Setelah Komunis Runtuh di Eropa Timur

Russian economy since fall of the Soviet Union...

Russian economy since fall of the Soviet Union (2008 international dollars) (Photo credit: Wikipedia)

Oleh Mohammad Fauzy

SETELAH Boris Nikolayevitch Yeltsin menjadi presiden Republik Federasi Rusia, setelah Uni Soviet hendak melaksanakan pasar bebas, setelah negara-negara Baltik memproklamasikan kemerdekaan, setelah Polandia dipimpin pemerintah nonkomunis, setelah Partai Komunis Yugoslavia menyerukan pemilu multi partai, sebagian besar manusia di kawasan Eropa Timur tampak kehilangan pegangan.

Komunisme telah runtuh. Kini, apakah yang sedang bergejolak di sana, suatu isme baru? Atau mereka sedang mengarah kepada liberalisme ala Amerika?

Pertanyaan pertama menghendaki jawaban yang cermat. Perkembangan di Eropa Timur tidak dapat terlepas dari situasi negara-negara lain. Liberalisasi hanya salah satu gejala dari kebangkitan hak asasi manusia di dunia dewasa ini. Sedangkan pertanyaan kedua tentu memerlukan jawaban yang lebih cermat. Jauh sebelum komunisme runtuh di akhir abad dua puluh ini, liberalisme telah pernah mengalami kegagalan.

                                                                                                                        Kegagalan Liberalisme

Liberalisme adalah paham yang berasaskan individualisme. Paham ini berpendapat, untuk mencapai kesejahteraan bersama, individu haruslah diutamakan dari pada masyarakat. Jika individu telah diutamakan, dengan sendirinya masyarakat telah diutamakan. Jika individu bahagia, dengan sendirinya masyarakat telah mendapatkan kebahagiaan.

Alasannya, karena individu-individu itulah yang membentuk masyarakat. Semua individu adalah anggota masyarakat. Tanpa individu sebagai warga negara, tidak akan ada masyarakat yang dalam bentuk organisasi tertinggi berwujud negara. Karena itu, individu harus diutamakan. Hak-hak individu dikeramatkan. Setiap individu bebas melakukan apapun. Tanpa kebebasan, penghargaan terhadap hak individu tak memiliki arti. Akibatnya, negara tidak punya kuasa apa-apa, kecuali sebagai “penjaga malam”.

Di bidang ekonomi, para individu pun memiliki hak yang seluas-luasnya untuk berusaha. Siapa saja dapat mencari penghidupan di pasar bebas. Tapi kenyataannya, tidak semua individu dapat berusaha di sana, hanya pemilik modal yang kuat dapat bertahan. Individu-individu bermodal lemah, karena “salah sendiri” tidak bermodal, perlahan-lahan tersingkir sesuai mekanisme pasar. Maka, lahirlah para kapitalis-konglomerat, anak kesayangan liberalisme.

Para kapitalis-konglomerat ini kemudian menjadi maha adi kuasa. Mereka membentuk trust. Di Amerika, upah buruh ditetapkan semena-mena. Kaum buruh mogok dan timbul pengangguran. Tiga dari lima warga tidak bekerja. Selain itu, harga-harga barang pun ditentukan semena-mena, daya beli masyarakat menjadi lemah, barang bertumpuk-tumpuk. Akibatnya, kehidupan ekonomi mandeg.

Tahun 1929-1939, terjadi depresi hebat. Kepercayaan masyarakat Amerika terhadap pasar bebas runtuh. Ekonom John Meynard Keynes membunyikan “Lonceng kematian Laissez Faire”. Ia menyarankan pemerintah ikut mengatur kehidupan ekonomi. Tahun 1938, saran Keynes itu direalisasikan dalam politik New Deal Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt. Negara pun mengatur ekonomi warga negara. Hak-hak individu yang keramat telah menjadi tidak tak terbatas.

Di Inggris, tiga puluh tahun silam, perdagangan bebas yang menjadi cita-cita liberalisme Inggris abad sembilan belas tidak lagi dianggap sebagai kepentingan politik. Antara 1960 dan 1970, perdagangan bebas muncul sebagai kontroversi keanggotaan Inggris dalam Pasaran Bersama Eropa.

Liberalisme kurang penting dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dapat diharapkan dari pasaran bersama itu. Tahun 1973, kaum konservatif memasukkan Inggris sebagai anggota. Kebebasan warga negara dalam usaha pun, paling tidak, mendekati ketidakbebasan. Negara kian mengatur usaha individu. Sementara itu, semakin banyak kaum liberal memasuki Partai Buruh berhaluan sosialis.

Tampaklah, liberalisme yang melahirkan para kapitalis-konglomerat telah mengalami kegagalan. Mengutamakan individu daripada masyarakat menemui jalan buntu karena tidak semua individu memikirkan individu lain, memikirkan anggota masyarakat lain, dan masyarakat keseluruhan sehingga lahir beberapa individu-individu yang kuat, para kapitalis-konglomerat, yang kemudian bertindak semena-mena. Mereka menekan individu-individu dan anggota masyarakat lain, menimbulkan depresi dan ancaman terhadap kesejahteraan ekonomi dan politik masyarakat secara keseluruhan.

Liberalisme di Soviet

Bahaya kesemena-menaan seorang individu maupun sekelompok individu yang tidak memikirkan kepentingan individu lain dan persatuan masyarakat secara keseluruhan itu bukan tidak tampak di Soviet saat ini. Di bidang politik, perilaku negara-negara Baltik yang memproklamasikan kemerdekaan tanpa restu Soviet telah menunjukkan gerak radikal kaum pembaru di Soviet yang lebih dikenal sebagai gerakan sparatis. Bahkan, kebebasan itu sudah mencapai titik ekstrem, inkonstitusional menurut undang-undang Soviet.

Akibatnya, persatuan Soviet dapat terpecah-belah, kesatuan bangsa terancam hanya oleh sekelompok etnik, warga negara Baltik. Apalagi, setelah Boris Yeltsin yang selalu menentang kaum konservatif menjadi presiden Parlemen Republik Federasi Rusia 29 Mei 1990, indikator kekuatan para pembaru lebih radikal daripada Gorbachev tampak kian jelas.

Yeltsin adalah figur yang selalu mengecam kelambanan pembaruan. Jadi, kemenangannya menunjukkan detak jantung liberalisme yang lebih radikal kian berdegup di negara Soviet. Sikap ekstrim Yeltsin, bagaimana pun, tetap merawankan. Sikap yang bertentangan dengan Gorbachev itu telah memecah belah warga Soviet dalam dua kubu besar.

Beberapa hari setelah kemenangannya, Yeltsin telah sesumbar dengan ancaman, “Kalau pemerintah pusat mau bertengkar dengan kita, siapa yang mereka perintah. Konstitusi masih ada di tempatnya dan menjamin hak bagi semua republik untuk merdeka dan memisahkan diri,” (Jayakarta, 1 Juni). Yeltsin, dengan begitu, telah membawa Rusia ke arah sikap para sparatis seperti negara-negara Baltik: Lithuania, Estonia, dan Latvia.

Karena itu, wajar kalau Gorbachev berharap dapat bekerja sama, dengan Yaltsin meskipun kecemasan masih tampak dalam ucapannya, “Posisi Kamerad Yeltsin sampai sekarang ini masih merusak.” (Jayakarta, 31 Mei 1990). Benar apa yang dikatakan Gorby, Kamis, 31 Mei, ketika Moldavia, negara diperbatasan Soviet-Rumania mengakui kemerdekaan Lithuania secara resmi, Yeltsin pun ikut mendukung Lithuania.

Sejalan dengan itu, di bidang ekonomi, pemerintah Uni Soviet sedang mengusulkan referendum untuk mengubah perekonomian Soviet dengan pasar bebas, kendala ekonomi dari pemerintah akan dilepaskan, maka nafas liberalisme kian menjadi lengkap di negara Soviet.

Rencana itu secara psikologi, sungguh mengejutkan warga Soviet. Hampir 75 tahun di bawah kendali diktator proletariat, sejak Revolusi Bolshevik 1917, tiba-tiba mereka akan dilepas, berarti mereka mundur ke titik nol, berubah haluan. Tak heran mereka berbondong-bondong memborong barang karena perubahan ke pasar bebas menaikkan harga-harga. Saat ini, keresahan terjadi di seluruh Soviet.

Sebab itu, terlepas dari siapa pun yang benar: sikap liberalis negara-negara Baltik, Boris Yeltsin, atau pun sikap Gorbachev, maupun negara Moldavia, yang ekstrem dalam pembaruan politik dan ekonomi tanpa tanggung jawab kepada kesejahteraan anggota masyarakat para warga negara Soviet secara keseluruhan dapat menimbulkan anarki mirip dengan komunisme tempo dulu. Nasib jutaan manusia hanya ditentukan segelintir individu-individu yang kuat di bidang politik dan ekonomi. Khususnya, Yeltsin dan Gobarchev di masa kini, Lenin dan Stalin di masa lalu.

Hak Asasi Manusia

Liberalisasi di Eropa Timur tiada dapat terlepas dari gejolak dunia secara keseluruhan. Saat ini, yang harus menjadi perhatian utama: kesadaran akan hak asasi manusia telah muncul di seluruh dunia dalam berbagai wujud: antara lain liberalisasi, keterbukaan, pro demokrasi, antiaparteid, sparatisme, dan emansipasi.

Di mana-mana, kini, dunia sedang bergolak. Abad sedang bergerak. Di Kamerun, Afrika Barat, 26 Mei lalu, sekitar 50.000 warga negara berdemonstrasi menuntut liberalisasi di bidang politik, multipartai! Di Srinagar, sekitar 100 ribu muslim turun berdemonstrasi 30 Mei lalu, setelah tragedi pembunuhan sekitar 100 muslim 21 Mei. Mereka berteriak “Kami ingin kemerdekaan!”

Di Dar Es Sallam, Tanzania, 29 Mei lalu, Presiden Julius Nyerere menyatakan, segera mengundurkan diri Agustus mendatang. Kepemimpinan diserahkan kepada Ali Hassan Mwinyi untuk memerintah Tanzania dengan multipartai.

Mwinyi pernah menjauhkan Tanzania dari sistem sosialis yang dirancang Nyerere dan membawa Tanzania ke ekonomi liberal.

Sedangkan di Rangun, Myanmar, Liga Nasional Demokrasi telah memenangkan pemilu dengan multipartai pertama kali setelah hampir 30 tahun dikuasai junta militer, “Suara saya untuk LND,” kata seorang penduduk, “itu berarti suara untuk kebebasan. Kami memerlukannya, sekarang.” (Kompas, 31 Mei 1990).

Dan, itu mendapat dukungan. Australia, Thailand, dan Jepang menyatakan sikap, militer harus segera memberikan kekuasaan kepada Liga Nasional Demokrasi. Di Afrika, pemerintahan reformis Afrika Selatan telah pula mengajukan rancangan undang-undang menghapus perbedaan warna kulit. Akta Amenitis Sparasi tahun 1953 yang mendukung aparteid akan dicabut (Jayakarta, 2 Juni 1990).

Sementara itu, 26 Mei 1990, di Yugoslavia, Partai Komunis Yugoslavia telah pula menyerukan pemilu multipartai. Pada hari yang sama, di Hongaria, Rezso Nyers telah mengundurkan diri dan memberikan kesempatan kaum muda untuk melanjutkan pembaruan. Sedangkan di Portugal, partai komunis menghadapi tantangan para reformis untuk melanjutkan multipartai.

Seluruh peristiwa diatas menunjukkan, kebangkitan kesadaran manusia terhadap hak asasi berhak memiliki pilihan hidup sendiri dan persamaan di segala bidang kehidupan telah melanda seluruh kawasan dunia.

Dan, kalau terlalu radikal, bahaya penghargaan hak asasi yang terlalu tinggi tentu akan menjadi dilema masa depan dunia sekarang ini: sebagaimana yang sedang terjadi di Soviet, kebebasan individu dan kelompok, serta etnis telah diletakkan di atas kepentingan masyarakat Soviet secara keseluruhan dengan kedok hak untuk merdeka dan mengatur diri sendiri.

Karena itu, mungkinkah liberalisme ala Amerika sebelum New Deal 1938, menjadi pegangan pula bagi Eropa Timur? Tidakkah mereka mempelajari sejarah petualangan liberalisme di Amerika dan Inggris? Tidakkah mereka melihat dunia di sekeliling, sudahkah hak asasi manusia, warga negara mereka sendiri telah ditempatkan pada proporsinya? Patutkah mereka, segelintir individu, kelompok etnik, ikut menentukan masyarakat Soviet secara keseluruhan?

Kebebasan yang berlebihan, tanpa tanggung jawab terhadap masyarakat manusia secara keseluruhan, tidak akan pernah membawa kebahagiaan. ***

Note: Tulisan ini telah dimuat di Suratkabar Harian Jayakarta, 09 Juni 1990.

1 comment for “Setelah Komunis Runtuh di Eropa Timur

Comments are closed.