KEKUATAN DI BALIK KELEMAHAN

“Om Edy, saya mau katakan hal yang bagi saya sangat penting. Saya tak peduli, apakah kebanyakan orang akan menganggapnya penting. Tapi bagi saya, bahwa saya tiba sekarang di kantor Om dan saya benar-benar berhadapan dan berbicara dengan om tentang kesulitan saya, adalah hal yang di luar kebiasaan saya,” tutur Kirana seolah berbisik.

“Bagaimana bisa begitu, Kirana?” tanyaku.

“Yah, begitulah, dan itulah saya, Om. Orang rumah, bahkan guru-guru saya sejak di Taman Kanak-kanak, hingga sebulan lalu saya menyelesaikan penulisan skripsi saya di Fakultas Psikologi Universitas AEX, semuanya mengatakan bahwa saya seorang pemalu berat selain pencemas berat. Dan, bagi seorang pemalu dan pencemas seperti saya hampir tak mungkin untuk berkonsultasi dengan pihak lain tentang kelemahannya,” tegas sarjana psikologi fresh-graduated ini menjelaskan.

“Saya sangat setuju, momen ini luar biasa buatmu. Tetapi, keluarbiasaannya bukan pada keberanian seorang Kirana yang biasa melabel diri atau mengadopsi label orang lain tentang sosok Kirana sebagai pencemas dan pemalu untuk datang di tempat ini. Bagi saya, keluarbiasaannya terletak pada keputusanmu menghentikan pertarungan antara kekuatan dalam diri seorang Kirana melawan apa yang dianggap sebagai “konvensi standar”. Justru keputusan inilah kekuatan Kirana yang sebenarnya, di mana Kirana berhasil mengkritisi kesia-siaan menghadapi konvensi standar dan menemukan kekuatan di balik kelemahan yang Kirana anggapkan selama ini,” ungkapku.

“Wouw, kayaknya Om Edy sedang berusahaa menyenangkan saya saja. Btw, saya tertarik pada ungkapan Om tadi. Apa bisa Om jelaskan apa yang Om maksud dengan ‘mengkritisi kesia-siaan menghadapi konvensi standar dan menemukan kekuatan di balik kelemahanku?” ia nampak penasaran.

“Intinya, Kirana, kekuatan yang perlu kau tumbuhkan terus adalah bagaimana kau memanfaatkan atribusi, cap, atau label yang terlanjur hidup dalam benakmu dan dalam benak orang-orang di sekitarmu,” lanjutku.

“Menarik sekali! Bagaimana caranya, Om. Jelaskan, dong,” ia makin penasaran.

“Kepemaluan seseorang sebenarnya bukan sebuah paparan sifat yang tunggal, tetapi terdiri dari beberapa fitur. Pertama, si pemalu terlalu gamang, baik dalam berpikir maupun melangkah. Kedua, terlalu lemah-lembut, terutama ketika menunjukkan gerak-gerik tubuh. Ketiga, si pemalu berpembawaan tenang tak bergeming di hampir setiap menghadapi apa pun kejadiannya. Keempat, pemalu terbiasa mengungkapkan diri sedemikian rupa sehingga mudah dikesankah sebagai rentan dan ringkih terhadap serangan pihak lain. Kelima, pemalu bersikap sebagai si penurut, si polos, dan pihak tak tahu apa-apa. Keenam, pemalu mudah dikesankan sebagai si pendiam, tidak mudah membocorkan keterangan, sehingga cenderung dikesankan sebagai pribadi yang dapat menyimpan rahasia. Dan ketujuh, pemalu mudah dikesankan sebagai sosok yang konsisten dalam ketetapannya bahkan ia tidak berubah sejak masa kanak-kanak mereka,” lanjutku.

“Sebentar, saya sela, Om. Gambaran Om persis 99 persen dengan yang saya alami. Kok, Om bisa tahu? Terus bagaimana Om cara membalik atribusi yang seperti itu menjadi kekuatan yang sama sekali baru?” ia makin tertarik.

“Taruhkan, misal, apa yang dapat terjadi pada pikiran orang-orang di sekitarmu ketika mereka tiba-tiba menyaksikan seorang Kirana yang membuat keputusan cepat dan reaksioner? Apakah ini bukan peluang dan kekuatanmu yang dapat kau mainkan sekaligus? Jika kelemahlembutanmu selama ini bagi mereka menjadi alasan mendekatimu untuk, kalau bisa, memperdayamu; apa yang dapat terjadi manakala mereka tiba-tiba menyaksikan seorang Kirana yang tegas dan secara blak-blakan menolak keinginan mereka? Penampilanmu yang rentan selama ini sangat mungkin memancing orang untuk memanfaatkanmu dan ini dapat terjadi ketika kau berada di lingkungan kerja yang menjunjung tinggi nilai persaingan yang sangat agresif. Apakah bukan justru di lingkungan seperti ini kau mendapatkan peran dan pengaruhmu melalui sikapmu yang mengayomi, memberikan konseling atau terapi; sehingga kau diperhitungkan sebagai detektor sosial-personal bagi lingkungan kerjamu?”

“Okey, okey, Om. Saya merasa sangat jelas dengan contoh-contoh yang Om Edy berikan. Lebih dari yang aku pahami dari pernyataan Om Edy bahwa “alih-alih memikirkan hanya apa yang salah dan kurang, lebih baik berfokus pada apa yang harus dilakukan selanjutnya berdasarkan kelebihan dan kebenaran yang diyakini sehingga dari situ menemukan jawabannya”, saya mendapat pencerahan bahwa kekuatan sesungguhnya muncul ketika ada kesadaran bukan saja atas kekuatan dan kelemahan selama ini, tetapi juga ketika ada langkah nyata untuk mengubah atribusi dari kekuatan dan kelemahan itu sebagai kekuatan baru. Paham, Om. Terima kasih!”

***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre [http://visiwaskita.com/].

2 comments for “KEKUATAN DI BALIK KELEMAHAN

Comments are closed.