Memperingati hari Sumpah Pemuda kali ini, saya tak ingin menempatkan diri sebagai penggembira upacara bendera. Saya lebih suka mengajak Anda bertanya pada diri sendiri: apakah peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bagiku menyisakan modus identitas “Me” atau “I”?
Jawaban ini mungkin dapat menentukan di mana posisi kita: apakah kita sebagai warga bangsa ini lebih berperan sebagai “co-constructor” atau sekadar sebagai penumpang gelap dalam mengonstruksikan kapal “bangsa Indonesia”.
Ketika harus menjawab pertanyaan “who are you?”, kita dapat menjawab “I’ am Indonesian” atau “me is Indonesian”. Jika jawaban pertama didaku 224 juta orang yang secara statuta di bawah payung “bangsa Indonesia”, dapat dibayangkan, betapa dahsyat “bangsa Indonesia”; sebaliknya jika yang muncul adalah jawaban kedua, berarti kosa kata “bangsa Indonesia” adalah bumbung kosong alias “abstein”. Kita paham, wilayah, bahasa, budaya, agama, sejarah atau ras mungkin saja merupakan faktor yang diperlukan, tetapi nampaknya bukan faktor yang dipentingkan dalam penciptaan identitas nasional. Yang lebih dipentingkan dalam pembangunan identitas kolektif ialah dorongan untuk bertahan hidup, terutama untuk melindungi kelompok dari ancaman eksternal. Dibandingkan kelompok besar lain, nampaknya format “negara bangsa” lebih menawarkan rasa keamanan, rasa kemilikan (belongingness) atau afiliasi kepada sebagian besar anggotanya, bahkan identitas pribadi yang lebih kuat. Perang Dingin atau pemisahan Timor Timur dari Negara Republik Indonesia, misal, membuktikan identitas bangsa bisa hilang dan muncul kembali dalam identitas bangsa yang baru, seperti halnya mutasi amuba, fungi, atau invertebrata.
Tak pelak, siklus bangsa yang hilang silih berganti ini menyisakan sekelompok orang yang masih siap mati demi identitas mereka. Hilangnya komunisme saja menciptakan 20 negara baru untuk menambah 165 anggota yang ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di sini benar bahwa “bangsa” dan “nasionalisme” (identitas nasional) merupakan konstruksi dan buatan; namun dengan fakta tersebut, saya mengulang lagi pertanyaan saya: jika Anda ditanya “who are you?”, manajawaban Anda: “I’am indonesian” atau “me is indonesian”? (ES)
***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre [http://visiwaskita.com/]
Like this:
Like Loading...