Teman Baik, Teman Jahat

Hampir semua orang pernah mengeluh memperoleh teman yang jahat, yang tidak tahu diri, yang buruk, dan sebagainya dan sebagainya. Lalu, timbul pertanyaan, mengapa sebagian orang dapat memperoleh teman-teman yang baik?

Banyak jawaban, namun bagi saya, ini yang lebih dapat diterima. Pertama, kita memang orang yang berkualitas buruk dan jahat. Anda mungkin sudah tidak asing dengan peringatan Rasululah SAW, bila kita ingin mengenal seseorang, lihatlah siapa sahabat-sahabatnya. Ini berlaku juga buat diri kita. Bila kita berteman dengan penjual minyak wangi, kita kepercik wanginya. Bila berteman dengan pandai besi, kita terpecik apinya. Siapa teman-teman kita, ya itulah diri kita. Siapa diri kita, ya itulah teman-teman kita.

Kedua, seorang teman pernah bercerita, bila sebuah garputala digetarkan, ia akan menimbulkan bunyi dan dapat menggetarkan garputala lain. Tentu saja ketika garputala lain ini bergetar dan juga menimbulkan bunyi, bunyi yang terdengar semakin keras. Jika ditambah dengan garputala lain dan terus ditambah maka garputala-garputala tersebut akan saling menggetarkan dan menimbulkan suara yang kian kuat. Dan, semua garputala-garputala itu dapat saling menggetarkan karena mereka memiliki frekuensi yang sama.

Seseorang dapat memperoleh teman-teman yang baik bila ia memiliki “frekuensi” yang sama, ya berpribadi sama baik dengan teman-temannnya. Karena itu, orang-orang baik akan bertemu dengan teman-teman yang baik, orang-orang yang buruk akan bertemu dengan teman-teman berkelakuan buruk. Tidak ada kebetulan di muka bumi ini. Karena itu, bila ingin memperoleh teman-teman yang baik, kita harus memperbaiki diri kita. Kita juga dapat memperbaiki diri kita dengan bermain bersama teman-teman yang baik.

Sudah hampir tidak ada waktu lagi, ubah diri menjadi baik. Sudah tidak ada waktu lagi, tinggalkan teman-teman yang buruk.

Kejahatan dan Pengendalian Diri

Mengapa ada orang yang jahat terhadap dirimu?
Walau kamu berbuat baik pada seseorang, mungkin setiap hari berbuat baik pada diri orang yang sama, ingat, tidak ada jaminan bahwa ia juga akan berbuat baik kepada dirimu. Sebaliknya, ia dapat saja menjadi jahat terhadap dirimu. Karena kejahatan tidak tergantung pada baik-buruk tindakanmu pada seseorang.

Setiap saat, orang dapat mendadak jahat pada orang lain karena ia tidak mampu mengendalikan diri. Pangkal utama dari setiap kejahatan adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya. Jadi, jangan menyalahkan diri. Ia tidak mendadak menjadi jahat karena dirimu. Begitu juga, ia tidak akan menjadi baik karena dirimu. Ia jahat atau baik karena pilihan dirinya sendiri. Karena itu, kau harus lebih berhati-hati.

Dan tentu saja, jika ada orang yang jahat pada dirimu, jangan bersedih. Kau juga harus belajar dan terus belajar mengendalikan diri. Lihatlah, selain orang jahat, di dunia ini, masih banyak pula orang yang baik. Orang-orang ini dapat berbuat baik pada dirimu. Karena itu, walau ada orang yang jahat terhadap dirimu, jangan pernah berputus asa terhadap sesama. Yang penting, kau teruslah berbuat baik!

Mengendalikan Diri

Kamu tidak mungkin mengendalikan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Untuk mengendalikan diri, orang perlu mengenal diri. Orang-orang yang mampu mengenal diri sering disebut tahu diri.

Untuk mengenal diri, orang biasa bermuhasabah, mengintrospeksi, mengevaluasi diri, menilai setiap perbuatannya. Ini cara umum. Sulitnya, karena yang mengevaluasi juga yang dievaluasi maka hasilnya sering baik-baik saja. Yang buruk-buruk terlewat. Karena itu, cara ini dapat kamu pakai jika mampu memfokuskan diri pada hal-hal yang kamu sukai, pada hal-hal yang mendatangkan rasa senangmu.

Mulailah dari situ. Buat daftar hal-hal yang kamu sukai, yang kamu senangi dari hari ke hari. Bisa makanan, orang, dan perbuatan. Biasanya, ia akan muncul berulang kali, bisa jadi setiap hari. Setelah itu, kaji hal-hal kamu sukai dan yang menyenangkan itu dari berbagai sudut. Teliti dan teliti lagi. Kritis!. Ingat, hal-hal yang kamu sukai, belumlah tentu baik menurut Tuhanmu.

Biar Sedikit, Tapi Kontinyu

Inilah bagian tersulit, kamu mengenal dan mengetahui keburukanmu, namun tak mampu menghentikannya. Bahkan, mengendalikannya pun tak sanggup. Memang, kebiasaan buruk selalu mengandung “candu” sebagaimana kamu tahu, kebiasaan merokok itu buruk, namun tak banyak orang mampu menghentikannya.

Karena itu, bersabarlah, pelahan-lahan merubah diri, dari yang sepele dan ringan saja. Misal, jangan langsung berhenti merokok. Mulai saja dengan tidur lebih awal. Di sini, yang penting istiqomah, terus menerus, dan tekun. Allah menyukai ibadah yang kontinyu walau sedikit daripada ibadah yang banyak, namun dikerjaan hanya sekali dua kali. Berjuang! Semangat!

Haruskah Publik Disuguhi Kebenaran Populer?

Kawan, saya dapat saja menipu Anda tanpa sadar dengan berpendapat bahwa pemahaman tertentu harus Anda terima hanya karena populer, banyak dipercaya orang. Saya dapat saja berdalih bahwa pemahaman tertentu layak saya angkat karena sudah menjadi pengetahuan umum yang tidak memerlukan lagi counterevidence sehingga secara rasional harus Anda terima. Pendek kata, akhirnya Anda menerimanya tanpa counterevidence. Dan, jika demikian, apakah saya lantas harus memberikan pembenaran bahwa saya sudah menyampaikan kebenaran kepada Anda?

Mana yang lebih benar, mempertahankan pemahaman yang tidak dibenarkan karena tidak populer, tetapi benar sebagai pengetahuan umum atau mempertahankan pemahaman yang tidak dibenarkan menurut pengetahuan umum, tetapi dibenarkan karena populer? Jika kedua pilihan itu harus diputuskan, lebih baik Anda tidak menerima pernyataan hanya karena populer dan mau menerima pernyataan asal pernyataan itu masih merupakan bagian dari, atau sahih, menurut pengetahuan umum. Mengapa demikian?

Jika suatu pernyataan membatasi kemunculan counterevidence dengan tujuan untuk membangkitkan emosi dan antusiasme banyak orang dan bukan untuk memicu kemunculan fakta banding yang relevan, mata kita harus lebih kita bebalakkan untuk melihat bahwa ada banyak cara untuk membangkitkan emosi dan antusiasme dari orang banyak selain menyatakan bahwa ada BANYAK, SEBAGIAN, atau SEMUA orang menerima suatu klaim.

Mari kita simak kutipan komentar pakar terhadap tindakan Ahmad Imam Al Hafitd (AH) dan Assyifa Ramadhani (AR) yang dikaitkan dengan terbunuhnya Ade Sara, “Kemungkinan besar kecerdasan emosionalnya rendah. Kalau mereka berpendidikan belum tentu kecerdasan emosionalnya bagus, tidak sebanding dengan kecerdasan akademiknya. Kecerdasan kognitif tidak sebanding dengan kecerdasan emosional,” jelas Ratih Zulhaqqi, M.Psi., psikolog anak dan remaja, saat dihubungi detikHealth pada Jumat (7/3/2014).

Jika Anda kebetulan gagal sekolah/kuliah, olahan kognitif semacam apa yang dapat muncul ketika seorang pakar meyakinkan Anda dengan pernyataan tersebut? Sejauh mana Anda tidak kemudian berdalih, “masih untung aku yang gagal di akademik sehingga tidak terlibat dalam tindak yang dikaitkan dengan pembunuhan”? Juga sejauh mana Anda terbebas dari prasangka bahwa AH dan AR adalah sosok cerdas akademik yang tidak dapat menghindar dari tuduhan kepelakuan sebagai pembuhuh Ade Sara?

Pakar yang sama juga berpendapat kemungkinan pelaku memiliki moral judgment yang buruk, sehingga bisa melakukan tindakan yang keji seperti itu: “Karena keputusan untuk merampas hak hidup orang lain merupakan keputusan yang besar, sehingga dengan moral judgment yang buruk pelaku bisa dengan mudahnya melakukan hal tersebut.” Dalam kasus ini, ia melihat bahwa pelaku dikuasai emosi saat melakukan perbuatan tersebut.

Kebetulan saya punya karya skripsi, “Hubungan antara Taraf Moral Judgement dan Tingkat Intensi Perilaku Prososial”, yang mengeksplor pandangan teoritik Lawarance Kohlberg, si dedongkot teori tentang moral judgement; dan saya menguasai Kohlberg’s Manual of Moral Judgement Measurement yang setebal 625 halaman itu. Di sana, terutama dari dari tulisan Betty A. Sichel, “The Relation Between Moral Judgement and Moral Behaviour in Kohlberg’s Theory of the Development of Moral Judgements”, tidak ada paralelism antara moral judgement dan moral behavior. Tidak ada jaminan bahwa seorang yang memiliki taraf moral judgement tinggi juga seorang yang berperilaku moral positif/baik.

Hal senada disampaikan psikolog Dr Rose Mini M.Psi. Ia juga berpendapat bahwa orang yang berpendidikan belum tentu memiliki kontrol diri yang baik, “[Kebanyakan] Orang berpendidikan belum tentu kontrol dirinya bagus. Kalau masih anak-anak kan pengalaman hidupnya masih kecil, jadi kalau ada masalah dia tidak tahu bahwa ada jalan keluar lain yang lebih baik. Nah, yang jadi korban ini tidak punya daya, lemah, makanya bisa disakiti,”

Dengan pernyataan itu, sejauh mana Anda mampu menghindar dari mekanisme penarikan konklusi silogistik bahwa faktor pada diri korban yang tak berdaya dan lemah, Ade Sara, menjadi pemicu bagi AH dan AR, yang masih anak-anak dengan pengalaman hidup yang masih kecil dan tidak tahu bahwa ada jalan keluar lain yang lebih baik ketika ada masalah, untuk melakukan tindakan itu?

Jika saya dan Anda hanya memiliki naluri kawanan itik, saya tidak yakin bahwa untuk membangkitkan emosi dan antusiasme dari orang banyak kita harus menyatakan bahwa ada BANYAK, SEBAGIAN, atau SEMUA orang; meski sebagai data “keadaan” itu adalah data yang populer. Emosi kemarahan, kebencian, atau kebanggan mungkin cukup persuasif untuk meraup persetujuan, tetapi apakah harus dikokang dengan logika tentang BANYAK, BESAR, ATAU SEMUA dari “orang yang berpendidikan tidak cerdas emosi”, semata agar orang memeluk keyakinan dengan pola logika ini?

Kita perlu sadar sesadar-sadar mungkin, implikasi dari daya tarik popularitas yang dimanfaatkan untuk meyakinkan tidak sederhana. Popularitas bukan sekadar tanda, tetapi memaksakan kebenaran yang harus diyakini justru karena aspek popularitasnya.

Terkait dengan berbagai komentar para pakar yang terkesan disonan bahkan “diskordian” satu sama lain, yang perlu saya dan Anda kritisi ialah bahwa pernyataan yang mereka sampaikan menunjukkan pengetahuan umum yang merupakan hasil dari “pengalaman hidup” mereka sebagai pembuat pernyataan. Ketika suatu pernyataan akhirnya diterima karena mengandung pengetahuan umum, sidang pembaca/penanggapnya harus menyadari bahwa pernyataan tersebut berstatus sebagai pengetahuan umum semata karena kadar kandungan pengalaman dari pembuat pernyataan yang berhadapan dengan situasinya secara dialektis.

Kesalahan logis dari pemanfaatan popularitas terletak pada penggelembungan nilai popularitas sebagai bukti. Pengandalan pada pengetahuan umum sebagai landasan kebenaran untuk meyakinkan masih lebih mending dibanding kebenaran populer, sebab keyakinan berbasis pengetahuan umum masih rentan terhadap perubahan sosio-historik antarwaktu. Bahkan seorang pakar dapat memberikan argumentasi dengan mempertentangkan antar-pengetahuan umum sebagai upaya menemukan pemahaman yang lebih jernih dan dialektis tentang situasi atau kasus yang sedang dihadapi atau diulas. Setidaknya, pengetahuan umum yang menjadi tumpuan analisis masih dapat dicabar dengan pengetahuan umum lain yang “sudah tidak umum”. Sementara, keyakinan yang ditopang oleh popularitas mau tak mau harus diterima justru karena memang populer.

Terima kasih Anda mau meluangkan waktu membaca tulisan panjang ini. Demi kebernalaran!

Edy Suhardono seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Assessment, Consultancy, and Research Centre.

Rujukan: detik.com

Mengapa Menyiram Wajah?

Menyiram wajah dengan air keras tiba-tiba menjadi modus tindak kekerasan fenomenal. Kamis (3/10/2013), AL disiram teman prianya. Jumat (4/10/2013), 13 penumpang bus PPD 213 disiram RN atau Tompel (18). Sabtu (11/10/2013), empat orang pelajar SMK Muhammadiyah I Kemayoran disiram sesama pelajar. Sabtu (29/10/2013) Barry, vocalist Saint Loco, disiram orang tak dikenal di Malang, Jawa Timur.

Fakta AL, RN, dan para pelaku lain menyiapkan bahan sekaligus menentukan target yang jelas menunjukkan, menyiram wajah orang lain dengan air keras merupakan pola perilaku yang terencana dalam konteks pelaku menyadari motivasi dan niatannya. Apa penjelasan tentang pola perilaku penyerangan dengan modus tersebut? Apa yang memotivasi para pelaku? Bagaimana mereka “terinspirasi” melakukan penyiraman wajah?

Imago

“Imago” adalah suatu bayangan mental tentang DIRI SENDIRI atau DIRI LAIN yang dihayati sebagai alur cerita/narasi yang terpribadikan/terpersonifikasikan ke dalam sosok peran tertentu (Parkinson, 1999). Imago dihayati sebagai identitas naratif baik dalam “gambaran ideal tentang diri sendiri”,maupun “konsepsi tentang diri orang lain yang dipersonifikasikan”. Sifat ‘dipersonifikasikan’ menegaskan, imago berfungsi sebagai seolah-olah sosok pribadi yang hidup/nyata dan bukan sekadar bayangan mental yang virtual.

Penyiraman air keras ke wajah menegaskan, imago memainkan peran penting untuk menjelaskan baik motif untuk mencintai maupun membenci. Motif ini menjadi archdalam mengembangkan pola perilaku memelihara atau merusak sesuatu yang diasosiasikan dengan, atau mencederai bahkan membunuh,sosok karakter pribadi tertentu.

Selain membantu menciptakan motif, imago juga mewujudkan motif tersebut dengan mendorong dan membenarkan jenis perilaku tertentu.Interaksi antarimago secara sangat signifikan mengembangkan template perilaku yang mampu menyalurkan dan memformulasikan dorongan agresif, dimana imago yang dominan membuka keniscayaan bagi terwujudnya motif perilaku.

Penjelasan teoritik ini memberikan pencerahan bagi  studi tentang pembunuhan karakter,dimana penyiraman wajah korban tidak selalu harus dipahami sebagai akibat dari motif membunuh tubuh fisik ragawi korban.Teori ini menawarkan wawasan bahwa perusakan wajah merupakan implikasi dari pembunuhan terhadap karakter yang fenomenal dalam imago pada diri seorang pelaku.

Antara “Terngiang” dan “Terbayang”

Di era serba multimedia digital dewasa ini, rangsang hiperverbal-tekstual virtual secara lambat-laun tetapi pasti kian tergantikan oleh rangsang hipervisual.Beriringan dengan perubahan global-mondial ini, pengolahan informasi yang sulit dilakukan di bawah desakan waktu, kelelahan, atau kebisingan sekeliling meningkatkan percepatan dalam seleksi dan pemaknaan rangsang hipervisual  sehingga yang tersisa adalah “imago”.Hal ini membuat orang lebih terganggu oleh sesuatu yang terbayang dalam imago daripada yang terngiang dalam audio mentalnya.

Manakala seseorang merasa terganggu oleh sosok signifikan atau berpengaruh dan membayangi kehidupannya, dan sosok itu mendekam dalam alam bawah sadarnya (The Chambers Dictionary, 2003, hal.737), terjadi mekanisme mengeliminasikan sosok atau imago dari layar tayang mentalnya.Kegagalan menghapus dan menyekam imago memunculkan langkah aktif dan real untuk mengubah imago virtual dengan merusak sesuatu atau seseorang realyang diasosiasikan dengan imago.

Di sini, penyiraman wajah dengan air keras merupakan langkah operasional untuk mengubah imago. Berubahnya wajah AL, luka wajah pada 13 penumpang bus PPD 213 dan empat orang pelajar SMK Muhammadiyah I Kemayoran;  juga berubahnya raut wajah Barryvocalist Saint Loco yang diekspos di media massa; kesemuanya adalah manifestasi dari upaya “memodifikasi” imago dari yang mengusik menjadi yang netral.

Proyeksi dan Eksternalisasi

Makin kuat kemungkinan penolakan atau ketaksetujuan orang, makin kuat dorongan pelaku untuk melakukan pembenaran atas perilakunya. Mekanisme pertahanan diri yang diterapkan ialah menyelaraskan, mewaraskan, dan menjaga ketertiban psikis dan integritas diri dengan cara mendekatkan antara realitas internal dan eksternal dari struktur imago. Dengan ini pelaku melepaskan diri dari konflik imago demi mengeliminasi rasa salah, cemas, dan depresi terus menerus akibat gangguan imago yang membayangi.

Dalam banyak studi tentang imago, para pelaku digerakkan oleh semacam kepercayaan “kuasi-religius”, seperti: fanatisme atau favoritisme pada sosok atau kelompok tertentu. Ini menjelaskan mengapa pelaku  berusaha membangun struktur karakter yang bertujuan ganda.Di satu sisi, memecahkan konflik yang akan segera menjadi kenyataan.Di sisi lain, mewujudkan idealisasi perilaku yang dapat diterima oleh sistem imago sehingga mereka mempercayai tindakannya sebagai yang dimotivasi oleh prinsip-prinsip yang kokoh.

Dalam keseharian para pelaku bersikap dingin dan abai, tapi dalam alam fantasibanyak menggunakan waktu berjam-jam untuk membahas dan mengobsesi imago yang dibayangkan. Kadang kekhawatiran ini benar-benar mencapai derajat paranoid tertentu. Penyiraman air keras ke wajah adalah resolusi untuk memperbaiki masalah pada imago, perasaan diri, anggapan diri, identitas diri, dan regulasi diri, yakni dengan mengubah imago pengganggu untuk mendapatkan citra diri dan “persona baru”.***

Mengubah Nasib Malang Jadi Uang

Nasib malang dapat menimpa seseorang setiap waktu. Beberapa minggu lalu, laki-laki itu menelepon saya dengan kemarahan. Atasannya memecat dia dengan tuduhan penggelapan uang. Saya menenangkannya. Saya menyuruh ia menemui saya. Saya minta ia menceritakan seluruh kejadian dan yang terpenting, apakah ada fakta bahwa ia memang menggelapkan uang?

Ia meyakinkan saya bahwa fakta itu tidak ada. Laporan keuangan juga sudah diaudit dan diterima dua tahun lalu. Saya katakan, ia harus tenang. Saya tahu, jelas saya kepadanya, kehilangan pekerjaan adalah sesuatu yang berat. Tapi, kita juga harus tahu, kalau pemilik perusahaan sudah tidak berkenan, apa boleh buat, harus keluar. Dan, tentu saja, pemilik perusahaan juga harus tahu, ia harus membayar mahal untuk kejahilannya, pesangon dan nama baik.

Saya sebut kejahilan, berarti ia hanya sekedar menuduh untuk mencari dasar mengeluarkan pegawainya. Kepada lelaki itu, saya tanyakan, kira-kira apa alasan yang paling kuat sehingga atasan tidak menyukai dirinya. Ketika ia mengatakan bahwa yang paling tidak disukai atasannya adalah sikap dan tindakannya yang keras, saya katakan, “Kalau ceritamu memang benar begitu, bagaimana kalau proses pemecatan itu dipermudah saja?”

Ia terkejut. Saya jelaskan, kalau ia bekerja di sana lagi, tentu besok-besok dicari lagi kesalahannya dan pasti keluar juga. Kedua, yang ia perlu pikirkan ialah uang untuk meneruskan kehidupan. Pemilik perusahaan yang ingin tenang jelas akan membayar berapa saja kepada orang-orang yang paling tidak disukai.

Setelah ia benar-benar memahami prinsip tersebut, saya katakan, sebab itu ia harus tenang. Tetap masuk kantor. Tidak ada protes. Selesaikan tugas. Ia menyetujui. Tapi, beberapa hari kemudian, ia menelepon, teman-teman sekantor yang membela mengajak berdemo. Saya katakan, tidak perlu, yang ia butuhkan uang dan nama baik.

Beberapa hari kemudian ia katakan, serikat pekerja di kantornya terbentuk dan minta ia memberi “testimoni” pemecatan. Saya nasehati, tenang. Yang ia perlukan uang untuk keluarga. Sepuluh hari kemudian, ia katakan, orang-orang sekantor dan atasan mulai bisik-bisik, heran melihat sikapnya yang biasa keras, kini, walau sudah dipecat, santai-santai saja tetap masuk kantor dan bekerja. Saya tegaskan, jaga sikap dan tenang. Beberapa hari kemudian, ia dipanggil, ditawarkan pesangon. Saya katakan, terima saja dan tetap tenang sampai pesangon ditransfer ke rekening.

Setelah pesangon ditransfer ke rekening, jelas sudah, perusahaan tidak memiliki dasar kuat dengan tuduhannya. Tidak mungkin pegawai yang menggelapkan uang dipecat dan diberi pesangon. Tadi malam, alhamdulilah, pesangon sudah diterima “klien” saya hampir 200 juta. Dengan uang sebanyak itu, katanya, untuk ukuran dirinya, ia bisa bertahan tiga tahun tanpa kerja.

Karena sikapnya yang tabah dengan “kekerasannya” itu, walau ia telah memperoleh pesangon, ketika pulang, saya mentraktirnya makan sate. Saat itu, saya katakan, ia harus menyisihkan 20 juta dari 200 juta untuk bayar pengacara. Ia perlu mengajukan tuntutan pencemaran nama baik ke perusahaan. Tidak ada fakta atau bukti ia menggelapkan uang. Jika tuntutan 1 milyar dan dipenuhi seratus juta saja, lagi-lagi ia untung 80 juta sambil tidur di rumah, sementara pengacara bekerja. Pemilik perusahaan yang ingin tenang jelas akan membayar berapa saja kepada orang-orang yang paling tidak disukai.***

Aku tahu, Papaku Berselingkuh

“Pak Edy, saya benar-benar sedih melihat perubahan Andi, anak saya. Sebelumnya, ia ceria, hangat, dan tidak pernah satu kali pun main rahasia-rahasiaan.  Sejak pertengahan kelas satu SMP, persisnya satu setengah tahun lalu, terjadi perubahan yang membingungkan. Ia minta pindah sekolah tanpa alasan jelas sehingga saya tidak menggubris dan bahkan menolak mentah-mentah. Sejak itu, ia hampir tak pernah duduk bersama di ruang keluarga. Begitu tiba dari sekolah, yang pertama kali ia temui selalu Mbok Sumi, pembantu kami, pun hanya untuk menanyakan ada makanan apa. Seselesai makan, ia langsung ngamar, main game, dan tidur sampai menjelang magrib; mandi, ngamar lagi. Kadang lupa makan malam,” tutur Bu Sherly kepada saya menceritakan anak sulungnya.

“Apakah ia mau berkomunikasi dengan orang rumah lain selain pembantu, Bu?”

“Dengan Bonny, adiknya yang sekarang kelas lima SD. Tetapi ia tak pernah ngobrol bersama di ruang keluarga atau di ruangan lain selain di kamar. Apalagi, kalau ayahnya sedang di rumah. Dengar mobil ayahnya masuk garasi saja, ia langsung mengunci kamar dari dalam. Tapi, setiap kali adiknya menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan kesulitan pelajaran, ia selalu memberi isyarat tangan agar Bonny masuk di kamarnya dan saya selalu mendengar suara ia mengunci kamarnya.”

“Bu Sherly, sekarang Andi bersama Ibu?”

“Ya, Pak Edy. Ia ada di ruang tunggu. Apa boleh masuk ke ruang konsultasi?” tanyanya.

“Bolehkan saya  bicara secara privat dengannya. Ibu menunggu di ruang tunggu, sementara saya bicara dengannya.”

“Baik, Pak. Saya akan bawa dia ke sini, dan saya akan menunggu di luar sampai Bapak memanggil saya lagi jika diperlukan,” katanya sambil berdiri dan berjalan ke luar ruangan.

Diantar ibunya, dengan langkah ragu, Andi memasuki ruang konsultasi. Ia menghindari tatapan mata langsung denganku. Berhenti kira-kira satu meter dari tempat duduk, pandang matanya secara berganti-ganti tertuju antara ke langit-langit dan lantai. Aku menunggunya menatap dinding sebelah menyebelah agar punya alasan untuk ikutan menatap titik pandangnya dan membuka pembicaraan, namun tetap saja pandang matanya secara berganti-ganti tertuju antara arah langit-langit dan lantai.

Aku tak akan membiarkan hal ini berlangsung lebih dari setengah menit. Aku beranjak dari tempat duduk, berdiri, dan berjalan ke arahnya sembari mengulurkan tangan. Andi menanggapi, tapi antara mau dan tidak. Dengan ragu, ia mengulurkan tangannya yang dingin pun dengan tatapan mata ke arah tanganku, bukan ke mataku.

“Kenalkan, saya Edy Suhardono. Nama Adik?” tanyaku sambil telapak tangan kiriku menepuk pundak kanannya.

“Ayo, silahkan duduk. Santai saja. Kita mau ngobrol ringan. Saya memanggil adik siapa, ya?” tanyaku.

“Andi, Om. Nama saya Andi Sherlan Amura,” ucapnya lirih.

“Nama yang cakep. Sekolahmu di mana, Andi. Dan sekarang kelas berapa?”

“Di SMP Smart School, Om. Barusan naik kelas tiga. Bulan depan masuk tahun ajaran baru,” jawabnya sembari tangan kanannya memijit-mijit siku tangan kirinya.

“Apakah ada masalah di sekolah, kesulitan dalam pelajaran tertentu, misalnya?”

“Tidak, Om. Saya barusan naik kelas dan raport dapat peringkat dua dari seluruh kelas dua yang berjumlah enam kelas. Cuma, saya merasa terpaksa kalau harus tetap bersekolah di sekolah yang sekarang,” jawabnya seperlunya.

“O, begitu? Coba bayangkan, kau jadi Om. Kau tahu tahu bahwa Si Andi tidak ada kesulitan dalam pelajaran, bahkan naik kelas sebagai juara kedua di antara semua siswa kelas dua; tetapi kau juga tahu, Si Andi merasa terpaksa bersekolah di sekolah itu, apakah ini tidak terasa aneh?” tanyaku.

“Tidak, Om. Biasa saja,” jawabnya pendek sambil memandang langit-langit.

“Anak secerdas kau pasti bisa menjelaskan mengapa tidak betah bersekolah, apalagi pernah meminta pindah sekolah,” kataku buat memancingnya memberikan penjelasan.

“Tak ada yang aneh, Om. Tapi, aku tidak mau mama tahu apa yang aku lihat, Om.”

“Baik. Kenapa kau tak mau mama tahu apa yang kau lihat, Andi? Pasti itu hal luar biasa. Apa yang kau lihat? Bolehkah Om tahu?”

Andi terdiam. Tampak matanya sembab, tetapi mulai sesekali berani menatap mataku.

“Boleh, asal Om janji tak akan ngomong sama mama papaku.”

“Percayalah sama Om Edy,” kataku sambil mengulurkan tangan kanan dengan keempat jari yang terhimpun kecuali jari kelingking. Ia menanggapi dengan mengaitkan jari kelingking kanannya ke jari kelingking kananku.

“Om, ” katanya sambil menarik nafas panjang, “sekolahku berjarak kira-kira 300 meter dari kantor papa. Sewaktu di awal semester dua kelas satu, setiap kali pulang sekolah aku selalu mampir ke kantor papa, makan siang di kantinnya, mengerjakan PR di ruang kerja papa, dan kalau sudah selesai sering tiduran di sofa. Sehabis papa selesai jam kerja, aku pulang bersama papa. Tapi, Om…,” kedua matanya basah. Andi menarik nafas beberapa kali menahan tangis.

“Tapi apa, Andi? Tak perlu diitahan. Menangislah saja. Ruang ini kedap suara.”

“Di suatu hari, Om, tepatnya Jumat, 23 Maret 2012, seperti biasa aku ke kantor papa. Seperti biasanya, aku langsung masuk ke ruang papa. Di dalam tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba aku terasa mau pipis. Seperti biasanya aku langsung ke toilet di ruang kerja papa. Terkunci. Biasanya tidak. Aku berusaha memutar-mutar handel pintu dan akhirnya pintu terbuka, tetapi, Om….” Andi tiba-tiba menangis keras. Kata-katanya terbata-bata di tengah isak tangis. Aku ulurkan kotak tisu, dan ia mengambil beberapa lembar untuk melap wajahnya.

“Tapi…apa yang terjadi Andi?”

“Tiba-tiba aku merasakan tamparandi wajahku dari seseorang di dalam kamar mandi yang lampunya dimatikan. Aku mendengar suara menghardik, ‘Nyelonong saja tanpa mengetuk! Keluar!!!’. Yang membuatku kaget, itu suara papaku,” katanya patah-patah.

“Pernah papamu memperlakukanmu seperti itu sebelumnya?”

“Tak pernah, Om. Papaku tak pernah sekasar itu. Dan yang membuat aku sangat bingung, di dalam kamar mandi itu selain papaku kulihat seorang perempuan, seorang tante-tante yang tak kukenal, dengan rambut dicat merah kayak bule. Melihatku, perempuan itu berusaha membereskan pakaiannya yang berantakan….Masih terbayang jelas dalam ingatan, secara tak sengaja dan spontan aku menghidupkan switch lampu sehingga mereka berdua kaget. Dan aku melihat sangat jelas pemandangan di depan mataku” tuturnya lirih terbata-bata. Hampir tak terdengar.

“Sejak itu, pada hari Senin minggu berikutnya, aku tak mau barengan semobil sama papa. Aku berangkat sendiri naik angkot. Mamaku yang tak tahu-menahu kejadian itu malahan bangga. ‘Anakku sudah mandiri, mau berangkat sekolah sendirian dan tak mau diantar’,begitu aku dengar mamaku setiap kali telpon-telponan dengan teman-temannya.”

“Apakah setelah papamu menamparmu waktu itu tidak ada pembicaraan apa pun di antara kalian?” tanyaku.

“Ada, Om. Papa ngomong sesuatu di mobil. Yang kuingat, papaku meminta maaf telah menamparku, tetapi berpesan agar tidak menceritakan apa yang aku lihat kepada siapa pun. Papaku juga melarangku membicarakan atau membahas apa yang kulihat. Belakangan aku membaca beberapa artikel di internet; dan aku tahu, papaku berselingkuh.”

“Sejak itu, Om, aku tidak hanya tidak membicarakan semua yang telah kulihat, tetapi aku sama sekali tidak mau bicara apa pun dengan papaku. Buatku sangat aneh, kenapa papa meminta aku bungkam dan memegang rahasia, sementara ia juga bungkam dan tidak menjelaskan apa yang telah kulihat ke aku. Aku tidak mempercayai papaku. Aku benci. Benci, karena ia telah mengkhianati mamaku, mengkhianatiku, mengkhianati adikku. Aku malu, aku bingung. Aku harus menjaga rahasia, tetapi rahasia itu tidak pernah aku pahami karena papaku merahasiakannya terhadapku. Aku dipercayai menjaga rahasia, tetapi papaku yang mempercayakan rahasia itu sama sekali tidak mempercayaiku. Aku makin merasa tertekan dan bingung harus bersikap bagaimana ke mamaku. Aku bingung, kenapa katanya papa menyayangi dan menikahi mama, tetapi berselingkuh dengan perempuan lain. Lapor ke mama takut papa, tak lapor ke mama bingung dengan kelakuan papa. Kelewat bingung, aku tak mau bicara apa pun, baik ke papa maupun mama. Akhirnya aku meninggalkan mereka dengan cara tetap bersama mereka. Aku tidak pergi meninggalkan rumah dan tetap pulang ke rumah setiap hari, tetapi tidak merasa di hidup rumah. Jadi, Om, aku pulang ke kamarku, bukan ke papa dan mamaku,” kalimat terakhir ini diiringi dengan derai tangis dan sedu sedan seseorang dewasa, bukan  seorang anak kelas dua SMP.

Aku berdiri mendekatinya. Ia pun berdiri dan merangkulku. Aku menyambut rangkulannya sambil memijit pangkal lengan kedua tangannya seolah berusaha mengambil alih beban berat yang ia tanggung selama satu setengah tahun: rahasia seorang Andi Sherlan Amura.

Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Assessment, Consultancy, and Research Centre.