“Sebenarnya saya enggan menceritakan keanehan yang sudah membiasa ini. Sesuatu yang aneh,…tetapi akhirnya kami pertahankan sebagai sebuah kebiasaan…yang membuat kami sulit beralih ke penyikapan lain, kecuali menjalankan kebiasaan itu,” Pak Robert memulai percakapan dengan tutur kata yang agak tersendat, bahkan beberapa kali diselingi dengan helaan nafas panjang.
“Maaf, Pak Robert, bisakah Bapak lebih mencairkan pernyataan Bapak barusan? Bagi saya, sebagai orang yang baru pertama kali mendengarkan, terasa sangat padat dan pekat?” tanggapku mencoba mengklarifikasi.“Sayalah yang seharusnya meminta maaf karena tanpa “ba-bi-bu” lantas menaruh beban berat di pundak saya ke pundak Pak Edy. Keanehan yang saya maksud adalah fakta bahwa setiap kali saya cekcok dengan isteri saya, ia gampang menyindir saya dengan perkataan “SELALU”. Entah dengan mengatakan “kau SELALU berkilah”, “kau SELALU berdalih”, “kau SELALU tak mau mengakui kalah” atau “kau SELALU bla bla bla” yang lain. Titik anehnya, Pak Edy, ketika menangkis sindiran-sindirannya pun, saya SELALU melontarkan kata yang paling membuatnya diam seribu bahasa, sehingga kami bisa lantas saling mendiamkan berhari-hari. Begitu saya bilang, ‘Robert, suamimu ini, MEMANG dan HANYA seperti itu; maafkan jika kau harus menyesal telah menikahi lelaki seperti ini,’” jelasnya sambil beberapa kali melepas kacamata, membawanya ke depan wajah dengan tangan kiri, sembari menggosok-gosok kelopak mata dengan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.
“Menarik sekali paparan dan penilaian Pak Robert atas paparan Bapak tadi, terutama keyakinan Bapak bahwa bapak MEMANG dan HANYA seperti ini. Tentu masih bisa berubah, bukan? Lantas, ‘kebiasaan’ yang Pak Robert maksud?” tanyaku memastikan.
“Nah, itulah alasan saya mengapa saya harus menjadualkan berkonsultasi dengan Pak Edy. Bagi saya keanehan yang sangat mengganggu nalar saya adalah pengulangan pola –saya sebut saja ‘kebiasaan’—yang tak lain dan tak bukan adalah perilaku kami yang menjadikan keanehan itu justru menjadi kebiasaan. Rentetan kejadian, mulai dari bercekcok, melakukan pelabelan satu sama lain, menegaskan persetujuan atas pelabelan oleh yang lain, dan saling mendiamkan; keseluruhannya adalah keanehan, tetapi akhirnya menjadi satu paket yang berulang. Jadi, dengan ini saya ingin dicerahkan, kenapa, di satu sisi, saya melihat keanehan atas keanehan yang akhirnya menjadi kebiasaan; tetapi, di sisi lain, saya tidak dapat keluar dari lingkaran setan keanehan tersebut,” tutur Pak Robert agak terengah-engah, seolah baru saja mendaki bukit yang menanjak tajam.
“Baik, Pak Robert. Kita secara alami dan secara teratur cenderung menggunakan keyakinan kita sebagai asumsi dan membuat kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan asumsi-asumsi itu. Pasangan antara asumsi dan kesimpulan meresapi hidup kita justru karena kita tidak dapat bertindak tanpa keduanya. Kita sering membuat penilaian, menafsirkan bentuk, dan menarik kesimpulan berdasarkan pada keyakinan yang membangun asumsi kita,” begitu aku memberikan pandangan umum.
“Tanpa terkecuali, ketika kita mendengar seseorang membanting pintu, kita menyimpulkan bahwa seseorang tiba di rumah; dan ketika melihat wajahnya cemberut, kita menyimpulkan bahwa orang tersebut marah. Kita mendengarkan apa yang dikatakan orang dan membuat serangkaian kesimpulan tentang apa yang ia maksud. Namun, bagian terpenting dari mekanisme itu terletak pada seni menciptakan apa yang ada dalam pikiran bawah sadar kita ke tingkat realisasi sadar. Termasuk di sini adalah pengakuan bahwa pengalaman kita dibentuk oleh kesimpulan yang kita buat selama kita sedang mengalami. Dengan demikian, kita perlu memisahkan pengalaman kita ke dalam dua kategori: data mentah dari pengalaman dan interpretasi kita atas data tersebut. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa kesimpulan yang kita buat sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dan asumsi yang telah kita buat tentang orang-orang dan situasi. ….Baik, Pak Robert, apa yang saya sampaikan terasa terlalu bernuansa akademik buat Pak Robert?” aku mencoba memastikan, apakah Pak Robert menangkap relevansi uraianku dengan solusi yang ia harapkan.
“Tidak, Pak Edy. Uraian Bapak sangat relevan. Teruskan saja. Saya sangat tertarik pada uraian Bapak bahwa kesimpulan yang kita buat sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dan asumsi tentang orang-orang dan situasi. Menurut Pak Edy, apa yang membuat isteri saya mudah memasangkan kata ‘selalu’ dengan kesimpulan dan asumsi yang ia buat tentang saya?” tanya Pak Robert menginginkan jawaban yang lebih konkrit.
“Baik, Pak Robert. Sebagai manusia, kita terus membuat asumsi tentang diri kita, pekerjaan kita, pasangan kita, teman-teman sekantor kita, anak-anak kita, dunia pada umumnya. Kita cenderung mengasumsikan beberapa hal secara terbatas karena kita tidak bisa mempertanyakan segala sesuatu. Kadang-kadang kita salah berasumsi. Sebagai contoh, Pak Robert bergegas ke toko (dengan asumsi bahwa memiliki cukup uang di dompet) dan setelah tiba di sana ternyata menemukan bahwa dompet Bapak kosong, uang tertinggal di rumah. Manusia membuat ratusan asumsi tanpa menyadarinya. Pertanyaannya, apakah Pak Robert mengenali kesimpulan yang Pak buat, asumsi yang Pak pakai sebagai dasar penyimpulan, juga sudut pandang dan perspektif yang membentuk asumsi Bapak? Keanehan yang Pak Robert temukan, yakni setelah pola pelabelan yang aneh itu akhirnya menjadi kebiasaan, terjadi karena Pak Robert membuat asumsi berdasarkan asumsi isteri tentang diri Pak Robert. Jadinya, Pak Robert membuat asumsi atas asumsi.”
“Ya, ya, ya, Pak Edy. Saya paham. Keanehan terjadi karena saya membuat asumsi di atas asumsi isteri saya tentang diri saya. Merujuk lagi ke pernyataan pak Edy bahwa ada data mentah dari pengalaman dan ada interpretasi atas data tersebut, berarti yang lebih perlu kita maknai sebagai SESUATU adalah data pengalaman itu sendiri dan bukan interpretasi atas data pengalaman? Berarti pula, selama ini saya lebih berpijak pada interpretasi saya sendiri, yang sebenarnya BUKAN SESUATU?” tegas Pak Robert sembari meminta peneguhan.
“Begitulah, Pak Robert. Yang kita sebut sebagai sesuatu adalah SESUATU, dan yang kita sebut bukan sesuatu adalah BUKAN SESUATU. Sayangnya, kita lebih sering begitu terobsesi dengan yang BUKAN SESUATU, sehingga kehilangan SESUATU. Dan yang BUKAN SESUATU itu tak lantas menjadi SESUATU hanya karena kita berhasil mengembel-embeli dengan kata SELALU di depannya.” (ES)
***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre [http://visiwaskita.com/]