Oleh Mohammad Fauzy dan Edy Suhardono [1]
GEBRAKAN Mikhail Gorbachev dengan glasnost dan perestroika sejak 1985 sampai kini masih bergema nyaring. Dan lebih, dari sekedar gema, soal serius yang disorot kini adalah bagaimana Gorbachev mengatasi krisis di Lithuania. Ia dihadapkan pada soal mempertahankan kekuasan terhadap Lithuania, yang dianggap bertentangan dengan reformasi melalui glasnost, atau membiarkan Lithuania merdeka, yang berarti mengurangi kekuasaan Moskow terhadap negeri yang memerdekakan diri 11 Maret lalu itu. Manakah kemungkinan yang dipilih Gorbachev?
Reformasi dan Kekuasaan
Sejak dunia politik menangkap gema reformasi Gorbachev dengan glasnost dalam aneka ragam pengharapan, dunia sebagai penonton tampak kian menjadi tidak toleran. Dunia membabi buta dengan desak-desakannya. Amerika mengancam, bila Gorbachev menggunakan tangan besi terhadap Lithuania, hubungan Soviet dengan Amerika akan terganggu. Sementara itu, negara-negara Skandinavia telah pula siap mensuplai bahan makanan bagi Lithuania, menggantikan peran Soviet, dan sejumlah kapal perang negara-negara NATO telah pula bergerak mendekati wilayah Soviet.
Gerakan itu semua mendukung Lithuania. Gorbachev harus menghadapi fakta, begitu sinyal-sinyal glasnost yang diluncurkannya memberi harapan, dunia seolah-olah dicekam kerinduan akan pemenuhan harapan itu: kebebasan di segala bidang kehidupan yang berarti merdeka bagi semua rakyat Soviet, kebebasan bagi Solidaritas di Polandia, runtuhnya tembok Berlin Timur, dan kebebasan menentukan nasib sendiri bagi Lithuania.
Dan, adalah nasib sebuah sabda yang telah mendunia, penyabda, Gorbachev, diikat sabdanya. Dan sebagai penyabda, Gorbachev tak dapat membutakan mata dari terpaan gelombang pengharapan itu, sebaliknya dengan mudah ia tergelincir, semata-mata didikte keadaan. Apalagi, bila ia tak memperhitungkan bagaimana sebuah kekuasaan harus dimainkan. Bagaimana kekuasaan yang menghantarkannya sampai ke peringkat penyabda dunia itu tidak berbalik menguasai dirinya. Kini, paling tidak, Gorbachev sedang memastikan diri dengan otonominya.
Dalam kasus Lithuania, Gorby sangat gencar mengundang perhatian dunia terhadap konsistensi langkah-langkahnya karena mengintimidasi Lithuania dengan pameran kekuatan militer. Gorbachev telah salah memperhitungkan timbulnya suatu psychological reactance di pihak Landsbergis-presiden Lithuania yang baru-sebagai usaha pemantapan dua alternatif yang masih bebas untuk dipilih Lithuania, menyerah atau terus merdeka. Dengan tekanan militernya, Gorbachev justru menciptakan “pembenaran” bagi pihak Landsbergis, ia bertanggungjawab atas sikapnya menentang Moskow. Bahkan, ia semakin yakin, tidak mungkin tercapai kebebasan politik-suatu wajah dari glasnost-tanpa kemerdekaan penuh.
Sebelumnya, dalam menanggapi gelombang permasalahan pelik semacam ini, satu-satunya pijakan Gorbachev hanyalah politik reformasinya yang notabene dituding dunia penuh cacat. Meski ia penguasa agung Soviet sesudah Stalin, Gorbachev masih konsisten, sengaja tidak menggunakan kekuatan militer dan KGB. Ia mau menyelesaikan persoalan dengan menerapkan sebab dari munculnya persoalan itu. Dan, orang seperti terbangun dari tidur, begitu tindakan Gorby terhadap Lithuania dilakukan. Pertanyaan yang langsung dilontarkan, apakah dengan tindakan terakhir ini, Gorbachev telah jera atau bahkan takut dengan akibat-akibat yang mungkin muncul dari reformasinya sebagaimana yang terjadi dengan gerakan separatis di Azerbaijan dan Armenia?
Reformasi dan kekuasaan adalah dua sisi sebuah mata uang milik Gorbachev. Tanpa kekuasaan ditangan, tidak mungkin Gorbachev dapat melaksanakan reformasi. Sebaliknya, tanpa reformasi sekalipun, secara historis berdasarkan filsafat kekuasaan komunisme, Gorbachev sudah tentu merasa berhak mempertahankan kekuasaannya terhadap Lithuania. Justru dengan kekuasaan ini Gorbachev dapat mengulur napas panjang untuk melakukan tindakan sosialisasi dari reformasinya.
Tuntutan opini dunia agar selalu terjadi asosiasi antara reformasi dan sepak terjang kekuasaan yang steril dari kekerasan, sebagaimana yang pernah mereka harapkan dari Deng dalam kasus Tiananmen, lebih tepat dikatakan sebagai gugusan mimpi di siang bolong. Harapan semacam itu sama saja dengan harapan terhadap konsistensi cetusan tentang liberalisme, penghargaan hak asasi individu, dan kedaulatan negara lain dengan penyerbuan pasukan Amerika ke Panama, sokongan Amerika terhadap gerilyawan kontra di Nikaragua ataupun campur tangan Amerika di Vietnam. Dengan, kata lain, reformasi dan penerjemahan kekuasaan Gorby adalah dua hal yang distinct meskipun di bawah tangan Gorby, keduanya saling interdependensi.
Karena itu, kurang tepat jika dikatakan reformasi tak mungkin berlangsung tanpa kemerdekaan Lithuania secara penuh sebagaimana diperjuangkan Landsbergis. Sebaliknya, tindakan presiden baru tersebut dapat mengancam kekuasaan Gorbachev untuk terus melangsungkan reformasi. Tepatnya, bila reformasi dan kekuasaan diperlakukan secara distinkif, pemilihan dua hal itu dapat diterima keabsahannya. Argument ini cukup menjamin kemantaban sepak terjang Gorby atas Lithuania. Bahkan, sekalipun harus mengucurkan darah di tanah yang baru “merdeka” itu.
Namun, lebih dari soal pengabsahan, satu pertimbangan historis agaknya mesti dimasukkan. Pertimbangan historis akan cenderung memperlakukan reformasi secara asimetris, tergantung pada kekuasaan. Pemusatan kekuasaan menjadi tali gantungan untuk suksesnya reformasi, bukan sebaliknya.
Bila ditilik dari kamus kenegaraan ala teori komunisme klasik Karl Marx, dua hal itu tidak sama berdiri sebagai stuktur bangunan atas seperti kehidupan sosial, politik (kekuasaan) dan spiritual yang dianggap mengabdi kepada modus produksi materi. Dalam kerangka ini, glasnost dan perestroika sebagai jargon reformasi sebenarnya lebih merupakan langkah tambalsulam- lebih megah dikatakan sebagai “pembaruan”- kehidupan ekonomi Soviet yang memang kian runyam. Dengan demikian, kekuasaan semata-mata merupakan alat untuk mencapai sasaran kepentingan ekonomi.
Prioritas dan Pemenuhan
Pertanyaan mengenai manakah yang akan dimenangkan Gorby dalam kemelut ini: reformasi atau kekuasaan? Memilih satu di antara dua hal itu mengandung konsekuensi yang kurang menguntungkan. Jadi, yang diperlukan adalah bagaimana mengakomodasikan kedua hal itu satu dengan lainnya. Pada sidang presidential Selasa, 27 Maret lalu, jawaban atas pertanyaan tersebut diisyaratkan Gorbachev dengan penegasan, suatu tindakan cepat sangat diperlukan guna merealisasikan potensi sepenuhnya dari ekonomi Uni Soviet “dengan berlandasan pada self-interest, pengembangan wira-usaha dan pembentukan suatu full-blooded market (The Straits Times, Kamis, 29 Maret 1990). Ia pun mengatakan dalam pidato yang dibacakan di televisi, reformasi perestroika dirasakan terhambat oleh kegagalannya mengubah struktur komoditi dan moneter.
Peta pemasalahan menjadi lebih jelas. Reformasi akan menjadi ancangan primer, pun kalau untuk itu harus dibayar mahal dengan menepiskan badai harapan dari berbagai penjuru dunia terhadap kebijaksanaan Gorbachev dalam krisis Lithuania, kekuasaan harus dimainkan. Kekuasaan adalah sumber power reformasinya. Tidak ada reformasi tanpa kekuasaan. Karena itu, Lithuania tidak boleh merdeka.
Akhirnya, tepuk tangan adalah keberuntungan buat Gorby; ancaman dan tekanan merupakan konsekuensi logis dari pengambilan keputusan dan tindakan. Lontaran reformasi harus diusahakan penyelesaiannya. Gebrakan Mikhail Gorbachev telah menjalani masa kepopulerannya selama enam tahun. Dalam rentang waktu itu, ia telah terbukti dengan lincah berloncatan di antara desakan pengharapan dunia yang haus dengan tiupan angin segar di satu pihak; dan desakan realitas obyektif yang tak kenal penundaan di pihak lain.
Itulah bobot kualitas dari seorang pemain kekuasaan. Satu pertanyaan besar masih menganga: manakah ujung terminal dari reformasinya itu? Akankah ia menjadi tawar lagi? Bukankah di seberang sana telah menunggu kekuasaan, yang bagaimanapun berubah wajahnya tetap saja dengan ciri alamiahnya: kekerasan, penindasan, dan sebagainya dan sebagainya. ***
Note:[1] Tulisan ini dimuat suratkabar Jayakarta, 03 April 1990.
1 comment for “Konflik Seorang Gorbachev”