Dua orang telah tewas akibat bentrokan warga asal Desa Agom dengan warga asal Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Sabtu, 27 Oktober 2121. Pada awalnya, Sabtu itu, sekitar pukul 23.00 WIB, dikabarkan, dua gadis Lampung asal Desa Agom yang sedang mengendarai sepeda motor mendapat gangguan dari pemuda asal Desa Balinuraga. Dua gadis itu terjatuh dan mengalami luka-luka. Insiden ini diduga memicu kemarahan warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan. Ratusan warga Agom langsung mendatangi Desa Balinuraga yang mayoritas warganya beretnis Bali dengan menenteng senjata tajam, parang, pedang, golok, celurit, bahkan senjata senapan angin. Bentrokan antarsuku pun tidak terhindarkan. Dikabarkan, akibat peristiwa tersebut dua warga dari Desa Agom meregang nyawa. Kemarahan warga Desa Agom pun agaknya kian menjadi-jadi.
Setujukah Anda, tanpa menjadi salah seorang warga di kawasan konflik Lampung Selatan, pun sebenarnya kejadian yang sama dalam format berbeda pernah dan sering Anda rasakan atau alami? Dalam hidup keseharian di persada Indonesia ini, di mana konflik terbuka tidak terjadi, apakah Anda cenderung melihat anggota kelompok lain seolah bukan sebagai bagian yang homogen dari kelompoknya?
Ketika Anda bertemu seseorang yang merupakan anggota outgroup (di luar ingroup Anda), tidakkah Anda cenderung memperlakukannya sebagai individu yang terpisah, dan cenderung memperhatikan karakteristiknya sebagai individu murni, yang tak terkait dengan kelompoknya? Dan bukankah hal ini tidak terjadi ketika Anda bertemu dengan anggota ingroup Anda?
Namun demikian, nampaknya stereotip mengenai anggota outgroup lebih kuat daripada stereotip tentang anggota ingroup sendiri. Dan, inilah salah satu penjelasan mengapa Anda lebih bersedia untuk pada akhirnya mengabaikan informasi tentang kekhasan seorang individu dari anggota outgroup sembari menguatkan asumsi bahwa karakteristik individu yang Anda tunjuk itu sebenarnya merupakan satu kategori dengan karakteristik anggota-anggota lain yang terhimpun dalam outgroup. Inilah yang disebut Bernadette Park, PhD, dan Charles Judd, PhD dari University of Colorado di Boulder sebagai fenomena “efek homogenitas outgroup”.
Ditambah dengan kondisi Anda tidak tahu banyak tentang kelompok outgroup yang Anda maksud, lantas Anda pun cenderung menganggapkan bahwa yang Anda pahami itulah “inti budaya” yang kelak Anda jadikan landasan untuk mendefinisikan semacam “temperamen bawaan” kelompok lain/outgroup. Stereotipe sebagaimana dikonsepkan sebagai “efek homogenitas outgroup” ini membuat Anda meyakini bahwa amatan Anda terhadap individu identik dengan amatan Anda terhadap kelompok dimana individu tersebut berhimpun. Anda pun serta-merta –sadar atau tidak sadar–memberlakukan kesesatan logik “pars pro toto” –-sebagian untuk keseluruhan.
Pemicu yang beroperasi sebenarnya bukanlah emosi kebencian sebagaimana banyak disinyalir para komentator, tetapi gabungan antara kemarahan, ketakutan, dan ketidaktahuan. Jack Glaser, PhD, dari University of California, Berkeley tidak hanya menunjuk gabungan antara kemarahan, ketakutan, dan ketidaktahuan sebagai penanda dari efek homogenitas outgroup. Ia bahkan menyimpulkan, respon lebih ekstrim dari efek homogenitas outgroup niscaya muncul lantaran adanya rasa keterancaman terhadap integritas budaya, di mana faktor identitas politik-sosial-budaya lebih mengedepan ketimbang faktor perebutan sumberdaya ekonomi. Artinya, politik identitas lebih mengedepan dalam kasus konflik horisontal di Lamsel ketimbang politik ekonomi. Anda punya ulasan lain? (ES)
***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre [http://visiwaskita.com/]