Kawan, saya dapat saja menipu Anda tanpa sadar dengan berpendapat bahwa pemahaman tertentu harus Anda terima hanya karena populer, banyak dipercaya orang. Saya dapat saja berdalih bahwa pemahaman tertentu layak saya angkat karena sudah menjadi pengetahuan umum yang tidak memerlukan lagi counterevidence sehingga secara rasional harus Anda terima. Pendek kata, akhirnya Anda menerimanya tanpa counterevidence. Dan, jika demikian, apakah saya lantas harus memberikan pembenaran bahwa saya sudah menyampaikan kebenaran kepada Anda?
Mana yang lebih benar, mempertahankan pemahaman yang tidak dibenarkan karena tidak populer, tetapi benar sebagai pengetahuan umum atau mempertahankan pemahaman yang tidak dibenarkan menurut pengetahuan umum, tetapi dibenarkan karena populer? Jika kedua pilihan itu harus diputuskan, lebih baik Anda tidak menerima pernyataan hanya karena populer dan mau menerima pernyataan asal pernyataan itu masih merupakan bagian dari, atau sahih, menurut pengetahuan umum. Mengapa demikian?
Jika suatu pernyataan membatasi kemunculan counterevidence dengan tujuan untuk membangkitkan emosi dan antusiasme banyak orang dan bukan untuk memicu kemunculan fakta banding yang relevan, mata kita harus lebih kita bebalakkan untuk melihat bahwa ada banyak cara untuk membangkitkan emosi dan antusiasme dari orang banyak selain menyatakan bahwa ada BANYAK, SEBAGIAN, atau SEMUA orang menerima suatu klaim.
Mari kita simak kutipan komentar pakar terhadap tindakan Ahmad Imam Al Hafitd (AH) dan Assyifa Ramadhani (AR) yang dikaitkan dengan terbunuhnya Ade Sara, “Kemungkinan besar kecerdasan emosionalnya rendah. Kalau mereka berpendidikan belum tentu kecerdasan emosionalnya bagus, tidak sebanding dengan kecerdasan akademiknya. Kecerdasan kognitif tidak sebanding dengan kecerdasan emosional,” jelas Ratih Zulhaqqi, M.Psi., psikolog anak dan remaja, saat dihubungi detikHealth pada Jumat (7/3/2014).
Jika Anda kebetulan gagal sekolah/kuliah, olahan kognitif semacam apa yang dapat muncul ketika seorang pakar meyakinkan Anda dengan pernyataan tersebut? Sejauh mana Anda tidak kemudian berdalih, “masih untung aku yang gagal di akademik sehingga tidak terlibat dalam tindak yang dikaitkan dengan pembunuhan”? Juga sejauh mana Anda terbebas dari prasangka bahwa AH dan AR adalah sosok cerdas akademik yang tidak dapat menghindar dari tuduhan kepelakuan sebagai pembuhuh Ade Sara?
Pakar yang sama juga berpendapat kemungkinan pelaku memiliki moral judgment yang buruk, sehingga bisa melakukan tindakan yang keji seperti itu: “Karena keputusan untuk merampas hak hidup orang lain merupakan keputusan yang besar, sehingga dengan moral judgment yang buruk pelaku bisa dengan mudahnya melakukan hal tersebut.” Dalam kasus ini, ia melihat bahwa pelaku dikuasai emosi saat melakukan perbuatan tersebut.
Kebetulan saya punya karya skripsi, “Hubungan antara Taraf Moral Judgement dan Tingkat Intensi Perilaku Prososial”, yang mengeksplor pandangan teoritik Lawarance Kohlberg, si dedongkot teori tentang moral judgement; dan saya menguasai Kohlberg’s Manual of Moral Judgement Measurement yang setebal 625 halaman itu. Di sana, terutama dari dari tulisan Betty A. Sichel, “The Relation Between Moral Judgement and Moral Behaviour in Kohlberg’s Theory of the Development of Moral Judgements”, tidak ada paralelism antara moral judgement dan moral behavior. Tidak ada jaminan bahwa seorang yang memiliki taraf moral judgement tinggi juga seorang yang berperilaku moral positif/baik.
Hal senada disampaikan psikolog Dr Rose Mini M.Psi. Ia juga berpendapat bahwa orang yang berpendidikan belum tentu memiliki kontrol diri yang baik, “[Kebanyakan] Orang berpendidikan belum tentu kontrol dirinya bagus. Kalau masih anak-anak kan pengalaman hidupnya masih kecil, jadi kalau ada masalah dia tidak tahu bahwa ada jalan keluar lain yang lebih baik. Nah, yang jadi korban ini tidak punya daya, lemah, makanya bisa disakiti,”
Dengan pernyataan itu, sejauh mana Anda mampu menghindar dari mekanisme penarikan konklusi silogistik bahwa faktor pada diri korban yang tak berdaya dan lemah, Ade Sara, menjadi pemicu bagi AH dan AR, yang masih anak-anak dengan pengalaman hidup yang masih kecil dan tidak tahu bahwa ada jalan keluar lain yang lebih baik ketika ada masalah, untuk melakukan tindakan itu?
Jika saya dan Anda hanya memiliki naluri kawanan itik, saya tidak yakin bahwa untuk membangkitkan emosi dan antusiasme dari orang banyak kita harus menyatakan bahwa ada BANYAK, SEBAGIAN, atau SEMUA orang; meski sebagai data “keadaan” itu adalah data yang populer. Emosi kemarahan, kebencian, atau kebanggan mungkin cukup persuasif untuk meraup persetujuan, tetapi apakah harus dikokang dengan logika tentang BANYAK, BESAR, ATAU SEMUA dari “orang yang berpendidikan tidak cerdas emosi”, semata agar orang memeluk keyakinan dengan pola logika ini?
Kita perlu sadar sesadar-sadar mungkin, implikasi dari daya tarik popularitas yang dimanfaatkan untuk meyakinkan tidak sederhana. Popularitas bukan sekadar tanda, tetapi memaksakan kebenaran yang harus diyakini justru karena aspek popularitasnya.
Terkait dengan berbagai komentar para pakar yang terkesan disonan bahkan “diskordian” satu sama lain, yang perlu saya dan Anda kritisi ialah bahwa pernyataan yang mereka sampaikan menunjukkan pengetahuan umum yang merupakan hasil dari “pengalaman hidup” mereka sebagai pembuat pernyataan. Ketika suatu pernyataan akhirnya diterima karena mengandung pengetahuan umum, sidang pembaca/penanggapnya harus menyadari bahwa pernyataan tersebut berstatus sebagai pengetahuan umum semata karena kadar kandungan pengalaman dari pembuat pernyataan yang berhadapan dengan situasinya secara dialektis.
Kesalahan logis dari pemanfaatan popularitas terletak pada penggelembungan nilai popularitas sebagai bukti. Pengandalan pada pengetahuan umum sebagai landasan kebenaran untuk meyakinkan masih lebih mending dibanding kebenaran populer, sebab keyakinan berbasis pengetahuan umum masih rentan terhadap perubahan sosio-historik antarwaktu. Bahkan seorang pakar dapat memberikan argumentasi dengan mempertentangkan antar-pengetahuan umum sebagai upaya menemukan pemahaman yang lebih jernih dan dialektis tentang situasi atau kasus yang sedang dihadapi atau diulas. Setidaknya, pengetahuan umum yang menjadi tumpuan analisis masih dapat dicabar dengan pengetahuan umum lain yang “sudah tidak umum”. Sementara, keyakinan yang ditopang oleh popularitas mau tak mau harus diterima justru karena memang populer.
Terima kasih Anda mau meluangkan waktu membaca tulisan panjang ini. Demi kebernalaran!
Edy Suhardono seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Assessment, Consultancy, and Research Centre.
Rujukan: detik.com