluhan penelitian. Ia menyimpulkan, orang-orang yang berfisik menarik memang sering dinilai lebih menyenangkan: lebih ramah, kompeten, luwes, menyakinkan, dan lebih humoris.
Karena itu, orang yang berfisik menarik kerap mendapat nilai tambah dalam menggulati kehidupan. Studi Cash, Gilen, dan Burn (1977) mengenai perilaku sejumlah konsultan tenaga kerja terhadap para pelamar memperlihatkan, mereka lebih merekomendasi pelamar yang berfisik menarik yang dinilai lebih berkualitas dan berpotensi dari pada pelamar yang tidak menarik. Pearson (1985) juga menunjukkan, para guru sering mendiskreditkan anak-anak yang tidak menarik. Anak-anak yang menarik dinilai lebih intelek, memiliki sifat menyenangkan, dan orang tua mereka lebih memperhatikan pendidikan mereka.
Bagi perempuan, persoalan ini tentu sangat penting. Fisik yang menarik, paling tidak, sering menentukan pasangan hidup. Di mata lelaki, perempuan cantik dinilai lebih hangat, menyenangkan, lembut, bersahabat, dan penuh perhatian. Apalagi, menurut Meiners dan Sheposh (1977), lelaki lebih menjadikan fisik sebagai ukuran dalam memilih pasangan hidup daripada perempuan memberlakukannya. Lelaki lebih merasa ditekan masyarakat untuk menikahi perempuan cantik daripada perempuan merasa ditekan untuk menikahi lelaki tampan. Malah, lelaki lebih dinilai positif bila menikahi perempuan cantik daripada menikahi seorang perempuan intelek.
Maka, perempuan selalu merasa dituntut untuk cantik dan menarik. Mereka didera harapan dan perlakuan masyarakat, khususnya lelaki. Kompetisi pun dilangsungkan dan berlangsung terus dari desa ke kota, dari kota ke peringkat nasional sampai akhirnya harus dipertandingkan ke peringkat dunia. Mitosnya, siapa yang tercantik, dialah yang terbaik.
Perbedaan Tubuh
Mitos bagaimanapun tetap mitos. Keberadaannya selalu dapat dipertanyakan. Kecantikan tidak selalu berarti kebaikan. Karena kebaikan seseorang tidak hanya dinilai dari kecantikan fisik. Tapi, meski perempuan mengetahui dan memahami hukum ini, mereka tampak sulit melepaskan diri dari dorongan untuk selalu menarik.
Ketika usia semakin senja, ketika keriput menggurat di wajah, dan di saat lemak mulai menyempal di setiap lipatan tubuh, sebagian besar perempuan sering dilanda kecemasan. Mereka berusaha ‘mengawetkan’ tubuh dengan segala cara. Modal perlu diselamatkan. Karena tubuh masih dianggap satu-satunya senjata untuk menghadapi keberhasilan dan prestasi lelaki di segala bidang kehidupan.
Anggapan itu, prinsipnya, bermula dari kenyataan mengenai tubuh perempuan yang memang berbeda dengan tubuh lelaki. Sejak bayi, bahkan sejak dalam kandungan, genital perempuan telah berkembang ke dalam dan milik lelaki menonjol ke luar.
Perbedaan pada bagian lain, semasa bayi sampai kanak-kanak, memang belum tampak. Perbedaan mulai menyolok ketika menapaki masa remaja. Tubuh lelaki menjadi lebih besar, otot lebih kuat, kulit tebal, bentuk dada dan bokong mereka lebih datar. Pada perempuan, lapisan lemak di bawah kulit mulai menebal, membedakan perkembangan kerangka tubuh dan otot mereka dengan tubuh dan otot lelaki. Maka tubuh perempuan menjadi lebih kecil dan lembut. Dada dan bokong mereka lebih montok daripada dada dan bokong lelaki.
Perbedaan-perbedaan karakteristik itu membawa konsekuensi sosial pada perempuan yang ternyata lebih merugikan mereka, sebaliknya menguntungkan lelaki. Pertama, karena tubuh lelaki lebih besar dan kuat, mereka dimitoskan mampu bekerja keras. Maka lelaki mendominasi pekerjaan ‘berat’, pekerjaan ‘ringan’ dirancang untuk perempuan.
Pembagian kerja secara biologis ini telah dideskripsikan para sosiolog. Peran ekspresif-pengasuhan anak, kebutuhan emosional, dan keharmonisan keluarga secara tradisional berhubungan dengan perempuan. Peran instrumental membangun, memburu, dan menggunakan senjata berhubungan dengan lelaki. Sebab itu lelaki mendominasi pekerjaan di luar rumah yang lebih mendatangkan uang daripada pekerjaan perempuan yang hanya mendatangkan pengabdian. Akibatnya perempuan tergantung secara ekonomis pada lelaki.
Kedua, karena ukuran lelaki lebih besar, metabolisme mereka lebih tinggi. Aktivitas mereka menjadi lebih besar dan membutuhkan makanan yang lebih berenergi. Maka, lelaki dimitoskan lebih memiliki dorongan bekerja dan berprestasi. Hanya mereka yang pantas jadi pemimpin. Akibatnya status sosial perempuan selalu lebih rendah dan sangat tergantung pada keputusan lelaki. Kalaupun mereka berintelegensi tinggi, intelegensi mereka tetap dianggap tidak setinggi lelaki.
Dua konsekuensi sosial berdasarkan pada mitos mengenai perbedaan tubuh perempuan dengan tubuh lelaki itu mengakibatkan perempuan sangat tergantung pada lelaki dalam hal ekonomi dan status sosial. Untuk menghadapi hal ini, perempuan didorong mencari dan menggunakan cara yang jitu. Karena kecil dan lemah, mereka tidak mampu menandingi lelaki secara fisik. Maka kewanitaan menjadi alat terakhir untuk mencapai tujuan.
Inilah satu-satunya modal yang tidak tergantung pada lelaki, hanya ada pada diri sendiri: tubuh dan seluruh bagian mereka. Sebab itu perempuan mengeksploitasi perawatan dan perekayasaan fisik. Senam dijalani, jamu diseduh, payudara dioperasi, bahu diganjal busa, aurat ditonjolkan dan sebagainya. Semua untuk menaklukan lelaki yang tidak terkalahkan dalam status sosial dan ekonomi. Akibat paling ekstrem, sebagian perempuan terlempar ke dunia prostitusi. Karena mereka juga dapat berhubungan tanpa nafsu. Sedangkan yang beruntung lolos seleksi, dipilih menjadi Miss ini, Miss itu karena tubuh mereka memenuhi standar juri.
Pelecehan
Mitos kecantikan dan mitos-mitos tentang tubuh perempuan dan lelaki telah menjadi dasar yang selalu mendorong masyarakat untuk memperlakukan tubuh mereka secara berbeda. Perempuan, entah sampai kapan, selalu akan dikejar dan dikejar untuk mempercantik tubuh dan mempertandingkannya.
Karena itu, sudah saatnya para orang tua, guru, media massa, dan seluruh institusi masyarakat, khususnya perempuan, menanamkan nilai-nilai untuk melenyapkan mitos-mitos yang keliru. Kecantikan tidak selalu kebaikan. Nilai manusia, apa pun genitalnya, tidak ditentukan oleh penampilan fisik, tapi oleh kemampuan intelek.
Perbedaan tubuh lelaki dengan tubuh perempuan sama sekali tidak berhubungan dengan penyelesaian pekerjaan yang berat atau ringan atau dorongan bekerja dan berprestasi. Semua ditentukan oleh kemampuan intelek. Walau kecil dan lemah, perempuan juga dapat bekerja di luar rumah. Mereka juga mampu meraih prestasi.
Pemilihan Indonesian Finalist Supermodel of the World 1993 berlangsung Juni lalu. Sekitar 35 perempuan telah mempertontonkan bagian-bagian tubuh terbaik mereka. Agustus mendatang, sang pemenang akan dikirim mengikuti pemilihan supermodel peringkat dunia di Orlando Florida, Amerika Serikat. Mudah-mudahan semua belum lupa, mengeksploitasi aurat secara berlebihan tidak akan pernah menjadikan perempuan sebagai sumber daya yang handal, kecuali hanya mempertahankan sebuah budaya yang selama berabad-abad telah mendatangkan petaka: pelecehan terhadap sesama manusia.
Note: Tulisan ini telah dimuat di Mingguan Mutiara, Minggu III-JULI 1993
1 comment for “Supermodel, Sebuah Mitos”