1. Makna Citra
Image dalam bahasa Indonesia disebut citra. Mengenai image kata Hulse, Deese dan Egeth, “An old tradition in psychology and philosophy says that when we think, we think in image. We generate picture of things we think about – ‘faint copies,’ to use Hume’s term, of what were originally perceptions.”[1] Artinya, ketika berpikir, kita berpikir dalam citra. Kita menghasilkan gambaran-gambaran mengenai benda-benda yang kita pikirkan berkisar pada hal yang berasal dari pengamatan-pengamatan.
Kita memang berpikir dalam bentuk citra, yaitu menghadirkan gambaran-gambaran mengenai sesuatu yang berasal dari pengamatan. Ketika berpikir, kita hanya dapat menggambarkan benda-benda yang pernah diterima atau ditangkap indera. Kita tidak dapat menghasilkan gambaran-gambaran mengenai sesuatu yang tidak pernah diterima indera atau di luar pengalaman. Bahkan, menggambarkan surga pun kita menggunakan obyek-obyek tertentu yang pernah kita lihat, antara lain, surga ada pintunya, ada sungai dengan air susu, dan taman bunga. Sedangkan mengenai pengamatan, Morgan King, Weisz, dan Schopler mengemukakan, “Perception is defined as what is experienced by a person. Sensory-input pattern are said to provide only the “raw material” for experience. Perception-our experience of the world-arises from sensory inputs plus the way in which we process this sensory information.”[2]
Pendapat itu menunjukkan, pengamatan atau persepsi ialah segala sesuatu yang dialami seseorang. Pola masukan sensori (indera) dikatakan hanya menyediakan “bahan mentah”. Persepsi sebagai pengalaman mengenai dunia timbul dari masukan-masukan sensori (indera) tersebut ditambah dengan cara bagaimana kita memproses informasi yang diperoleh darinya. Hal ini dapat dipertegas dengan pendapat Gross dan Mcilveen (1977: 1):
.…Sensation refers to the experiences that physical stimuli (such as the eye and ear). Perception refers to the ways in which incoming sensory information is organised and interpreted in order to enable us to form inner representations of the external world. [3]
Pendapat itu menunjukkan, pengamatan adalah cara pengorganisasian dan penafsiran informasi sensoris yang datang untuk memungkinkan seseorang membentuk ‘gambaran dalam’ mengenai dunia luar.
Jadi, pengamatan ialah pengalaman seseorang mengenai segala sesuatu yang merupakan hasil penginderaan ditambah dengan cara bagaimana ia mengelola informasi, mengorganisasikan dan menafsirkannya. Bila citra adalah menghadirkan gambaran-gambaran mengenai sesuatu yang berasal dari pengamatan, maka, dapat disimpulkan, citra adalah gambaran-gambaran seseorang mengenai segala sesuatu yang berasal dari pengalaman sebagai hasil penginderaan ditambah dengan cara ia mengelola informasi tersebut.
Tapi, kesimpulan itu tentu masih menimbulkan pertanyaan karena hanya menjelaskan bagaimana proses pembentukan citra, yaitu berasal dari pengalaman seseorang mengenai segala sesuatu ditambah dengan cara ia memproses pengalaman itu. Sama sekali belum menjelaskan mengenai apa itu citra. Dengan kata lain, gambaran-gambaran yang bagaimanakah yang dimaksud dengan citra itu?
Roberts, 1977, mengatakan, citra ialah, “representing the totality of all information about the world any individual has prosessed, organized, and stored” (menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia ini yang telah diolah, diorganisasikan, dan disimpan individu).”[4] Jadi, citra merupakan keseluruhan informasi tentang dunia yang diolah, diorganisasikan, dan disimpan. Sedangkan menurut Philip Kotler, “Citra (image) adalah seperangkat anggapan seseorang atau sekelompok mengenai obyek yang bersangkutan.”[5]
Seperangkat anggapan yang dimaksud Kotler sebagai citra tersebut dijelaskannya dengan skala pengukuran citra yang menggunakan bipolar ajektif:
Cukup terkenal | ______________________ | Kurang terkenal |
Perusahaan lama | ______________________ | Pendatang baru |
Perusahaan nasional | ______________________ | Perusahaan lokal |
Sungguh modern | ______________________ | Agak kuno |
Senantiasa disempurnakan | ______________________ | Kurang mujur |
Terandalkan (reliable) | ______________________ | Kurang terandalkan |
Bertumbuh pesat | ______________________ | Kurang bertumbuh |
Bersikap ramah | ______________________ | Kurang ramah |
Perusahaan besar | ______________________ | Perusahaan kecil |
Berdasarkan skala itu tampak, citra merupakan seperangkat sifat-sifat mengenai sesuatu yang memiliki gradasi mulai dari cukup terkenal sampai kurang terkenal, lama sampai baru, nasional sampai lokal, modern hingga kuno, disempurnakan hingga maju, tumbuh pesat sampai kurang bertumbuh, ramah hingga kurang ramah, serta besar sampai kerdil. Karena itu, dapat disimpulkan, citra merupakan gambaran-gambaran seseorang mengenai sifat-sifat segala sesuatu (besar-kecil, modern-kuno, dan sebagainya), yang berasal dari pengalaman mengenai hal-hal tersebut (persepsi) sebagai hasil penginderaan ditambah dengan cara ia mengelola informasi tersebut.
2. Pembentukan Citra
Citra adalah gambaran-gambaran seseorang mengenai segala sesuatu yang berasal dari pengalaman sebagai hasil penginderaan ditambah dengan cara ia mengelola informasi tersebut. Jadi, citra seseorang terhadap sesuatu berasal dari pengalamannya. Pengalaman ini merupakan hasil penginderaan plus hasil cara ia mengelola informasi tersebut: ditentukan cara ia mengorganisasikan dan menafsirkannya.
Persoalannya, bagaimanakah cara seseorang mengelola informasi sehingga membentuk citranya terhadap sesuatu, khususnya tentang orang? Kelley menjelaskan hal tersebut secara sederhana melalui teori atribusi. Menurut psikolog sosial ini, kita dapat menjelaskan suatu perilaku dengan cara melihat tiga unsur.[6]
Distingsi perilaku. Pembedaan perilaku individu terhadap seseorang dibanding dengan perilaku individu tersebut dengan orang lain. Jika setiap masuk kantor Pak Amran suka menyapa Lily, tapi tidak menyapa karyawati lain, artinya Pak Amran memberikan distingsi yang tinggi pada Lily. Begitu juga sebaliknya, jika ia hanya menyapa karyawati lain, kecuali Lily.
Konsistensi perilaku. Kelangsungan perilaku individu terhadap seseorang dari suatu waktu dibandingkan perilaku individu tersebut pada orang yang sama pada waktu lain. Jika setiap masuk kantor Pak Amran selalu menyapa Lily, setiap hari dalam seminggu, sepanjang minggu dalam sebulan, dan seterusnya, ini berarti Pak Amran mempunyai perilaku yang konsisten (cenderung tinggi) terhadap Lily. Sebaliknya, jika hanya sekali dua kali saja, secara tertentu, ini berarti konsistensi perilaku pak Amran rendah terhadap Lily.
Konsensus perilaku. Kesamaan perilaku individu terhadap seseorang dengan perilaku orang lain terhadap orang yang sama. Jika perilaku Pak Amran terhadap Lily, sama dengan perilaku Ali, Iman, Joko dan karyawan lain terhadap Lily, berarti perilaku Pak Amran terhadap Lily mempunyai konsensus yang tinggi dengan karyawan lain.
Integrasi ketiga unsur itu membentuk citra seseorang terhadap orang lain. Jelasnya, citra seseorang (Anda) pada orang lain dibentuk berdasarkan kombinasi distingsi perilaku, konsistensi perilaku, dan konsensus perilaku orang tersebut. Dalam teori atribusi Kelley, dikenal empat kombinasi dari ketiga unsur itu. Tiap-tiap kombinasi dapat digunakan untuk menjelaskan pembentukan citra seseorang terhadap orang lain.
Perhatikan, kombinasi pertama pada tabel 1: distingsi perilaku tinggi, konsistensi perilaku tinggi, dan konsensus perilaku rendah. Setiap masuk kantor, Pak Amran suka menyapa Lily, tapi tidak menyapa karyawati lain (distingsi perilaku Amran tinggi). Perilaku itu dilakukan Pak Amran setiap masuk kantor, setiap hari (konsistensi perilaku Amran tinggi), dan perilaku Pak Amran terhadap Lily berbeda dengan perlilaku Ali, Iman, Joko dan karyawan lain terhadap Lily (konsensus perilaku Amran rendah). Kombinasi semacam ini akan mengarahkan atribusi orang pada Pak Amran dengan citra: Pak Amran menyukai Lily.
Table 1: PRAKIRAAN CITRA BERDASAR KOMBINASI TIGA UNSUR PERILAKU[7]
No. | Informasi yang Tersedia | Arah Atribusi terhadap Perilaku | Citra | ||
Distingsi | Konsistensi | Konsensus | |||
1. | Tinggi | Tinggi | Rendah | Pada pelaku (Amran) | Amran menyukai Lily |
2. | Rendah | Tinggi | Rendah | Pada pelaku (Amran) | Amran berkebiasaan menyapa tiap orang |
3. | Tinggi | Tinggi | Tinggi | Pada sasaran perilaku (Lily) | Lily memang disukai banyak orang |
4. | – | Rendah | – | Pada situasi | Sapaan Amran terhadap Lily karena situasi |
Lain hal bila yang terjadi kombinasi kedua: distingsi perilaku rendah, konsistensi perilaku tinggi, dan konsensus perilaku tetap rendah. Walau kombinasi ini tetap mengarahkan atribusi orang pada Pak Amran, namun citra yang muncul berbeda: Pak Amran memang berkebiasaan menyapa tiap karyawan.
Proses pembentukan citra seseorang terhadap orang lain, tentu sangat bergantung pada informasi yang tersedia atau yang telah diperoleh. Ketika ulang tahun, saat dicium seseorang yang disukai, Anda boleh saja berbangga hati. Namun, kalau Anda memperoleh informasi bahwa perilaku itu ia kenakan juga pada setiap orang yang ulang tahun, Anda tentu kecewa. Distingsi perilaku (mencium itu) ternyata rendah. Siapa pun yang ulang tahun ia cium.
3. Informasi dan Pembentukan Citra
Citra sebagaimana disimpulkan adalah gambaran-gambaran seseorang mengenai sifat-sifat segala sesuatu (besar-kecil, modern-kuno, dan sebagainya), berasal dari pengalaman mengenai hal-hal tersebut (persepsi) sebagai hasil penginderaan ditambah dengan cara ia mengelola informasi tersebut. Jadi, citra seseorang terhadap sesuatu berasal dari pengalamannya. Pengalaman ini merupakan hasil penginderaan ditambah dengan cara ia mengelola informasi hasil penginderaan tersebut.
Karena itu, citra seseorang mengenai sesuatu sangat ditentukan informasi yang diterima. Kata Jalaluddin Rahkmat, “Buat khalayak, informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau meredifinisikan citra.”[8] Karena itu, informasi merupakan faktor yang penting dalam membentuk citra seseorang. Menurut A. W. Widjaja, “Informasi dapat disebut pesan.”[9] Sedangkan menurut McQuail, “Untuk kepentingan perhitungan, pengertian informasi dapat mencakup makalah ilmiah, laporan badan pemerintah, percakapan pribadi lewat telepon, dan surat kepada teman.”[10]
Dua pendapat ini masih terlalu umum. Informasi memang dapat disebut pesan, tapi pesan belum tentu informasi. Sedangkan makalah ilmiah, laporan, percakapan, dan surat, hanya wadah atau format informasi. Itupun hanya sebagian kecil. Format informasi lain adalah berita, artikel, cerita di surat kabar, televisi, radio, dan film. Karena itu perlu dikaji pendapat Shannon dan Wiener yang pertama kali mendefinisikan informasi. Mereka mengatakan, informasi adalah “…anything that reduces the uncertainty in a situation.”[11]
Jadi, informasi ialah segala sesuatu yang mengurangi ketidak pastian dalam suatu situasi. Kalau ada pertanyaan “Siapa dia?” dan jawabannya “Pak Amat,” maka “Pak Amat” adalah informasi bila dapat mengurangi ketidakpastian. Bila ada pertanyaan “Apa yang kau bawa?” dan jawabannya “roti”, maka “roti” adalah informasi bila dapat mengurangi ketidakpastian. Sebab itu penentuan sesuatu adalah informasi atau bukan sangat subjektif. Tergantung pada orang perorangan. Bagi seseorang hal itu mungkin sudah pasti, bagi orang lain mungkin belum atau menimbulkan pertanyaan baru lagi. Dan, yang terpenting, informasi bukan hanya perihal yang kita baca, kita dengar, dan kita tonton melalui surat kabar, majalah, televisi, radio dan film, tapi meliputi segala sesuatu yang kita tangkap dengan penginderaan kita secara langsung.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa informasi ialah segala sesuatu yang dapat mengurangi ketidakpastian yang dapat berbentuk pesan, makalah, laporan percakapan, surat, berita, artikel, atau cerita di media massa dan juga segala sesuatu yang ditangkap melalui penginderaan secar langsung, sampai seseorang relatif tidak bertanya lagi.
Jika telah dikemukakan informasi dapat membentuk, mempertahankan atua meredifinisikan citra, maka dapat disimpulkan, ada hubungan antara informasi mengenai sesuatu dengan citra mengenai sesuatu itu. Masalahnya, informasi bagaimana yang dapat membentuk citra positif atau negatif?
Philip Kotler mengemukakan, “Pada setiap saat mungkin saja citra tentang suatu objek sudah ketinggalan oleh kenyataan objek itu. Misalnya, mungkin saja suatu perusahaan tetap dipandang sebagai pemuka pasaran (market leader), padahal kedudukannya menjadi perusahaan citra kelas-dua, lama setelah ia telah memperbaiki kedudukan mejadi perusahaan kelas satu. Maka setiap citra mungkin saja ketinggalan zaman 5-10 tahun, seperti halnya kita bukannya melihat bintang yang nyata pada cakrawala, melainkan citranya pada masa lampau, karena cahaya memakan waktu untuk mencapai mata kita. Ketangguhan ….
Selanjutnya, suatu perusahaan tidak akan dapat merubah citranya, hanya dengan mengadakan kegiatan komunikasi. Suatu citra adalah hasil rangkaian dari “perbuatan baik ditambah ucapan baik pula”. Suatu perusahaan harus dengan nyata berlaku sesuai dengan citra yang dikehendaki lalu menggunakan komunikasi untuk menceritakan tentang kegiatannya itu.”[12]
Dari pendapat itu, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, citra positif atau negatif tentang sesuatu tidak selalu bergantung pada kenyataan sekarang. Dalam kata lain, dari segi waktu, citra positif atau negatif cenderung ditentukan informasi-informasi masa lampau.
Yang kedua, citra positif ditentukan oleh informasi mengenai perbuatan yang baik dengan catatan bahwa perbuatan itu memang benar-benar dilakukan. Sehingga informasi yang disampaikan sesuai perbuatan yang dilakukan. Bukan hanya sekedar omongan.
Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan:
Informasi dapat membentuk, mempertahankan atau meredefinisikan citra, maka ada hubungan antara informasi mengenai sesuatu dengan citra mengenai sesuatu itu.
Informasi ialah segala sesuatu yang dapat mengurangi ketidakpastian yang dapat berbentuk pesan, makalah, laporan percakapan, surat, berita, artikel, atau cerita di media massa dan segala sesuatu yang ditangkap melalui penginderaan secara langsung, sampai seseorang relatif tidak bertanya lagi.
Dari segi waktu, citra positif atau negatif cenderung ditentukan oleh informasi-informasi di masa lampau,
Citra positif ditentukan oleh informasi mengenai perbuatan yang baik dengan catatan bahwa perbuatan baik itu memang benar-benar dilakukan.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan, ada hubungan antara informasi dengan citra. Citra positif atau negatif mengenai sesuatu cenderung ditentukan informasi mengenai hal tersebut di masa lampau.
[1] Hulse, Deese, and Egeth, The Psychology of Learning, McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd., Tokyo, 1975, hal. 300.
[2] C.T. Morgan, et. al., Introduction Psychology, McGraw-Hill, Inc., Singapore, 1966, hal. 132.
[3] Richard Gross dan Rob McIlveen, ,Cognitive Psychology, Hodder and Stoughto Educational,London, 1997, hal.1.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Penerbit CV Remadja Karya, Bandung, 1986, hal 221.
[5] Philip Kotler, (terj.) Dra. Ellen Gunawan, MA, Erlangga, Jakarta, 1984, hal. 184-185.
[6] Baca Sarlito W. W. Psikologi Sosial, Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial, Balai Pustaka, 1997, hal. 107.
[7] Diadaptasi dari Chris L. Kleinke, Meeting and Understanding People, W. H. Freeman and Company, New York, hal. 145.
[8] Jalaluddin Rakhmat, Op. cit., hal. 222.
[9] A.W. Widjaja, Komunikasi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hal. 31.
[10] Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1989, hal. 75.
[11] Wilbur Schramm dan W.E. Porter, Men, Women, Messages, and Media Understanding Human Communication, Harper and Row, New York, 1982, hal. 36.
[12] Philip Kotler, Op. cit., hal. 184.